8

1519 Words
Pukul enam lewat lima belas menit, Kara baru sampai di rumahnya. Dia baru akan membuka pagar rumah saat sebuah taksi berhenti di depan rumah Sajak. Dan sosok Sajak yang susah payah keluar dari dalamnya. Kara mengerutkan kening, padahal seingatnya tadi Sajak baik-baik saja saat meninggalkan kantor walaupun wajahnya memang tampak sangat lelah dan frustasi. Sekarang keadaan pria itu benar-benar berantakan. "Lo kenapa?" Kara mengurungkan niat untuk masuk ke dalam rumahnya, lebih dulu menghampiri Sajak. "Jatuh," kata Sajak menjawab. Lalu Kara teringat jika Sajak selalu membawa motor saat berangkat dan pulang kerja namun kali ini pria itu malah pulang dengan menggunakan taksi. "Mana motor lo? Lo gadai?" Sajak mendengus, pria itu sepertinya kesulitan berjalan sampai harus terpincang-pincang. "Gue jatuh dari motor di tengah jalan. Makanya jadi begini. Motor gue tadi ditaruh di bengkel." "Kok bisa? Kenapa bisa lo jatuh di tengah jalan?" "Ya bisa lah! Gue kan juga manusia. Kenapa sih? Lo khawatir banget sama gue?" Kara menatap sebal. Menyesal dia sudah bertanya kepada Sajak. Padahal dia bertanya hanya karena melihat Sajak dalam keadaan yang seperti ini, jika tahu bahwa Sajak bisa tetap menyebalkan dengan keadaan yang seperti ini, Kara juga malas bertanya. "Lo sampai bisa jatuh dari motor kayak gini, karena masalah tadi di kantor?" Harusnya Kara tidak menanyakan hal itu, tapi dia sudah tahu bahwa kejadian ini akan terjadi setelah melihat Sajak meninggalkan kantor dengan ekspresi kacau seperti tadi sore. Sajak sempat terdiam, ada senyum miris di wajahnya kemudian. "Sama kayak orang lain, lo juga pasti percaya kan sama yang diomongin Selena? Semua orang pasti langsung berpikir kalau gue ini adalah cowok m***m dan jahat yang ninggalin cewek setelah nidurin dia." Kara memperhatikan raut lelah di wajah Sajak. Pria itu benar-benar terlihat berbeda sekali dari yang biasa Kara lihat. Kali ini Sajak seperti pria putus asa yang bingung harus melakukan apa. Kalau saja Kara tidak punya hati, dia pasti sudah akan mengeluarkan ponselnya untuk mengambil gambar Sajak lalu menggunakannya sebagai senjata saat Sajak kumat usilnya. "Memangnya ada bedanya kalau gue percaya atau enggak?" tanya Kara. Dia penasaran, apakah akan beda bagi Sajak jika dirinya tidak percaya pada Selena? Toh selama ini hubungan dirinya dan Sajak tidak bisa dibilang akrab. Malah kacau balau. Sajak menanggapi pertanyaannya itu dengan sebuah tawa kecil. "Seenggaknya kalau lo percaya, berarti ada satu orang yang nganggep kalau gue enggak akan serendah itu. Tapi ya..mau bagaimana? Ekspresi Selena pas ceritain itu di depan semua orang terlalu meyakinkan. Dia sampai nangis seakan-akan gue benar-benar udah hancurin hidupnya dengan ninggalin dia setelah tidur sama dia." Dengan ekspresi datar, Kara hanya memandangi Sajak dalam diam. Di detik pertama, Sajak tidak menyadari itu namun kemudian pria itu mendongak dan mengerutkan alisnya. "Apa? Kenapa?" Sajak menatap bingung pada Kara. Namun Kara malah mengangkat bahunya dengan acuh. "Buat gue, apa yang diomongin sama Selena di depan semua orang itu terlalu drama. Lagian gue udah menghabiskan waktu gue hampir sepertiganya bareng sama lo. Hidup bertetangga dan buang banyak banget energi gue buat berurusan sama lo, jadi gue langsung ngerasa kalau apa yang dibilang sama Selena itu adalah karangan bebas." Usai mengatakan itu, Kara langsung memutar kakinya ke arah lain. Ke arah pagar rumah yang sempat dia tinggalkan tadi. "Lo hati-hati masuknya. Kayaknya sakit lo bakalan lama karena di dalam sakit lo itu ada doa orang teraniaya kayak gue yang merasa sedikit senang lihat lo kayak gini." Sebelum Sajak menjadi gila setelah mendengar perkataan Kara, Kara buru-buru membuka pagar rumahnya dan berlari masuk. "Makanya, jadi manusia tuh banyak-banyakin beramal!" Dia yakin bahwa Sajak sedang mencak-mencak di depan rumahnya sendiri. * Esok harinya, ketika Kara keluar untuk berangkat ke kantor, dari dinding rumahnya yang hanya sebatas d**a, dia melihat sosok Sajak sedang duduk di bangku terasnya, kesusahan mengikat tali sepatu yang dia kenakan. "Woy, Jak! Gimana rasanya hidup segan mati tak mau?" Kara menyeringai ke arah Sajak yang memutar bola matanya malas. "Gue heran, Ra. Nyokap lo baik banget, tapi kok bisa sih punya anak laknat kayak lo? Teman lagi susah, bukannya dibantuin malah dikata-katain." Walaupun mendengar ucapan seperti itu, namun Kara malah tergelak sambil berpegangan pada tembok pembatas rumahnya dan rumah Sajak. "Lo memangnya belum pernah dengar ya? Ada pepatah yang mengatakan apa yang kau tabur, itu yang kau tuai. Ya ini nih! Karena selama ini lo selalu jahat sama gue dari kecil sampai sekarang, makanya Tuhan dengan baik hati ngasih lo azab dalam bentuk Selena. Cewek itu benar-benar bikin hidup lo susah bahkan sampai bikin lo kayak gini. Makanya ya, Jak. Gue bilangin, lo jadi cowok jangan gampangan banget. Asal lihat cewek cantik aja langsung lo deketin. Rasain deh lo sekarang! Ketemu sama Medusa macam Selena." Kara langsung bergerak mundur dengan cepat saat melihat gerakan Sajak yang mengambil pot kaktus di atas meja dan hendak mengarahkan padanya. "Cewek kayak lo enggak akan ada yang mau, Ra!" Sajak berteriak, tapi Kara malah memeletkan lidahnya. "Oh ya? Jangan sok tahu lo! Asal lo tahu aja ya, ada satu anak gudang yang suka sama gue tapi gue tolak. Lo harusnya sadar kalau gue ini cantik, Jak. Jadi omongan lo itu enggak akan terbukti!" Ini bukan sebuah kebohongan. Kara memang di kenal sebagai gadis pendiam dan tidak banyak bicara oleh teman-temannya sehingga kadang kala ada situasi dimana pria diam-diam mendekati atau bahkan langsung menyatakan perasaannya pada Kara. Sayangnya, kejadian terakhir kali dimana Kara yang diselingkuhi oleh pacarnya saat kuliah, membuat Kara belum mau berpacaran dengan siapapun lagi. "Gue yakin banget kalau cowok yang nembak lo itu pasti lagi sakit mata!" Padahal Kara sudah berjalan jauh sampai keluar pagar, tapi rupanya Sajak masih kesal hingga terus berteriak padanya. Kara tertawa, dia mengibaskan tangannya pada Sajak yang masih duduk diam di kursi terasnya. Jika Kara tebak, Sajak pasti kesulitan berjalan karena luka yang ada di lututnya sepertinya cukup parah. Kara tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya saat luka itu bergesekan dengan celana bahan hitam yang dikenakan oleh Sajak. Walaupun dibalut oleh perban, namun rasanya pasti tetap akan sakit. Tapi Kara tidak perduli. Bagaimana pun dia harus profesional menjadi seseorang yang membenci Sajak dari lubuk hatinya yang paling dalam. Jadi dia akan menganggap apa yang terjadi pada Sajak sebagai hadiah yang dikirimkan oleh Tuhan setelah banyak kesulitan yang Kara alami selama ini yang diakibatkan oleh Sajak. Tak lama setelahnya, Abang ojek yang dipesan oleh Kara akhirnya datang. Lekas dia naik ke boncengan dan menoleh ke arah Sajak yang sudah mulai menuruni undakan teras dan berjalan ke arah pagar rumahnya sendiri. "Gue duluan ya, Jak! Lo siapin mental dulu buat berhadapan sama realita setelah lo sampai di kantor." Sajak menatap Kara dengan tatapan kesal setengah mati. Tapi Kara santai saja dan malah melambaikan tangan ke arah Sajak bak finalis Miss Universe. "Dadah, Sajak!" Ketika motor yang dinaikinya sudah berjalan menjauh, senyum jahil Kara langsung lenyap. Sesungguhnya, dia tidak sejahat itu dengan merasa senang atas apa yang akan menimpa Sajak. Dia tahu benar, bahwa di kantor nanti semua orang akan memandang Sajak sambil berbisik-bisik. dan walaupun Kara tidak menyukai Sajak dengan ketengilannya, tapi Kara tetap tidak akan nyaman melihat Sajak diperlakukan seperti itu. Larut dalam pikirannya, Kara sampai dengan selamat di kantor. Suasana masih sama seperti sebelumnya, Kara yang seharusnya langsung masuk ke dalam untuk bisa sampai di ruangannya, malah duduk di sofa lobi. Dia hanya ingin memastikan bahwa apa yang dia pikirkan akan benar-benar terjadi. Bukan dia menunggu saat Sajak diperlakukan dengan tidak baik dan dia akan merasa senang, justru bisa dibilang Kara merasa khawatir. "Lah, lo ngapain disini?" Terlonjak, Kara menemukan Dea yang menatapnya dengan bingung. "Kalau lo mau ke ruangan, lo duluan aja. Gue masih ada yang mau ditunggu." Bukannya langsung berlalu, Dea malah ikut duduk di sebelahnya. "Gue penasaran apa yang lagi lo tunggu. Jadi gue akan ikutan sama lo buat nunggu disini." Kara berdecak, dia membiarkan saja Dea ikut duduk bersama dengannya. Lalu tidak sampai setengah jam kemudian, sosok yang ditunggu oleh Kara akhirnya tiba. Dengan tertatih-tatih Sajak berjalan masuk seperti biasa. Ekspresi nya menggambarkan seakan dia baik-baik saja seperti biasanya. Tapi hal yang sudah ditebak oleh Kara benar-benar terjadi. Orang-orang mulai saling berbisik dengan teman di sebelah mereka sambil menatap ke arah Sajak. Kara menghela napas berat sambil menggelengkan kepalanya. "Jadi...yang lo tunggu itu Sajak? Lo mau nontonin dia diomongin sama orang-orang?" Kara menggeleng. "Justru gue merasa kasihan sama dia. Dia kemarin kecelakaan habis bertengkar sama Selena, makanya jalannya jadi begitu. Maka dari itu, gue mau mastiin gimana dia setelah ada di tengah situasi kayak gini." Dea memutar kepala ke arah Sajak. Lain dengan yang dikhawatirkan oleh Kara, Sajak justru tampak santai sambil masuk ke dalam lift yang lumayan penuh. "Lo khawatir sama dia?" Sejenak Kara diam, merasa pertanyaan itu mirip dengan apa yang ditanyakan oleh Sajak tadi. "Enggak tahu. Yang jelas gue ngerasa ini enggak adil buat dia. Gue punya firasat kalau Sajak enggak salah, kemarin dia juga kelihatan kayak capek banget dan kacau banget. Itu semakin bikin gue yakin kalau dia enggak salah dan Selena yang ngarang cerita. Tapi gue tetap enggak bisa bantu dia. Gue malah kayak orang bodoh yang sengaja isengin dia dengan maksud supaya dia lupa sama apa yang dia alami." Mendengar ucapan Kara, Dea mengerjap beberapa kali dengan tatapan melongo. "Ini..gue enggak salah orang kan? Ini beneran Kara kan?" **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD