Sakit di kakinya masih sangat terasa sehingga Sajak tidak dapat mengejar Kara yang menjahili nya. Tapi entah kenapa, alih-alih kesal dengan tingkah laku gadis itu, Sajak malah merasa bahwa Kara terlihat lucu.
Bukan tanpa sebab dirinya merasa seperti ini. Selama ini Kara adalah pihak yang selalu diam atau marah jika Sajak menganggu nya. Tapi kali ini, dengan tidak seperti biasanya, Kara malah lebih dulu berbuat usil dengan mengusik Sajak yang mau tidak mau harus pasrah karena tidak bisa leluasa bergerak di saat seperti ini. Hal itu sangat ajaib bagi Sajak, sehingga saat dia melihat Kara yang menjauh dengan ojek online yang di pesannya, diam-diam Sajak mengulum senyum. Merasa senang.
Bahkan saat kemudian Sajak tiba di kantor dan telinganya langsung mendengar bisik-bisik soal dirinya dari beberapa orang, dia merasa baik-baik saja. Padahal normalnya dia akan merasa sedih dan kacau seperti kemarin.
"Gila ya? Gue kira dia cuma sekedar playboy doang. Ternyata dia juga suka tidur sama perempuan terus ninggalin begitu saja. Kasihan Selena. Kemarin dia kelihatan terpuruk banget."
"Ya kan? Gue juga enggak suka sama Selena, tapi kalau dia diperlakukan dengan buruk kayak gitu sama cowok, gue juga jadi ikutan sedih. Kasihan banget."
Sajak berdiri di depan lift yang belum terbuka. Namun begitu lift terbuka, Sajak malah menyesal karena dia tidak bisa berputar dan naik lewat tangga darurat saja. Di dalam lift langsung terisi penuh dengan orang-orang yang juga akan naik. Inginnya Sajak membiarkan pintu lift tertutup saja dan dia akan naik yang selanjutnya, namun jika dia melakukan hal itu maka tingkah nya akan terasa aneh. Maka dengan memantapkan diri, dia akhirnya bergerak maju dan berdiri di bagian depan lift.
Begitu lift di tutup, suasana senyap yang tidak menyenangkan langsung terasa. Bulu kuduk Sajak bahkan terasa sampai berdiri. Dia tidak menyangka menjadi bahan pembicaraan orang lain dengan terang-terangan ternyata semenakutkan ini. Padahal selama ini Sajak paling malas memperdulikan omongan orang, baru kali ini dia merasa sedikit takut saat tadi akan berangkat ke kantor.
Kini di ruangan sempit yang terisi banyak orang pun, walaupun memang tidak ada suara yang terdengar, namun Sajak bisa merasakan bahwa tatapan banyak orang sedang tertuju padanya. Dia yakin semua orang sekarang sedang memandanginya dari belakang.
Maka begitu pintu lift terbuka, walaupun sulit tapi Sajak berusaha untuk keluar secepat mungkin dari dalamnya.
Dia bergegas masuk ke dalam ruangan, namun masalah yang sebenarnya justru terjadi di dalam sana ketika Imam sudah menghadangnya dengan senyum menyebalkan.
"Gue udah denger soal lo kemarin sama Selena. Gila! Jadi beneran lo udah kayak gituan sama dia? Pantas dulu lo lengket banget sama dia, ternyata karena udah ngelakuin yang lebih dari sekedar ciuman."
Kening Sajak berkerut dalam menatap pada Imam. Pria yang dia pikir adalah teman baiknya di kantor, ternyata malah bisa berkata seperti itu tanpa menanyakan lebih dulu kejadian yang sebenarnya.
Tapi walau bagaiman pun, Sajak tidak ingin membuat suasana tenang di dalam ruangan ini kacau kalau sampai dia membalas dan berselisih dengan Imam. Maka daripada meladeni ucapan Imam, dia memilih untuk langsung menuju mejanya.
"Kaki lo kenapa? Jangan bilang kalau ini semacam pengalihan isu ya? Supaya orang-orang yang kemarin denger masalah lo sama Selena berbalik kasihan sama lo dan ngelupain skandal besar lo sama Selena?"
Bagaikan sebuah candaan, Imam tertawa setelahnya. Pria itu bahkan mengajak temannya yang lain untuk tertawa juga walaupun di dalam ruangan itu hanya dia yang menganggap ucapannya adalah lucu.
Sedangkan Sajak mulai tidak bisa menerima ucapan sembarangan yang dikatakan oleh Imam. Meskipun Imam menganggap nya sebagai candaan, namun Sajak pikir ini sudah diluar batas yang sewajarnya.
"Mam, jangan ngomong sembarangan dong! Gue kena musibah, enggak seharusnya lo jadiin candaan sampai bilang pengalihan isu segala."
Sajak masih berusaha untuk menjaga intonasi bicaranya agar tidak terkesan marah, tapi Imam malah berpendapat lain. Pria itu langsung menatap Sajak dengan tatapan tidak suka.
"Apa sih? Kok lo jadi serius banget? Lo jadi sensi semenjak aib lo ketahuan sama semua orang? Kalau sikap lo kayak gini, gue jadi makin yakin kalau luka di kaki lo ini cuma karena lo pengen orang-orang beralih fokus ke luka lo daripada ke aib yang lo punya."
Salah satu teman mereka, berusaha mengingatkan Imam bahwa dia sudah keterlaluan. Namun Imam tidak perduli, seakan dia memang berniat untuk memicu emosi dari diri Sajak.
"Gue sebenarnya enggak perduli sama pemikiran lo, Mam. Mau lo mikir ini cuma pengalihan isu atau apapun, gue enggak perduli. Gue cuma pusing aja dengerin lo ngoceh ini itu padahal lo sendiri belum tahu kebenarannya kayak apa. Jadi daripada suasana jadi makin enggak enak, mending enggak usah bahas ini lagi."
Sajak sudah berusaha mengalah. Dia kembali duduk di bangku kerjanya dengan hati-hati karena luka di kakinya terasa nyeri. Dia tadi berjalan dengan tempo cepat tanpa sadar saat keluar dari lift.
"Halah! Di situasi kayak gini pun lo masih berusaha terlihat sok cool ya? Padahal kenyataannya lo cuma mau lari dari masalah."
Wajah Sajak menunjukkan bahwa dia sekarang sudah tidak baik-baik saja. Bahkan di pikirannya, dia sama sekali sudah tidak perduli sekalipun kembali terjadi keributan yang melibatkan dirinya.
"Kok lo makin lama malah makin kelihatan cari gara-gara ya, Mam? Gue pikir awalnya lo cuma mau tahu aja sama masalah gue dan Selena, tapi makin kesini motif lo mulai kelihatan. Lo sebenarnya pengen semua orang mandang rendah gue, sama kayak cara pandang lo ke gue kan? Jadi selama ini, Diam-diam lo sebenarnya enggak suka sama gue? Lo selama ini enek sama gue sambil tetap haha hihi, berlakon seakan lo adalah teman gue? Menjijikkan banget lo."
Suasana yang tadinya hening, kini makin terasa hening namun mencekam. Semua orang yang ada di ruangan itu berusaha keras untuk tidak terlibat dengan keributan antara dua orang yang selama ini mereka tahu adalah teman dekat. Entah siapa yang salah, tapi sekarang mereka berdua tidak meninggalkan kesan teman dekat sedikitpun.
"Kalau iya, memangnya kenapa? Asal lo tahu ya! Awalnya gue emang tulus temenan sama lo. Tapi lama kelamaan sikap lo itu bikin gue mau muntah. Lo tebar senyum ke sana kemari cuma karena lo sadar diri lo itu tampan. Bahkan awalnya lo tahu kan, kalau gue sempet tertarik sama Selena, tapi pada akhirnya lo malah deketin dia!"
Mata Sajak melebar, sedetik kemudian dia tertawa keras setelah mendengar pengakuan dari Imam.
"Jadi itu? Itu yang bikin lo akhirnya mutusin buat buka topeng yang selama ini lo pake? Karena lo cemburu dan berpikir gue sama Selena memang udah pernah tidur bareng?" Sajak mendengus tawa. Dia bersandar pada meja kerjanya dengan satu tangan, karena bertahan berdiri hanya dengan sebelah kaki yang sehat, sama sekali bukan hal yang mudah.
"Gue sebenarnya enggak mau ngomong ini, tapi karena lo sepicik ini berpikir kalau gue udah khianatin lo, maka silahkan aja kalau lo mau deketin Selena dan tidur sama dia! Asal lo tahu, secuil pun gue enggak pernah nyentuh cewek itu. Dengan kata lain, semua yang dia omongin di depan semua orang kemarin memang cuma omong kosong."
Mata Imam melebar dengan menyeramkan. Pria itu menatap tajam pada Sajak.
"Lo pikir gue akan percaya sama omongan lo? Apa lo pikir masuk akal, ada cewek yang enggak perduli sama kehormatan nya sendiri dan mengumbar cerita bohong di depan semua orang?"
Sajak balas menatap tajam pada Imam.
"Nyatanya, Selena memang orang yang seperti itu. Orang yang akan ngelakuin apapun demi mencapai tujuannya. Dan gue minta maaf kalau tanpa sengaja gue bikin lo berpikir kalau gue rebut dia dari lo, tapi sekarang gue akan bilang yang sejujurnya. Gue menyesal, sangat menyesal karena udah kenal cewek manipulatif kayak dia."
Entah untuk alasan apa, Imam yang seharusnya mendengar penjelasan Sajak tentang seperti apa Selena itu, malah memukul Sajak dengan keras sampai Sajak terjatuh.
Sajak berteriak kencang, ini adalah akibat dari luka di kakinya yang menghantam lantai tanpa bisa dia hindari. Dia merintih berkepanjangan, bersamaan dengan celana bahan hitamnya yang terlihat basah dari luar lalu bercak kemerahan terlihat di lantai yang putih. Luka Sajak yang belum kering, mengeluarkan darah yang cukup banyak hingga mengejutkan semua orang.
"Sajak!"
Rasa pusing yang mendera kepalanya, membuat Sajak mulai kesulitan untuk fokus. Tapi dia masih tahu bahwa yang baru saja meneriakkan namanya dengan sangat khawatir adalah Karamel. Gadis itu bahkan langsung berjongkok, tangannya gemetar saat mencoba menarik celana Sajak ke atas.
"Hah! Gimana ini? Darahnya..."
Mendongak untuk mencari tahu seperti apa ekspresi yang ditunjukkan oleh Kara, Sajak mengulum senyum. Kara benar-benar hampir menangis saat berhadapan dengan luka di kakinya.
"Ra, jangan nangis. Gue enggak apa-apa.'
Kara malah melotot garang padanya.
" Lo bodoh ya? Anak TK juga tahu kalau ini bahaya!"
Lalu setelah meneriaki Sajak seperti itu, Kara langsung bangun dan memegangi lengan Dea.
"De, lo bawa mobil kan hari ini? Bawa Sajak ke Rumah sakit, De. Biar gue yang izin ke Pak Bos."
Sajak hendak menolak, tapi Kara sudah berlari panik masuk ke ruangan atasannya. Padahal Sajak ingin bilang bahwa atasan mereka belum datang tapi Kara sudah keburu pergi. Hasilnya, gadis itu kembali beberapa detik setelahnya.
"Pak bos belum datang. Lo langsung bawa Sajak aja dulu ke Rumah Sakit. Nanti gue yang izinin."
Kara memaksa, membuat Dea tidak bisa menolak. Merasa tidak bisa membawa Sajak seorang diri, akhirnya Dea malah menarik tangan Kara.
"Lo juga ikut! Yang izin ke Pak Bos, biar Mila saja."
Mila yang baru datang, mau tidak mau mengangguk mengiyakan. Lalu Sajak dibawa keluar dari ruangan itu dengan bantuan lengan Kara dan Dea.
Tapi sebelum benar-benar pergi, Kara berhenti. Dia menoleh ke belakang dan kemudian berujar dengan penuh ancaman.
"Imam, jangan pikir masalah ini selesai begitu saja. Gue yang akan bikin perhitungan sama lo."
**