"Gimana bisa kamu campakkan aku setelah malam itu? Apa karena kamu enggak puas sama aku? Apa karena aku enggak sehebat yang kamu pikir?"
Kara yang tadinya fokus pada ponsel di tangannya, langsung secara otomatis menoleh ke arah sumber suara keras itu. Keningnya berkerut saat dia melihat Sajak dan Selena tengah berdiri di tengah lobi. Semua orang kini menatap ke arah dia orang itu.
"Maksud lo apa sih? Kenapa lo ngomong sesuatu yang bikin orang lain salah paham?"
Sajak tampak berteriak kesal, mata pria itu berpendar panik dan menoleh ke arah Kara hingga untuk beberapa saat mereka bertatapan sebelum Sajak kemudian mengalihkan pandangan dengan helaan napas lelah.
"Salah paham apa? Aku ngomong yang sebenarnya. Biar semua orang faktanya bagaimana. Biar semua orang tahu kamu itu orang yang seperti apa! Hanya karena kamu enggak puas sama aku, kamu langsung menghindari aku tanpa ngomong apa-apa."
Padahal ini sudah lewat dari jam pulang kantor yang seharusnya membuat kantor menjadi sepi. Tapi berkat keributan antara Selena dan Sajak, Orang-orang yang kebetulan belum pulang langsung berkumpul seperti semut yang mengerubungi gula.
"Haduh! Pasangan itu. Bisa-bisanya ribut di lobi. Bisa viral deh kalau begini."
Kepala Kara menoleh ke arah Mila yang menggelengkan kepalanya dengan decakan keras. Lalu setelah itu dia kembali memperhatikan Sajak yang terlihat sangat frustasi.
"Gue ninggalin lo karena lo ternyata masih jalan sama cowok lain selain sama gue! Lagipula gimana bisa lo bilang kalau gue mencampakkan lo di saat kita belum punya hubungan apapun?"
Sajak melakukan pembelaan, tapi yang tidak disangka adalah Selena kemudian menangis histeris sambil memegangi lengan Sajak.
"Aku kan sudah jelaskan ke kamu kalau dia bukan siapa-siapa. Dia cuma teman SMA yang kebetulan ketemu sama aku. Aku bahkan sampai lari malam itu ngejar kamu, tapi kamu enggak perduli. Hanya karena salah paham, kamu meninggalkan aku setelah menghabiskan banyak malam menyenangkan. Apa sebegitu bencinya kamu sama aku?"
Bibir Kara terlipat. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi sepertinya Selena sedang mengumbar hubungannya dengan Sajak yang sudah ke tahap intim.
"Mereka udah pernah begituan ya? Tapi kok Selena enggak tahu malu banget, sampai teriak soal itu di depan umum."
Benar. Apa yang dikatakan oleh Dea memang benar. Alih-alih percaya dan menganggap Sajak adalah pria m***m yang meniduri wanita kemudian meninggalkannya begitu saja, Kara justru merasa bahwa ini adalah sesuatu yang janggal. Jika memang mereka sudah pernah melakukan hal itu, kenapa Selena tanpa tahu malu malah mengumbarnya di depan umum?
"Cukup, Sel! Terserah apapun yang lo bilang. Terserah kalau pun lo mau nyebar cerita bohong ke semua orang di kantor ini, gue enggak perduli. Yang jelas, gue enggak akan pernah kembali ke lo. Gue cukup tahu lo perempuan yang seperti apa. Dan ngeliat lo kayak gini sekarang, gue semakin yakin kalau keputusan gue buat menghindar dari lo adalah hal yang benar."
Kara melihat Sajak yang berlalu meninggalkan Selena. Gadis cantik itu semakin menangis yang kemudian ditenangkan oleh beberapa orang yang mengenalnya. Sedangkan mata Kara tidak lepas dari Sajak yang buru-buru mengendari motornya keluar dari pelataran kantor.
"Dia bisa celaka kalau begitu caranya," gumam Kara.
Dia bahkan sudah melupakan aplikasi hijau yang tadi membuatnya kesal setengah mati karena gagal mendapatkan driver di jam sibuk seperti ini.
"Tapi lo percaya enggak sih sama yang dibilang Selena tadi?"
Tiba-tiba saja pertanyaan itu muncul dari Mila. Gadis cantik sahabat Kara itu ternyata masih memperhatikan Selena yang kini sudah dibawa oleh dua orang wanita ke arah sebuah mobil yang baru saja datang dan terparkir di depan lobi.
"Mau benar atau enggak, dengan skala keributan kayak tadi, udah pasti ini bakalan jadi gosip hangat selama satu minggu ke depan," kata Dea menimpali.
"Bukan masalah viralnya, bisa-bisa masalah kayak gini bisa sampai di telinga Kadiv. Bisa kena SP si Sajak."
Mendengar ucapan Dea dan Mila, Kara jadi ikut kepikiran. Walaupun Sajak adalah orang yang menyebalkan dan merupakan orang yang paling Kara benci dari kecil hingga sekarang, namun jika ternyata keributan tadi hanya lah karangan Selena saja, maka kasihan Sajak. Walau menyebalkan tapi selama ini Sajak selalu bekerja dengan baik. Sayang sekali jika dia harus mendapatkan SP.
Tapi Kara kemudian teringat dengan obrolan Selena bersama dengan temannya saat di toilet, Kara yang tadinya begitu percaya bahwa Sajak adalah tukang PHP, kini setelah menyaksikan keributan seperti tadi, Kara jadi berpikir kemungkinan apa yang dikatakan oleh Selena itu juga belum tentu benar.
*
Sudah dua kali Sajak hampir menabrak kendaraan lain karena dirinya tidak fokus mengendari motornya. Kepalanya terisi penuh dengan kejadian yang dia alami tadi
Selain karena besok dan seterusnya orang-orang akan memandangnya sebagai Sajak yang seorang penjahat m***m, dia juga tidak siap melihat Kara semakin jijik saat menatapnya.
Tadi saat kejadian, dia berharap Kara tidak akan perduli seperti biasanya. Dia berharap Kara lekas pergi bersama dengan kedua temannya. Tapi ternyata Kara bertahan di sana, melihat bagaimana Selena membeberkan cerita bohong kepada semua orang.
Sajak tidak ingin Kara salah paham, tapi dia juga tidak memiliki hak untuk menjelaskan yang sebenarnya pada Kara. Hidup dengan menjadi manusia yang menyebalkan selama ini, jelas berbeda dengan hidup sebagai pria yang meniduri wanita kemudian meninggalkan nya. Sajak tidak ingin dipandang seperti itu oleh Kara.
Mata Sajak melebar saat tanpa sadar ada seorang anak kecil yang menyeberang jalan seorang diri. Sajak buru-buru menarik rem agar motornya berhenti. Tapi laju motor yang terlalu kencang membuat keseimbangan nya hancur. Dia jatuh bersamaan dengan motornya di aspal.
Sedangkan anak kecil yang tadi terduduk karena saking terkejutnya.
"Mas, Mas enggak apa-apa?"
Tiba-tiba saja sudah banyak orang yang mendatangi dirinya dan membantu Sajak untuk bangun. Tapi tanpa Sajak sadari, lututnya berdarah, celana bahan yang dia pakai sobek di bagian lutut dan membuat kulitnya mengelupas. Dan itu bukan luka Satu-satunya yang Sajak dapatkan dari kecelakaan itu. Di sikutnya juga sama, untungnya karena dia memakai jaket, luka yang ada di sikut hingga lengannya tidak seberapa parah, hanya jaketnya saja yang menjadi berlubang.
"Anak tadi...gimana?" Sajak bertahta di tengah dirinya yang masih linglung.
Matanya mencari sosok anak tadi yang entah kemana.
"Itu, Mas! Sudah dibawa ke pinggir sama ibunya. Tadi Ibunya lagi beli di kedai sana, makanya enggak sadar kalau anaknya jalan sendirian ke jalanan."
Sajak hanya mengangguk. Perlahan rasa perih langsung dia rasakan di luka-luka yang dia dapatkan.
"Motornya saya pinggirin dulu ya? Sekalian Mas nya saja obati."
Ketika menoleh, Sajak baru menyadari bahwa orang yang menolongnya adalah seorang pria muda dengan jas sneli. Jas putih yang selalu dipakai dokter. Lalu dia juga sadar bahwa lokasinya kecelakaan saat ini berada di dekat klinik umum. Bisakah Sajak menyebut bahwa dirinya beruntung?
