Chapter 03

1235 Words
Di sebuah gedung yang sangat mewah pesta pernikahan digelar. Tidak banyak tamu yang datang, karena hanya orang-orang tertentu yang mereka undang dan ini sesuai dengan permintaan Axell secara pribadi. Hiller mendekati putrinya, memeluknya erat, mencium puncak kepalanya kemudian berbisik. “Semoga kau bahagia, sayang.” Arabelle memasang senyuman yang terkesan dipaksakan. “Tentu saja.” Axell melirik Hiller sekilas. “Anda tidak perlu merasa khawatir. Bersama saya, Putri Anda bertabur kebahagiaan.” “Kupercayakan Bella padamu. Jaga dia dengan baik, sayangi dan cintai dia,” ucapnya dengan menguncikan tatapannya pada sang putri. “Itu sudah pasti.” Pesta pernikahan selesai digelar. Axell melepas tuxedo dengan perasaan muak kemudian melemparnya asal. “Supirku yang akan mengantarkanmu ke mansion. Kau pasti lelah jadi langsung tidur saja. Tidak perlu menungguku pulang.” “Kau mau ke mana?” Axell menghentikan langkah, memutar tubuhnya, menatap muak wanita yang baru saja dia beri gelar nyonya Scotland. “Besok pagi perjalanan bisnisku ke Jerman. Jadi aku perlu mempersiapkan segala sesuatunya.” Arabelle mendorong kursi rodanya mendekat. “Kita baru saja menikah. Suruh saja Felix yang menggantikanmu.” Rahang tegas mengeras, sorot matanya menggelap. Dia menunduk menatap istrinya. “Sekali lagi, kukatakan bahwa aku tidak suka Istri cerewet, banyak bertanya dan suka mengatur. Aku merasa terhormat apabila kau diam, paham?” Arabelle mengangguk. “Bagus.” Menyandarkan sebelah tangannya di kepala Arabelle, kemudian memanggil supir. “Antarkan Mrs. Bella ke mansion.” “Baik, Tuan.” Arabelle menolak ketika supir tersebut hendak mendorong kursi rodanya. Suami-ku saja tidak sudi mendorong kursi rodaku. Dia dengan santainya pergi meninggalkanku, tanpa rasa bersalah. Felik menghampiri kemudian mendorong kursi rodanya. Arabelle menghentikannya. “Saya bisa melakukannya sendiri.” “Dan sebagai orang kepercayaan, Tuan Axell. Saya diperintahkan untuk selalu menjaga keselamatan Anda, Nona Arabelle.” “Saya tahu, saya tidak sempurna. Tapi saya tidak butuh perlindungan orang lain.” “Suka atau pun tidak. Tuan Axell, akan sangat marah apabila mengetahui Anda terluka. Dia sangat mencintai Anda.” Arabelle tersenyum miris. Omong kosong. Dia jika benar-benar mencintaiku. Dia akan di sini, bersamaku. Bukan meninggalkanku bersama para pengawalnya. “Anda harus tahu bahwa Tuan Axell sangat sibuk. Saya pastikan bahwa saat ini, dia sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk keberangkatannya ke Jerman, besok pagi.” Arabelle mendongakkan wajahnya, menatap tajam Felix. “Kalau begitu, antarkan saya ke kantornya.” Wajah Felix berubah gusar. “Itu diluar kuasa saya, Nona Arabelle.” Maaf jika aku harus mengatakan ini. Ini hari bahagiamu. Tidak seharusnya kau bersedih. -- Pulang dari fashion show. Cabe memutuskan ke club bersama teman-temannya. “Jangan terlalu banyak minum. Aku tidak mau kau mabuk.” “Kembalikan gelasku.” Teriak Cabe supaya suaranya terdengar ditengah-tengah alunan musik yang sangat keras. “Cabe, kau sudah menghabiskan satu botol Pisco. Kau bisa mabuk.” “Aku tidak peduli.” Kemudian meneguk Pisco langsung dari botolnya. Akibat terlalu banyak minum, ia mabuk. Terpaksa teman sesama model mengantarkannya sampai ke kamar hotel. “Apakah aku perlu menemanimu?” “Tidak. Kau pulang saja.” Karena aku perlu melampiaskan rasa kecewaku. Cabe menghubungi petugas hotel untuk membawakannya beberapa botol Pisco ke kamarnya, akan tetapi seseorang merebut telepon dari arah belakang. Cabe memutar tubuh. “Lancang!” Ia tercengang, kemudian menggosok matanya berulang kali. Namun, bayang Axell semakin terpampang nyata dihadapannya. “Kenapa kau selalu muncul dihadapanku? Apa kau tidak paham juga, hah? Aku tidak suka bayangmu selalu mengikutiku.” Teriaknya sambil berjalan sempoyongan, jari-jarinya menunjuk wajah Axell. Cabe hampir saja terjatuh. Beruntung, sepasang tangan kekar menopangnya. “Aku bukan bayangan. Aku nyata, baby.” Cabe tersentak. Satu detik setelahnya tubuhnya bagai melayang di udara karena Axell menggendongnya ala bridal style, kemudian membantingnya ke tengah-tengah ranjang. Setelah malam panas berbalut kerinduan mendalam. Pagi ini keduanya melewatkan sarapan dengan mesra, saling kecup hingga saling suap. “Buka mulutmu, baby.” “Aku bisa makan sendiri.” “Aku ingin menyuapimu dengan ini. Please, buka mulutmu.” Dia berbicara lirih dengan potongan daging di ujung bibirnya. Cabe tersenyum kemudian menyambutnya dengan perasaan gembira. “Jam berapa jadwal fashion show mu, malam ini?” “Aku libur.” Mata Axell berkilat senang. “Sungguh?” Cabe mengangguk kemudian mengalungkan tangannya ke leher kekar. “Bagaimana kalau malam ini kita pergi ke bioskop?” Dia singkirkan beberapa helai rambut yang menjuntai di pipi. “Itu membosankan. Lebih baik kita ke club. Di sini, ada club terbaik dan malam ini kita bersenang-senang, bagaimana?” “Bukan ide yang buruk.” Di saat sedang bercengkerama dengan sang kekasih, tiba-tiba ponselnya berdering. Wajah Axell berubah gusar, takut apabila yang menghubungi adalah Arabelle, dan ternyata Felix. “Bukankah sudah kukatakan bahwa aku sedang tidak mau diganggu. Beraninya kau-“ “Ini tentang, Bella. Dia mencarimu.” “Oh, katakan saja padanya bahwa keberadaanku di sini … ya, kemungkinan memakan waktu satu minggu. Jadi setelah urusan di sini, selesai. Baru kau jadwalkan meeting dengan siapa itu tadi namanya?” “Bella, Istri-mu, bodoh!” “Ya, ya, Nona Bella. Kau tentu tahu Felix bahwa jadwalku sangat padat. Wajar apabila aku tidak hafal satu persatu nama rekan bisnisku.” “Omong kosong.” Felix menggerutu kemudian mematikan sambungan telepon. Dia mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Hm, dimatikan.” Cabe meringkuk ke dalam pangkuan sambil mengusap lembut lengan kekar. “Apakah dia marah?” “Abaikan saja.” “Besok fashion show terakhir. Setelah itu, kita bisa kembali ke Seattle.” Memainkan surai lembut. “Aku sedang malas disibukkan dengan urusan kantor. Jadi selama satu minggu ini, temani aku liburan.” Mata Cabe berkilat senang. “Dengan senang hati, sayang.” Axell menunduk, mendaratkan kecupan. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia menggeram. “Mau apalagi sih dia ini menghubungiku. Mengganggu sa-“ matanya terbelalak, karena nama yang terpampang di layar ponselnya adalah Arabelle. Shittt, aku belum sempat mengganti namanya. “Sayang, apakah Felix yang telepon?” Axell tidak menjawab. Dia menelan kasar saliva. “Sayang, siapa yang telepon?” Ulang Cabe sekali lagi dengan suara meninggi. “Ehm, ini … rekan bisnis … ah, Felix yang telepon. Ah, iya dia. Dia yang telepon.” “Angkat dong.” “Ehm, kali ini aku harus berbicara serius dengannya. Menyingkirlah dari pangkuanku.” “Kenapa juga harus menjauh dariku? Bicara saja di sini.” Axell meyakinkan bahwa kekasihnya itu akan bosan mendengarkan perbincangan seputar bisnis. “Hm, kau benar. Aku juga perlu berbicara dengan, Clary, membahas masalah fashion show.” “Hm, lakukan.” Mengusap kasar puncak kepala, kemudian berjalan menuju pintu keluar. Haruskah dia berbicara dengan Felix sampai harus keluar kamar? Cabe membatin kemudian mengikuti Axell untuk mengetahui hal penting apa saja yang mereka bicarakan sampai kekasihnya itu memilih tempat yang sangat jauh. Sial, kekasihnya tidak ada di depan kamar. Cabe mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ke mana dia? “Mencariku?” Cabe terlonjak. “Kau mengagetkanku? Dari mana saja kau? Kenapa tiba-tiba ada dibelakangku?” Tersenyum licik. “Aku menguji kepercayaanmu. Apakah kau mempercayaiku 100% atau mencurigaiku, dan ternyata-“ mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Sikapmu yang memaksaku curiga bahwa yang kau hubungi bukan Felix, melainkan seorang wanita.” Axell tersedak salivanya sendiri. “Bicaramu mulai ngelantur.” Mendorong bahu ramping sehingga memberinya ruang, masuk ke dalam kamar. “Kalau begitu berikan ponselmu!” Axell berhenti, memutar tubuhnya kemudian memberikan ponselnya ke tangan Cabe. “Aku akan mandi. Setelah memeriksa ponselku, antarkan padaku. Aku perlu menelepon rekan bisnisku, Mr. Hiller.” Tersenyum menyeringai. Kau tidak akan menemukan jejak apa pun, karena segala sesuatunya sudah …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD