Bab 3 - Cold Man

1549 Words
“Astagfirullah!” pekikku saat pertama kali membuka mata. Jam sudah menunjukan pukul enam dan aku masih bergelut di ranjang. Dengan cepat, aku beranjak menuju kamar mandi, tak seharusnya aku bangun kesiangan padahal statusku sudah menjadi istri orang. Kukucek mata menghilangkan kotoran sembari mengedipkan mata beberapa kali guna menghilangkan kantuk. Aku tak ingin pria itu melihat muka bantalku mengingat Reno, abangku satu-satunya sering menggolok dan mengatakan bahwa wajahku mengerikan setiap bangun tidur. Kujelajahi mataku mengitari ruangan apartemennya. Keningku berkerut saat suasana begitu lengang seolah tak ada kehadiran dari pria bermata abu itu. Mungkin dia masih tidur. Dengan desahan menemani, aku melangkah ke dapur untuk membuatkannya sarapan. Tanganku bergerak mengikat sembarangan rambut lurus panjangku, sedikit melakukan gerakan-gerakan sederhana untuk merilekskan ototku yang kaku. Kugulung lengan bajuku, namun terhenti saat melihat cangkir kopi kosong yang sudah berada di bak cucian. Alfian sudah pergi? Aku tersentak kaget mendengar dering telepon dari arah ruang keluarga. Tanganku mengepal, ragu harus mengangkat telepon itu atau tidak. Rasanya tidak sopan menjawab telepon orang disaat pemilik rumahnya tidak berada di tempat, “Ah,” desahku mengangkat telepon itu. Setidaknya aku harus tau telepon itu penting atau tidak. “Hallo, Assalamu’alaikum.” “Walaikumsalam. Ini saya.” Hatiku berdesir saat mengenali suara renyah dari pria yang sekarang berstatus sebagai suamiku.. “Maaf, saya masih belum terbiasa dengan kehadiranmu. Saya sudah di kantor sekarang. kalau kamu pengen makan kamu bisa delivery order, tidak ada bahan makanan di kulkas. Brosur restoran ada di meja pantry. Saya tutup dulu. Assalamualaikum.” Aku menghela napas tak lama setelah bunyi suara sambungan telepon terputus. Sedikit kecewa saat pria itu memutuskan sambungan sepihak tanpa membiarkan aku membalas perkataannya. Saya?  Nada formal yang ia gunakan membuatku geli memikirkan sebenarnya pria itu hidup di jaman apa. Ini bukan jaman penjajahan yang menggunakan bahasa Formal dengan istrinya sendiri. Kembali kuhela napasku, menatap jam dinding yang masih menunjukan pukul 6.15 pagi, terlalu pagi untuk pergi ke kantor. Entah pria itu memang terbiasa pergi ke kantor pagi sekali, atau dia memang tak ingin bertemu dengan istri barunya sendiri. Dengan langkah lesu, aku kembali ke kamar. Bingung dengan apa yang harus aku kerjakan. Tak mungkin berangkat ke kampus, hari ini aku sama sekali tak ada jadwal kuliah. Sepertinya hari ini aku sudah cukup puas dengan membereskan barang-barang yang kubawa Selesai dengan merapikan pakaian yang ku bawa, aku berkeliling apartemennya. Apartemen dengan ruang santai dan dapur yang lumayan luas, memiliki dua kamar, kamar utama yang digunakan Alfian memiliki kamar mandi di dalamnya, sedangkan kamar yang aku tempati tidak dan jika ingin mandi, aku harus menggunakan kamar mandi yang ada di dekat dapur. Aku mendesah, melihat bagaimana penampakan barang-barang yang ada di apartemen Alfian. Tidak berantakan memang, tapi melihat barang-barang yang tidak tersusun rapi dan penuh debu membuat tanganku gatal ingin membersihkannya. Bergegas aku mencari keberadaan sapu dan alat pel. Setidaknya keberadaanku disini tidak akan menjadi beban untuknya. Jarum pendek jam menunjuk ke arah 4 saat aku selesai berberes rumah. Kupijat pelan bahuku yang pegal setelah selesai mengerjakan semua pekerjaan. Beberes rumah dari debu yang menempel, membersihkan dapur dan merapikan kembali semua peralatan makan, melap kaca hingga membuatnya kinclong bahkan, merapikan lemari pakaiannya yang berantakan. Berharap kelancangan yang kubuat tak membuat pria itu marah dan mengusirku. Ku gelengkan kepalaku melihat isi kulkas yang kosong, tanpa ada satupun bahan makanan, kecuali beberapa minuman berkadar alkohol rendah dan bersoda di dalamnya. Kuraih dompet yang ada di kamarku, sebelum akhirnya berjalan ke supermarket yang berada di lantai bawah. Sepertinya hari pertama disini, aku harus membuat rumah ini layak huni. ***** Decakan kagum memuji diri sendiri, kulontarkan saat meletakkan spaghetti aglio olio yang kubuat. Kebiasaan membantu Mama memasak uatku tak canggung membuat masakan sederhana seperti ini. Kugigit ujung bibirku berharap pria itu menyukai masakanku. Aku tak tau masakan kesukaannya dan melihat parah wajah yang terlalu bule yang dimilikinya membuatku memasak masakan western sederhana yang kuketahui.Yakin bahwa pria berparas bule yang sudah resmi menjadi suamiku itu anti dengan masakan Indonesia seperti pria bule kebanyakan. Aku berjalan ke arah sofa menunggu kedatangan pria itu. Jam sudah menunjukan pukul 7 malam berarti sebentar lagi Alfian datang. Aku berusaha untuk menjadi istri yang baik, menunggu kedatangan suami, menyambutnya dengan senyum, membawakan jas dan tas kerjanya, lalu mempersiapkan makan malam seperti yang sering mama lakukan untuk menyambut kedatangan papa. Rasa was-was mulai ketara saat melihat jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam tapi Alfian belum juga menampakkan kehadirannya. Dia lembur? Pertanyaan itu tercetus begitu saja. Mataku menatap ke arah pintu apartemen, berharap pintu itu cepat terbuka dan pria itu pulang dengan selamat. Aku mendesah dalam. masakanku pasti sudah dingin sekarang. Tanganku meraih remote tv lalu menghidupkannya untuk mengusir rasa kantuk yang mulai datang. Kurebahkan diri di sofa panjang itu sembari terus mengganti channel, mencari acara yang menarik di tengah sinetron India dan sinetron Indonesia yang mendominasi. Sebenarnya apa yang ada di pikiran para produser sinetron dengan membuat cerita tidak bermutu di sinetron Indonesia seperti itu. Membuat cerita dengan panjang hingga ratusan bahkan ribuan episode tanpa inti cerita sama sekali yang terkesan membodohi penonton. Aku yakin banyak penonton Indonesia yang cerdas banyak berhenti menonton tv dan beralih streaming film atau drama Korea yang lebih berbobot ketimbang sinetron Indonesia itu sendiri. Kepalaku menggeleng mencoba menghilangkan rasa kantuk yang mulai mendera. Mataku mulai berat hingga tanpa sadar aku mulai tertidur dengan tangan yang masih memegang remote. ***** Mataku menerjab. Gelap. Satu kata itu yang kurasakan saat pertama kali membuka mata. Perlahan aku bangun, sembari merenggangkan tubuhku yang kaku. Kutatap keadaan sekeliling, sebelum kemudian mendesah. Aku masih berada di ruang tamu. Jam dinding menunjukan pukul setengah lima pagi. Dia sudah pulang? Satu pertanyaan itu muncul begitu saja, kulihat remote tv yang sudah berada di atas meja. Padahal, seingatku aku tertidur masih dengan memegang remote itu. Sepatu pentofel yang berada di depan pintu menandakan dia sudah pulang. Jam berapa pria itu pulang? Kucoba untuk menarik napas dalam sembari memukul-mukul pelan wajah. Kebiasaan yang selalu aku lakukan untuk menyadarkan diri setelah tidur. Pandanganku teralih g ke arah dapur. Bergegas aku bangkit dan berjalan ke arah meja dapur. Tanpa sadar menghela napas dalam, saat melihat makanan yang aku buat masih utuh tanpa sedikitpun disentuh. Dia tidak suka makanan buatanku?Atau mungkin sebenarnya dia tidak suka keberadaanku di sini? Entah berapa kali, aku menghela napas. Rasanya aku terbiasa melakukan monolog – monolog setelah bertemu dengannya. Pria itu terlalu dingin dan susah untuk di dekati. Seolah membangun dinding es tebal yang begitu susah untukku cairkan. Jika dipikirkan lagi, ini juga sulit untukku menerima keadaan. Setelah pertemuan pertama kami di rumah sakit, segala kejadian rasanya begitu cepat. Tiba – tiba saja, aku yang masih berusia 19 tahun merubah statusku dari single menjadi istri orang. Dan orang itu begitu dingin, sama sekali tak membiarkanku untuk mendekatinya. Kubawa makanan yang aku buat kea rah pantry kemudian membuangnya ke tempat sampah sisa makanan. Kutatap pintu kamarnya yang tertutup rapat. Yakin bahwa dia masih tertidur lelap di sana. Apa yang bisa membuat pria itu membuka dirinya, setidaknya mencoba berkenalan atau berteman. Rasanya terlalu sulit untuk tinggal bersama tanpa saling berkomunikasi seperti ini.  Kututup mataku sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk sholat subuh dan memasakkan sarapan untuknya. Setidaknya aku tak ingin menyerah begitu saja di hari kedua aku sebagai istrinya. ***** Suara pintu yang tertutup saat aku sedang memasak nasi goreng membuat pandanganku teralih mengikuti sumber suara. Dia, pria itu terlihat sedikit terkejut dengan iris abu cantik miliknya yang membulat saat melihatku di dapur. Kulirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Dia sudah ingin pergi secepat ini? Pertanyaan itu mempercepat masakanku, menaruh nasi goreng yang ku masak ke dalam kotak bekal sebelum menganti penggorengan yang akan kugunakan untuk membuat telur mata sapi. Dengan cepat, aku menaruh telur itu di atas nasi goreng, menutup tempat bekal itu menaruhnya dalam goodie bag, kemudian dengan sedikit berlari aku mendekatinya yang sedang memasang sepatu. “Ini apa?” suara bass yang akhirnya terdengar saat aku mengulurkan goodie bag itu menandakan bahwa pria dingin ini tidak bisu, seperti yang sempat aku pikirkan sebelumnya. “B-bekal k-kamu….” Aku meruntuki suaraku yang terdengar sangat gugup dan bergetar saat mendengar suaranya. Entah mengapa aku terus menunduk malu saat iris mata abu itu menatap ke arahku. “Kamu tidak perlu membuat ini, dan juga membersihkan apartemen ini,” ucapnya lagi dengan nada dingin. Aku menghela napasku dalam sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan meraih tangannya untuk kemudian kukalungkan goodie bag itu di pergelangan tangannya. “Aku sudah memasak ini. Mau dimakan ataupun dibuang itu terserah kamu. Dan lagi… rasanya aku perlu untuk membersihkan apartemen ini karena aku tinggal secara gratis di sini. Suka aau tidak suka terserah kamu. Tapi, yang pasti aku hanya akan membersihkan tempat ini sesering mungkin tanpa merubah sesuatu pun dari tempat ini tanpa izin kamu.” Aku menarik napas dalam sesaat setelah selesai berbicara panjang lebar seperti itu. Terlihat pria itu kaget mendengar apa yang aku katakan barusan. Dia hanya menatapku dalam, sebelum kemudian mengatupkan mulutnya yang terbuka untuk membalas ucapanku. Ikut menghela napas dalam sebelum akhirnya hanya bisa mengangguk dan meninggalkanku tanpa berpamitan. Aku menatap punggung pria itu yang berjalan menjauh. Goodie bag berisi makanan yang kuberikan paksa kepadanya masih ditentengnya membuatku tersenyum getir. Dengan langkah gontai, aku menutup pintu. Memikirkan apa yang bisa aku lakukan untuk meruntuhkan gunung es yang dia bangun atau setidaknya meniti gunung es itu pelan – pelan tanpa terjatuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD