6

1536 Words
Entah sudah ke berapa kali Kara menarik napas dan kemudian mengeluarkan nya. Ini semua karena apa yang dia terima sebagai perintah bersama dengan Mila tadi, dari Pak Fauzan, Atasannya. Katanya, dalam minggu ini tim peninjau dari Pusat akan datang dan karena itu Kara juga Mila ditunjuk sebagai penerima tamu. Mereka yang nantinya akan ikut bersama dengan para petinggi sekelas Kepala Divisi ke atas untuk menemui dan menemani orang pusat itu. Kara tidak suka karena dia tahu ini akan sangat membosankan dan melelahkan. Jika saja dia bisa melimpahkan tugas ini pada orang lain, maka dia akan dengan senang hati melakukannya. "Mil, mau kemana?" Mata Kara bereaksi dengan tepat saat melihat Mila berdiri dari bangkunya sambil membawa gelas miliknya. "Mau ngisi air hangat, tenggorokan gue kering," jawab Mila. Kara menyengir, dia lekas bangun dan menyerahkan gelas minum miliknya. "Espresso, please?" "Woy! Lo kan tadi pagi udah minum kopi, kok sekarang ngopi lagi sih?" Dea yang tadi pagi merasa sudah menyedihkan koin untuk Kara, menyela permintaan temannya itu dengan keras. Kara memasang wajah tidak bersalah. Kembali duduk di tempat kerjanya. "Kepala gue mumet, butuh asupan kasih sayang, tapi enggak punya pacar. Makanya mending dikasih asupan kafein aja deh." Bukan hanya Dea dan Mila yang tertawa, tapi semua orang yang ada di sana. "Jangan ngomong begitu dong, Ra. Kalau lo emang mau dapat asupan kasih sayang, kan ada Abang Sajak yang siap membantu dengan senang hati." Tubuh Kara langsung merinding mendengar ucapan Imam,salah satu tekan kerjanya. Dia melirik ke arah Sajak yang hanya menyeringai santai mendengar ucapan teman yang meledeknya itu. "Buat apa nerima asupan kasih sayang dari cowok tukang PHP. Itu sih cari penyakit namanya." Tanpa sadar, Kara malah menyeletuk seperti itu. Sajak terlihat mengejutkan kening. "Hah? Siapa tukang PHP? Lo kalau enggak suka sama gue, jangan sebar hoax dong, Ra. Itu namanya matiin harga pasaran gue." Kara tidak bergeming. Dia hanya mengibaskan tangannya, meminta Mila untuk segera ke pantri dan membuatkan pesanannya. "Ah, atau jangan-jangan lo marah bukan karena gue ketawain ya, Ra? Lo marah karena gue PHPin? Kapan, Ra? Lo salah paham ya? Kalau sama lo sih, mana mungkin gue PHPin. Yang ada langsung gue ajak ke KUA setelah minta restu Emak Bapak." Untung saja Kara bisa menahan diri untuk tidak muntah saat mendengar ucapan Sajak. Anehnya, selain dirinya, semua orang malah menganggap apa yang dikatakan oleh Sajak adalah hal yang lucu. Padahal bagi Kara itu tidak lucu sama sekali. Dia malah enek mendengarnya. "Duh, Kara. Kasihan banget, Sajak harus bertepuk sebelah tangan selama belasan tahun. dari SD sampai kerja, Sajak harus ngintilin Kara supaya bisa tetap dekat. Soalnya kalau jauh, Sajak bisa-bisa sesak napas." Tangan Kara mengepal di atas meja. Candaan yang dilayangkan oleh Imam rasanya sudah keterlaluan. Apa Imam tidak sadar bahwa Kara memasang wajah tidak senang? "Sabar, Ra. Kalau lo marah sekarang, malah lo nantinya yang dianggap aneh. Candaan mereka memang enggak wajar," bisik Dea. Ternyata sahabat Kara itu menyadari bahwa Kara sangat tidak suka mendengar omong kosong seperti itu dari teman se kantornya. Kara mengangkat wajah, dia yakin saat ini Sajak juga sedang terkekeh-kekeh mendengar godaan dari temannya. Tapi alangkah terkejutnya Kara saat mendapati Sajak yang memasang wajah tidak jauh berbeda dengannya. Sajak tampak tidak nyaman, bahkan pria itu berulang kali berdecak dan mencuri pandang ke arah. Saat tatapan mata mereka bertemu, Kara buru-buru mengalihkan pandangan. Namun kemudian sebuah pesan masuk ke dalam komputer Kara yang menyala. Sebuah pesan singkat yang dikirimkan oleh Sajak. Maaf, Ra Memang hanya sebatas itu, tapi Kara mulai merasa bahwa Sajak tidak seburuk yang dia pikirkan. * "Jak, pulang kerja main futsal yuk!" Sajak yang sedang memasukan barang miliknya ke dalam tas, menggeleng saat mendengar ajakan Imam. "Gue mau langsung pulang. Pusing kepala gue." Imam mendesah kecewa. Pria dengan rambut cepak itu bersandar di meja kerja Sajak. "Enggak seru amat sih, Jak? Kita mau main, tapi kurang orang nih. Cuma satu jam doang kok, mainnya." Sajak tetap menggeleng, di kepalanya sudah terbayang aroma tempat tidur dan bantal guling yang memikat dirinya. Sajak tidak ingin khayalan indahnya itu sampai tidak terwujud. "Cari dari pemasaran aja. Mereka kan sering kumpul-kumpul di warung belakang jam segini. Enggak akan nolak lah mereka kalau diajak." Tangan Sajak menepuk pundak Imam kemudian. "Kalau begitu, gue pulang duluan ya?" Dia berlalu. Sempat melirik ke arah meja Karamel yang sudah kosong. Entah sejak kapan gadis itu sudah meninggalkan ruangan, padahal jam pulang kantor saja baru tiba sepuluh menit lalu. "Mana Kara, De?" tanya Sajak pada Dea yang tampak mengemasi barangnya. "Udah keluar duluan sama Mila. Kenapa? Kangen?" Sajak berdecak keras mendengar ocehan Dea. "Jangan suka ngomong gitu, De. Apalagi kalau ada Kara nya, dia enggak suka dihubung-hubungin sama gue." Ini kenyataan. Walaupun Sajak sendiri sering kali mengganggu Kara, namun melihat wajah berkerut Kara setiap kali ada orang yang menghubungkan gadis itu dengan dirinya, entah kenapa rasanya perih juga di hati Sajak. "Loh? Ternyata lo nyadar juga ya, kalau dia enggak kau digoda-godain sama lo? Gue pikir lo malah seneng kalau lihat Kara kesal." Sajak menggeleng. Dia urung langsung meninggalkan ruangan dan malah meladeni obrolan Dea. "Gue masih punya hati. Ngeliat dia segitu keselnya kalau dihubung-hubungin sama gue, gue juga agak tersinggung." Dea tergelak mendengar ucapan Sajak dan ekspresi yang dipasang pria itu. "Tapi, beneran enggak sih omongan Imam yang bilang kalau lo udah suka sama Kara dari kalian kecil? Gue sebenarnya enggak percaya, cuma kayaknya kok agak mungkin ya itu terjadi?" Sajak menyeringai, memasukan satu tangan ke dalam sakunya, dia malah mengangkat bahu. "Bener enggak ya?" Dia malah menjadikan pertanyaan itu sebagai sesuatu untuk menggoda Dea yang penasaran. "Menurut lo, betapa persen persentase nya gue buat suka sama temen lo itu?" Dea tampak berpikir, satu tangannya dia letakkan di dagu. "Sekitar.. 0,1 % ?" Kini giliran Sajak yang tergelak. "Itu sih namanya gue mustahil suka sama dia dong?" "Ih, siapa bilang itu persentase buat lo? Yang tadi gue sebutin itu persentase Kara bakal suka sama lo. Kalau lo sih, gue yakin kok lo sebenarnya suka sama Kara." Tubuh Sajak langsung mematung mendengar apa yang diucapkan oleh Dea. Dia memalingkan wajah, kemudian memasang senyum seringai di wajahnya. "Sok tahu banget! Lo memangnya enggak tahu, kalau mantan-mantan gue cantiknya kayak apa? Kara sih bukan tipe gue." Gantian Dea yang menyeringai. "Maksud lo, mantan-mantan lo itu sekelas Selena? Cantik sih, tapi sayang banget gampang didapetin. Enggak menantang." Usai mengatakan itu, Dea terbahak. Dia bangun dari duduknya dan melambai cantik ke arah Sajak. "Gue pulang duluan ya? Lain kali, lo cari cewek yang beneran dong. Jangan yang cuma buat ngisi waktu luang." Sajak berdecak. Kini dia tahu kenapa Kara sangat cocok berteman dengan Dea. Ternyata mulut mereka sama, Sama-sama ketus dan menyakitkan jika bicara. Namun tetap saja, Dea adalah versi 'mendingan' jika dibandingkan dengan Kara yang luar biasa juteknya. "Enak banget nontonin lo di roasting sama Dea." Sajak terlonjak, dia baru ingat jika Imam memang masih di dalam ruangan dan ternyata anak dajjal itu menyaksikan semua percakapan Sajak dengan Dea. Atau lebih tepatnya, Imam menjadi saksi Sajak di roasting oleh Dea dengan mengenaskan. "Belum pergi juga lo?" Imam menyeringai. "Belum dong! Berkat itu, gue jadi lihat sesuatu yang menarik. Jadi ternyata benar, kalau selama ini lo suka sama Kara?" Sajak memutar bola matanya malas. "Bukan urusan lo." Lekas dia beranjak keluar dari ruangan, dia tidak ingin bersama dengan Imam di ruangan yang sama. "Jak, gue enggak bakalan sebarin itu kalau lo mau main futsal!" Imam berteriak, tapi Sajak malah melambaikan tangannya. "Sebarin aja kalau lo mau. Gue enggak perduli karena itu enggak benar." Sajak semakin melangkah menjauh, dia berniat mengambil motor miliknya yang dia parkir di dekat lobi. Tapi tanpa dia duga, dia melihat sosok Karamel yang sedang berdiri bersama dengan Dea dan Mila. Sajak pikir Kara sudah pulang lebih dulu. Melihat Kara yang sepertinya sedang berusaha memesan ojek online seperti biasa, Sajak berpikir untuk menguji keberuntungannya dengan menawari Kara tumpangan. Dia menyengir, seakan ingin melakukan sesuatu yang berbahaya, dia menarik napasnya berulang kali dan menghembuskan nya. Baru kakinya hendak melangkah ke arah Kara, sebuah suara gadis yang tidak ingin dia dengar, malah terdengar begitu dekat dengan nya. "Mau kemana? Kok tumben enggak nawarin aku pulang bareng?" Sajak inginnya langsung pergi meninggalkan Selena yang berdiri sambil melipat kedua tangannya di d**a. Tapi dia mengenal Selena dengan sangat baik, jika dia sampai melakukan hal itu maka yang terjadi adalah Selena akan dengan senang hati menciptakan keributan di lobi. Sajak tidak masalah jika dia dipandang aneh oleh semua orang yang ada di lobi saat ini, tapi dia sama sekali tidak ingin kalau Kara semakin berpandangan buruk tentangnya. "Gue lagi enggak mau ribut, jadi tolong biarin gue pulang dengan tenang." Selena malah menatap kesal padanya setelah mendengar Sajak mengatakan itu. "Apa? Gue? Kamu yakin kalau kamu lagi ngomong sama aku? Kamu tahu kan, aku enggak suka diperlakukan sama kayak temen-temen cewek kamu? Karena hubungan yang kita punya ini, spesial." Sajak menunduk. satu tangannya dia gunakan untuk mengurut hidungnya sampai memerah. "Kita enggak ada hubungan apa-apa. Kita cuma sempat dekat sampai akhirnya gue tahu gimana aslinya lo. Jadi jangan bicara seolah-olah kita punya hubungan." "Apa maksud kamu, Jak? Bukannya kita memang punya hubungan?" Kepala Sajak menggeleng, dia memutar tumitnya dan bersiap untuk pergi meninggalkan Selena. Namun seperti yang dia duga dan takutkan, Selena tidak segan membuat keributan hanya karena keinginan nya tidak tercapai. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD