Tahun 2021
Bulan Oktober
“Kau mendengarkanku, bukan?” tanya Rhodes dengan penuh penekanan pada setiap kata yang diucapkannya. Ia baru saja merilis sebuah surat permintaan maaf yang mencoreng wajahnya karena wanita di depannya, Agacia.
Melodyna Agacia, lanyard itu tergeletak di atas meja dengan kondisi setengah kotor, disodorkan oleh Rhodes dengan wajah marah dan kesal. Ia baru saja menyelesaikan masa cutinya dengan paksa setelah salah satu anak buahnya membuat masalah dan kemudian ditahan kepolisian selama 48 jam. Andaikan saja ia bisa melayangkan tangannya, mungkin sudah dilakukannya. Pasalnya, gerak-geriknya benar-benar tengah dipantau oleh cucu direktur yang membuatnya benar-benar muak.
Rhodes tersenyum sinis ke arah Agacia dan membuka suara, “Aku akan menunggumu di Hotel Vincensia, jam delapan tepat. Aku tahu kau sangat membutuhkan pekerjaan ini bukan? Setidaknya, hanya aku yang bisa membantumu tetap bertahan di perusahaan ini setelah kekacauan yang kau lakukan belakangan ini. Kupikir, orang miskin tahu caranya bertahan hidup.”
“Ya, Bos…” jawab Agacia dengan gamang sebelum beranjak dari ruangan berplakat ‘General Manajer’ yang dipahat dengan epik, tepat di samping pintunya.
Agacia memegang dadanya yang berdegup kencang. Ia berjalan sedikit sempoyongan karena belum memasukkan apa pun ke dalam mulutnya, selain sebatang rokok ketika istirahat. Ia benar-benar kehilangan kesadaran dan hampir terhuyung, jika seorang pria tidak segera menopang tubuhnya. Ia mendongakkan kepalanya ke atas untuk memastikan.
Aroma mint and tea bercampur di indra penciumannya. Ia buru-buru mendorong tubuh pria itu sebelum ada orang yang tahu. Ia sudah melalui hari-hari yang berat karena pria tersebut, sehingga Agacia tak mau mengambil risiko lebih. Ia sudah sial beberapa bulan belakangan. Jadi, tolong jangan menambah sial-sial yang lainnya!
“Kau baik-baik saja? Aku melihatmu keluar dari ruangan Bos. Apakah ada masalah?” tanya pria itu sambil menarik lengan Agacia agar berhenti berjalan dan mendengarkan ucapannya.
“Apa urusanmu?” bentak Agacia dengan wajah pucatnya dan bibir keringnya. Ia lupa mengoles lip balm, karena terburu-buru. Aroma napasnya pun masih bercampur aroma nikotin dan tar yang menguar ketika berbicara. Padahal, ia sudah berusaha untuk menghilangkan aromanya dengan memakan dua permen secara sekaligus.
Pria dengan lanyard, Kelen, hanya dapat menghela napas panjang. Pria bertubuh tinggi, tegap, dan memiliki kontur wajah kokoh itu mengeluh dalam hati. Ia merasa bersalah dan kasihan, karena telah mengubah kehidupan mantan kekasihnya seperti di neraka. Andaikan ia tak ceroboh dan bermain api, mungkin Agacia tidak akan menderita.
“Kau tidak mengambil langkah salah lagi, bukan?” tanyanya serius, seraya meraih tangan Agacia.
Agacia meronta dan mendorong tubuh Kelen. Meskipun tampak lemah, refleksnya sangat bagus.
“Aku sudah lama mengambil langkah salah. Tepatnya, saat pertama kali kau menginjakkan kaki di tempat ini. Semua adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Kau bilang akan pergi, mengapa masih terus berada di sekitarku?” ucap Agacia penuh dengan emosi.
“Kau tahu, ada masalah dengan pemberangkatannya dan aku tidak bisa begitu saja resign sebelum mendapatkan gantinya. Maaf, aku menyulitkanmu. Aku tahu, ini semua salahku. Jadi, biarkan aku membantumu dan memperbaikinya.”
“Hahaha … lucu sekali! Bagaimana caramu memperbaikinya? Merengek pada kekasihmu dan meminta dayang-dayangnya untuk berhenti menyiksaku? Bagimu, ini menyenangkan bukan? Kau sangat tenang di ruangan itu dan aku tersiksa…” ujar Agacia dengan wajah memerah marah. Ia tidak tahu emosinya saat ini untuk apa. Yang jelas, ia ingin meluapkan segala amarah dan tangisannya secara bersamaan.
Kelen kehilangan seluruh kata-katanya. Ia berulang kali meminta maaf dan ingin memperbaiki semuanya, tetapi Agacia selalu mendorongnya untuk pergi. Ini memang bukan kebaikan hatinya, melainkan permintaan maafnya karena sudah kurang ajar dan hampir membuat karier Agacia berakhir dengan mengenaskan.
“Berhentilah bekerja dan cari pekerjaan lain,” ucap Kelen yang berhasil menghentikan langkah Agacia.
Wanita itu menoleh ke arahnya dan tersenyum sinis ke arahnya sambil berkata, “Katakan hal itu pada dirimu sendiri. Mengapa terus-menerus menyuruh orang lain untuk berhenti karena kesalahan orang sepertimu. Dasar pria b******k!”
Agacia menyelesaikan ucapannya dengan u*****n dan menyeret kakinya yang sedikit pincang ke lift yang baru saja terbuka. Ia menyandarkan punggungnya di dinding lift setelah menekan tombol L1. Ia sudah meminta izin untuk pulang lebih awal dengan alasan sakit. Ya, seluruh tubuhnya rasanya hancur, bukan sakit lagi.
Andaikan bisa, ia sudah memaki seluruh orang yang ada di gedung ini. Mereka semua berkonspirasi melukainya. Semua itu terjadi hanya karena ada satu orang yang membencinya. Lalu, mereka semua menyiksanya secara bergantian, baik menyerang fisiknya, hingga mentalnya. Ia diperlakukan dengan buruk secara terus-menerus dan itu menyakitinya.
Ting!
Pintu lift terbuka tepat di lantai satu. Ada cukup banyak orang yang akan masuk ke dalam dan memaksanya buru-buru keluar dari sana. Agacia terdorong ke luar, lututnya tumbang lebih awal di lantai marmer, hingga membuatnya merintih. Ia dapat mendengar suara tawa dan bisikan yang dilontarkan oleh beberapa wanita yang masuk ke dalam lift. Mereka bergunjing tentangnya.
Tubuhnya gemetaran hebat. Katanya, ini disebut dengan serangan panik. Agacia mengumpati dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia mengalami penyakit gila ini setiap kali tuas kontrol di dalam tubuhnya lepas? Ia merasa menjadi cacing yang baru disiram air garam.
Tidak ada yang membantunya, semua orang menonton dan tertawa, seakan-akan hal itu lucu untuk dinikmati. Mereka menjadikannya badut di tengah sibuk riuhnya lalu-lalang orang-orang yang berjalan terburu-buru. Kedua tangannya begitu dingin dan napasnya terasa sesak. Ia telah kehilangan separuh udara di rongga paru-parunya, andaikan seseorang tidak sigap memeluknya, mungkin ia akan pingsan di tempat.
***
“HAH!”
Agacia membuka matanya setelah ia bermimpi buruk ke sekian kalinya. Tubuhnya terasa sangat dingin, tetapi keringat mengucur deras membasahi pakaiannya hingga basah.
“Kau sudah sadar? Aku akan memanggil dokter…”
Pria itu melesat pergi dengan cepat dan hilang dari pandangannya. Agacia mengamati ruangan yang mengelilinginya. Hanya ada tirai dan aroma obat-obatan yang begitu kental menusuk hidungnya. Ia menatap punggung tangan kirinya, di mana jarum terselip di sana. Suara tetesan infus terdengar begitu lamat di telinganya yang sensitif. Ia masih hidup!
Tidak lama kemudian, seorang ners datang dan mengecek kondisinya. Ners tersebut mengatakan beberapa hal kepada pria tersebut dengan serius. Agacia hanya mengamati keduanya dan mengalihkan pandangannya ke arah yang lainnya. Akhirnya, ia dapat bernapas meskipun tidak terlalu leluasa.
“Berhentilah bekerja,” ucap pria itu tanpa menggunakan intro atau prolog sebelum membahas konflik utamanya. Ia pun menarik kursi, kemudian duduk di samping ranjang Agacia yang tak bergeming sedikit pun.
“Kenapa aku yang harus mengalah? Aku sudah berjuang dengan keras,” ucap Agacia seraya menahan tangis.
“Aku akan mencarikan perusahaan yang sama bagusnya atau lebih bagus dari Mega Mendung Media. Kau setuju bukan? Ini demi kebaikan dan kenyamananmu,” jawabnya serius dan menghapus air mata Agacia.
Agacia tidak menjawab, air matanya telah menjawab apa yang selama ini dirasakannya. Di satu sisi, Agacia benar-benar lelah dengan pekerjaannya, tetapi bekerja di Mega Mendung Media adalah impiannya sejak lama. Jadi, sangat sulit baginya untuk meninggalkan tempat itu.
Rendra, pria yang bersama Agacia, tampak menyerah. Ia sudah lelah meminta Agacia untuk keluar dari pekerjaannya. Jika saja Rendra bisa jujur, ia lebih senang apabila Agacia mau bergantung padanya. Sampai mati pun, Rendra sama sekali tak keberatan.
“Apa kau menemukan sesuatu dari berkas yang telah aku kirimkan kemarin?” tanya Agacia setelah cukup tenang.
Rendra menggelengkan kepalanya sebelum menjawab, “Kurasa Gestar memiliki komunitas yang aneh. Aku berusaha menemukannya dan meminta bantuan temanku dari tim IT pusat untuk mencarinya. Kau tak perlu khawatir.”
“Aku ingin bertahan di sana! Aku sudah masuk Tim Elite setelah sekian lama,” rengek Agacia kemudian, “Kasus ini harus kupecahkan agar aku bisa membuat berita eksklusif sekali lagi.”
Rendra hanya mengangguk sekilas, sebelum menarik ponselnya yang terselip di saku celananya setelah berdering tak karuan sejak beberapa detik yang lalu. Ia mengangkat telepon tersebut, membuat raut wajahnya berubah tegang.
“Aku harus pergi,” ucap Rendra yang beranjak dari kursi yang didudukinya.
“Ada apa?”
“Ada pembunuhan di Hutan Alemenia. Seluruh tim telah ditugaskan,” jawab Rendra dengan gelisah, “Kurasa, apa yang kau katakan selama ini benar, Agacia. Mungkin, Jas Hujan yang asli masih belum tertangkap.”
“Apa maksudmu?”
“Di TKP ditemukan seragam keempat korban di tahun 2009…”
“Aku harus ke sana! Ini momen yang tepat…”
“Tidak! Tetaplah berada di sini. Aku tidak akan pernah membiarkanmu melihatnya.”
Rendra meninggalkan Agacia dengan terburu-buru.
“Mengapa Jas Hujan muncul lagi?” tanya Agacia pada dirinya sendiri, “Apakah yang membuat Jas Hujan terbangun dari hibernasinya? Aku harus mencari tahu sekarang juga…”
***