"Ayo, Mas! Kita masuk dulu ke klinik."
Sajak menurut saja. Dia berjalan sambil dipapah oleh orang yang menolongnya tadi. Di tengah langkahnya yang tertatih-tatih, Sajak mencari ponsel nya namun dia tidak menemukan ada di kantung jaket yang dia kenakan.
"Mas, Maaf. Tahu enggak HP saya dimana?" Dia bertanya pada pria yang menolongnya. Padahal jika dicari, sepertinya ponsel nya ada di dekat motornya tadi.
"Oh? Enggak ada ya? Sebentar, saya bantu cari!"
Pria itu menoleh ke belakang, tampak memanggil seseorang sampai kemudian seorang gadis muncul.
"Tolong bawa Mas nya masuk dulu ya, Len? Saya mau coba bantu cari HP Mas nya."
Gadis itu langsung memegangi lengan Sajak sambil mengangguk.
"Baik, Dok."
Sajak sempat memperhatikan bagaimana Dokter itu menyeberang ke tengah jalan dan memungut ponsel miliknya yang ternyata sudah terkapar di jalanan. Padahal Sajak hanya orang bodoh yang tidak bisa mengendalikan motornya dengan baik, tapi pria yang ternyata Dokter di sebuah klinik itu malah mau-mau saja menolongnya hingga sebanyak ini.
"Mas, ayo ikut saya!"
Kepala Sajak mengangguk. Dia mengikuti langkah gadis yang mengenakan pakaian perawat itu hingga ke salah satu kamar.
"Mas yang tadi, kerja disini ya, Mbak?"
Perawat ber name tag Lenna itu tersenyum geli mendengar pertanyaan dari Sajak.
"Maksudnya Dokter Revano? Dia yang punya klinik ini, Mas."
Ah. Ternyata klinik ini memang milik pria yang baik hati tadi.
Lenna mengobati luka di beberapa bagian tubuh Sajak dengan telaten. Sedangkan Sajak hanya bisa duduk canggung di pinggiran bed.
"Mas kok bisa sih hampir nabrak gitu? Gimana ceritanya, Mas?"
Sepertinya Lenna menyadari bahwa suasana di dalam ruangan ini sedikit canggung, sehingga gadis itu memutuskan untuk bertanya perihal kejadian tadi.
"Saya cuma lagi enggak fokus di jalanan, Mbak. Memang salah saya sih. Enggak seharusnya saya ngendarain motor di situasi kayak tadi. Saya bersyukur karena anak tadi enggak kenapa-kenapa."
Kepala Lenna mengangguk. Tangannya merapikan plester yang dia pakai untuk merekatkan perban di lutut Sajak.
"Salah Ibunya anak itu juga sih. Bisa-bisanya dia enggak sadar kalau anaknya jalan sendiri ke jalanan."
Sajak hanya tersenyum kecil. Sesaat kemudian sosok Dokter tadi memasuki ruangan dengan membawa ponsel milik Sajak.
"Mas, saya nemuin HP Mas. Tapi sayang banget, layarnya rusak parah."
Mata Sajak memandangi ponselnya yang sudah tidak menyala. Tangannya kemudian mengambil alih ponsel itu.
"Makasih banyak, Mas. Mas sudah membantu saya sampai seperti ini."
Dokter itu tersenyum, "Enggak masalah. Kebetulan kecelakaannya di depan klinik jadi sudah sepantasnya saya menolong sebisa saya."
Lalu mata Dokter Revano melirik ke arah lutut dan sikut Sajak yang sudah ditutup dengan kain kassa.
"Sudah diobati semua, Len?"
Lenna mengangguk. Gadis itu berdiri tidak jauh dari tempat Sajak.
"Sudah, Dok."
Revano mengangguk. "Ada yang sakit lagi, Mas? Takutnya ada luka dalam yang enggak kelihatan."
Kepala Sajak menggeleng.
"Enggak, Mas. sekali lagi saya benar-benar berterimakasih. Ah, berapa biaya perobatannya?"
Mendengar pertanyaan Sajak, Revano malah tertawa geli.
"Enggak masalah. Saya niatnya nolong kok."
**