Sebenarnya, Kara sama sekali bukan orang yang percaya dengan segala macam jenis takhayul. Setiap kali Mamanya mengatakan tentang hal itu, Kara yakin bahwa itu hanya akal-akalan Mamanya saja supaya Kara menurut.
Tapi kali ini jelas berbeda. Melihat simbol dari segala macam kesialan, Kara yakin sekali bawa sepanjang hari ini dia tidak akan baik-baik saja.
"Ra, berangkat bareng gue yuk! Gue udah isi bensin full nih."
Kara melengos, mengambil langkah yang tidak ada Sajak di dalamnya. kebetulan dia sudah memesan ojek online dan tinggal menunggu Abang itu datang saja untuk mengantarkan nya ke kantor.
"Lo masih marah karena tadi malam? Gue minta maaf, Ra. Gue kan cuma bercanda. Hidup kita udah serius banget, Ra, masa becanda aja enggak boleh?"
Seakan Kara memang tidak melihat keberadaan Sajak dan juga tidak mendengar suaranya, dia hanya sibuk menatap aplikasi ojek online untuk mencari tahu sudah sampai mana tukang ojeknya.
"Ra, maafin gue dong! Gue kan udah janji enggak akan begitu lagi. Gue khilaf, Ra."
Tadinya Kara masih akan mengabaikan sosok Sajak, sebelum kemudian Sajak tiba-tiba saja mencekal lengannya, membuat Kara reflek menepis kasar tangan itu.
Dia sempat merasa tidak enak hati karena sudah berbuat kasar, tapi rasa bersalah nya luruh ketika dia memandang wajah menyebalkan Sajak.
"Lo enggak usah minta maaf. Sama seperti biasanya, anggap aja ini sebagai keisengan lo. Toh, selama ini juga lo enggak pernah minta maaf kan? Atas semua yang lo lakuin ke gue. Jadi sekarang pun, anggap saja sama. Karena gue juga enggak ada niatan buat maafin lo."
Dalam hati Kara berulang kali berdoa agar abang ojek yang dia pesan cepat datang. Karena sesungguhnya dia sudah tidak sanggup untuk berhadapan dengan wajah menyebalkan Sajak. Ini sungguh menguji kesabarannya.
"Ra, kenapa lo sampai ngomong sesuatu yang jahat seperti itu? Gue kan cuma minta maaf."
Kara kembali mengabaikan Sajak. Dia melihat ke arah arloji yang ada di tangannya, sudah hampir terlambat. Untungnya beberapa saat kemudian Abang ojek pesanan Kara akhirnya datang.
"Pak, cepat ya!"
Kara langsung menepuk pundak abang ojek agar segera pergi meninggalkan halaman rumahnya. Sedangkan Sajak hanya bisa menghela napas berat setelah melihat usahanya untuk meminta maaf ternyata gagal.
Kara benar-benar marah padanya karena masalah kemarin. Padahal Sajak sama sekali tidak berniat untuk membuat Kara marah, dia pikir apa yang dia lakukan tidak akan membuat Kara marah. Karena biasanya juga seperti itu. Dia tidak menduga bahwa kali ini Kara akan benar-benar marah.
Sepanjang jalan, Kara hanya berpikir bagaimana caranya agar dia tidak harus lagi berurusan dengan Sajak. Sejak dulu dia memang selalu kesal jika harus berurusan dengan kejahilan dan keisengan Sajak, tapi lama-kelamaan Kara menjadi terbiasa. Bukan menerima begitu saja, dia hanya malas jika harus melawan. Tapi kali ini Kara masih ingat bagaimana malunya dia saat Sajak menertawakan nya di depan banyak orang.
Dan sekarang, walaupun dia berhasil menghindari Sajak sementara waktu, pada akhirnya dia akan kembali bertemu dengan pria itu di kantor.
"Yang disini, Neng?"
Kara tersentak, dia mendongak dan menemukan dirinya sudah ada di depan kantor.
"Ah, iya, Pak. Terimakasih."
Langsung saja Kara turun dan berjalan masuk ke dalam kantor, melewati lo yang cukup ramai. Berhenti di depan pintu lobi, Kara menarik napas. Kini dia harus berhadapan dengan realita dimana hidupnya akan kembali dipusingkan oleh tingkah menyebalkan nya Sajak.
"Kar!"
Kara kembali terlonjak, dia menoleh ke belakang dan menemukan Dea yang menyengir lebar karena berhasil mengagetkan Kara.
"Jangan bikin jantungan pagi-pagi dong!"
Dea malah tergelak.
"Lagian ngapain sih malah bengong di lobi? Gue sepanjang jalan malah kepikiran mau langsung bikin espresso pas sampai kantor."
Ah, espresso! Kayaknya lumayan enak kalau di tengah pikirannya yang kalut, otaknya diterjang oleh kopi panas.
"Sekalian ya, De. Gue mau satu dong. Yang Latte."
"Cih! Memangnya lo pikir, gue tukang kopi? Main request aja lo."
Kini Kara yang tertawa. Mereka bergandengan tangan seperti anak TK saat memasuki lift. Ketika lift sudah terbuka dan mereka sudah ada di dalam, sesosok setan jantan yang sejak kemarin Kara hindari justru muncul.
Langsung saja Kara melengos malas. Menolak untuk bertatapan dengan Sajak. Dea yang menyadari itu jadi merasa canggung. Mau tidak mau dia menyapa Sajak menggantikan Kara.
"Pagi, Jak! Naik apa lo?"
Sajak malah melirik ke arah Kara. "Naik kaki."
Dalam hati Kara mendengus. Mana mungkin dia jalan kaki jika bisa sampai begitu cepat di kantor hanya berselang beberapa menit darinya yang naik ojek.
"Ra, diem-diem bae. Sapa kek guenya nih!"
Mendengar ucapan Sajak, Kara semakin berpaling. Bahkan kali ini dia malah mengeluarkan ponsel dan mengutak-atiknya dengan asal.
Yang paling penting menderita di saja tentu saja Dea, yang terjebak di tengah dua orang yang saling mengibarkan bendera perang. Walaupun memang bendera Kara yang paling terang.
*
"Mila sama Kara, habis istirahat langsung ke ruangan saya ya!"
Kara dan Mila langsung bertatapan setelah mendengar perintah dari atasan mereka.
"Ada apa?" tanya Mila tanpa suara.
Kara menggeleng, dia juga sama tidak tahunya dengan Mila.
Tapi sekarang mereka harus lebih dulu menyelesaikan tugas mereka sebelum waktu istirahat tiba.
"Ra, gue--"
Seperti reflek, Karamel langsung bangkit dari duduknya.
"Mil, gue mau ke toilet dulu ya?"
Padahal dia sama sekali tidak kebelet untuk ke kamar mandi, hasratnya bekerja secara alami untuk menghindari Sajak saat pria itu mendekat.
Bergegas dia pergi ke kamar mandi. saat dia hendak mencapai pintu, dia sempat mendengar decakan keras dari Sajak dan ucapan kesalnya yang mengeluhkan sikap Kara, sempat terselip rasa bersalah di dalam hati Kara namun kemudian perasaan itu langsung hilang secepat ia datang.
Sajak adalah orang yang baru akan mengerti kesulitan Kara saat Kara sudah menangis di depannya. Jika Kara masih baik-baik saja dan hanya menyangkal seadanya, Sajak pasti akan tetap menyebalkan seperti biasa.
Karena dirinya tidak merasa kebelet sama sekali, maka Kara hanya mencuci muka di wastafel yang ada di toilet. Dia berdiam diri di sana selama beberapa detik sampai kemudian dari arah depan, terdengar suara dua orang perempuan yang saling mengobrol.
Lumrah nya, Kara hanya perlu keluar dari toilet karena dia sudah tidak memiliki kepentingan apapun di dalam sana. Tapi ketika dari obrolan dua wanita itu dia mendengar keduanya menyebut nama Sajak, secara tidak sadar Kara malah masuk ke dalam salah satu bilik dan berdiam diri di sana.
"..padahal gue udah segitu baiknya sama dia. Gue bahkan beliin dia arloji mahal dari gaji dua bulan yang lalu, tapi malam itu dia malah ninggalin gue sendirian dan gue harus pulang naik taksi."
Kara masih diam. Untungnya dia masuk ke dalam bilik yang agak di sudut daripada bilik lainnya. sehingga kedua wanita itu sama sekali tidak menyadari bahwa ada orang lain selain mereka berdua.
"Jahat banget! Gue kira dia cowok baik walaupun memang terkenal playboy. Apalagi itu sama lo, cewek paling cantik di Marketing. Bisa-bisanya dia malah ninggalin lo begitu aja."
"Ya kan? Memangnya gue kurang apa sih? Bukannya gue sombong ya, bahkan Pak Abizar aja yang sudah punya istri, bisa suka sama gue, seorang Selena. Tapi Sajak malah kayak gitu. Dia yang dulunya ngejar-ngejar gue, Tiba-tiba aja jadi menjauh. Sedih banget gue."
Karamel melipat bibirnya. Sudah dia duga bahwa Sajak memang bukan pria yang baik. Semua orang di kantor ini tahu bahwa Sajak memang dekat dengan Selena. Beberapa bulan yang lalu, mereka selalu terlihat berdua hampir di semua tempat. Bahkan mereka terlihat lebih lengket daripada pengantin baru.
"Udah lah, Sel. Mendingan lo nyari cowok lain aja yang lebih bisa cinta sama lo. Gue yakin, lo enggak akan susah buat nemuin itu. Tapi saran gue, jangan Pak Abizar juga. Walaupun emang mukanya lumayan ditambah dia emang tajir bawaan dari lahir, tapi dia kan punya istri. Nanti yang ada, malah lo yang dituduh pelakor."
Terdengar tawa cekikikan dari sosok yang Kara tebak sebagai Selena.
"Ya enggak lah! Gue juga enggak mau kalau sama cowok yang udah punya istri. Tapi gimana dong? Gue udah coba buat menghindar, tapi emang dasarnya Pak Abizar aja yang suka banget sama gue. Jadinya dia masih aja ngejar-ngejar gue, bahkan lo tahu enggak? Dia janjiin gue rumah di perumahan baru kalau gue mau sama dia."
Obrolan yang tadinya membahas soal Sajak, kini berubah menjadi tentang Abizar yang merupakan Kepala Divisi Marketing. Kara jadi ingat dengan obrolannya dengan Dea dan Mila yang mengatakan bahwa Selena memang memiliki hubungan dengan Pak Abizar. Tapi mendengar obrolan Selena dengan temannya, sepertinya tidak seperti itu.
"Udah beres nih! Gue mau langsung keluar habis ini. Nanti tolong bilangin ke Pak Abizar kalau gue ketemu customer."
Setelahnya, suasana di toilet itu tiba-tiba menjadi hening yang menandakan bahwa kedua wanita itu sudah keluar dari toilet. Perlahan, Kara membuka pintu bilik yang menjadi tempat persembunyiannya. Tanpa sadar dia menghela napas lega sambil berdiri bersandar di pinggir wastafel.
"Sajak.. Sajak.. Emang dasar lo tuh buaya! Masa cewek secantik Selena aja lo PHPin. Ih, makin kesel jadinya."
Saking kesalnya, Kara sampai memukul dinding sebagai tanda pelampiasan nya. Karena dia tidak mungkin kalau harus memukul Sajak secara langsung.
Sebelum keluar dari toilet, dia membenarkan letak pakaian yang dipakainya. Baru lah setelah itu dia bergerak keluar dan kembali ke ruangannya.
Terpengaruh dengan gosip yang dia dengar, begitu masuk dan bertatapan dengan Sajak, Kara langsung mendengus pelan dan buru-buru duduk di kursinya.
Dia sangat yakin bahwa Sajak memang seburuk yang dibicarakan oleh Selena, karena selama dia mengenal pria itu, Sajak memang tidak terhitung jumlahnya berganti pacar. Pasti kali ini juga sama, Selena hanya sebagai pengisi waktu luang saja kemudian dia tinggalkan.
**