Zona Pelarian Diri

1008 Words
Tok! Tok! Tok! Tok! Tok! Suara gedoran pintu yang tak manusiawi memaksa nyawa gadis berambut panjang itu kembali ke raganya. Dahinya mengernyit, melihat jam dinding yang bahkan belum genap pukul tujuh . Belum genap ia mengumpulkan kesadaran, kembali muncul suara dari balik pintu, "Bangun! Kalau nggak bangun gue dobrak pintunya!" Begitu mengenali suara yang berteriak-teriak itu, ia berdecak sebal. Suara yang familiar. Kok dia bisa ada di sini? Batinnya. Ia berharap semua ini hanya sebuah mimpi buruk yang kejam. Tapi sayangnya, tak ada yang lebih kejam dari pada dunia nyata. "Apaan sih? Masih pagi! Ngapain juga lo ke sini? Ini kos-kosan woi! Jangan teriak-teriak!" serunya, masih dengan posisi bersandar di ranjang. "Lo kan kuliah pagi, Maemunah! Mending lo keluar dan mandi sekarang!" Ia menghempaskan tubuhnya kembali ke posisi tidur. Menutup diri rapat-rapat dengan selimut putih tebal. Hari Senin adalah momok yang selalu membuatnya frustasi. Tapi Senin kali ini bukan lagi momok, melainkan monster. Bukan lagi frustasi, tapi menuju depresi. "Kalau lo nggak keluar dalam hitungan kesepuluh, gue laporin ke Mama lo kalau lo sering bolos! Biar tau rasa uang jajan lo dicabut!" "Satu!" Gadis itu membuka selimutnya, kemudian menendang-nendang udara dengan frustasi. Sementara hitungan yang bagaikan bom kematian itu terus berlanjut. Tepat di hitungan kedelapan, gadis itu memutuskan untuk menyerah. Ia membuka pintu kamarnya, dan mendapati seorang perempuan berambut pendek sedang berdiri di depan pintu, sepupunya. "Puas lo, Aaleasha Cleonna?" ketusnya. "Tentunya. Sekarang, cepat mandi! Gue tunggu di sini!" *** Gadis itu tak pernah mengerti, mengapa sepupunya--Aalea--selalu suka untuk ikut campur urusan orang lain, keras kepala pula. Contoh nyatanya adalah pagi ini, Aalea jauh-jauh datang dari rumahnya hanya untuk membangunkan secara tidak manusiawi. Dengan alasan, "Gue nggak mau lo bolos ngampus terus!" "Pamit dulu ya, Bu? Makasih lho saya udah dijinin teriak-teriak tadi," kata Aalea pada ibu penjaga indekos. "Siap, Nak! Saya juga tau kok kalau Rhea susah banget dibangunin. Jadi maklum kalau harus teriak-teriak." Rhea--nama gadis itu--berdecak lalu melangkahkan kakinya keluar rumah, diikuti Aalea. Langkahnya terasa frustasi, begitu pula wajahnya yang kusut mirip benang ruwet. "Besok-besok jangan ke sini lagi, malu gue!" ujar Rhea. Aalea menggeleng, "Selagi lo masih suka bolos, gue bakal tiap hari ke sini. Jangan pikir gue nggak tau ya tentang hobi lo itu." Rhea menyipitkan matanya. Padahal kalau dipikir-pikir, sebenarnya Aalea tidak sedikitpun dirugikan atas tindak 'bolos-membolos' yang Rhea lakukan selama ini. Jadi kenapa Aalea harus peduli, sih? Tak lama kemudian, sebuah mobil berwarna hitam metalik berhenti di depan rumah. Rhea mengikuti Aalea yang beranjak keluar masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, telah menunggu seorang pemuda yang tampak sebaya dengan Aalea maupun Rhea. Pemuda itu tak lagi asing buat Rhea. Namanya Arjuna, pacar Aalea yang setidaknya sudah pernah Rhea lihat sekali. Tepatnya saat Aalea dan pacarnya menjemput Rhea dari bandara sekaligus membantunya pindahan. Orangnya baik, ganteng juga. "Hai, Rhea! Apa kabar?" Rhea tersenyum tipis, "Baik, Kak." Terdengar dengusan kesal Aalea. Dengusan yang terdengar iri dan dengki. "Pintar lo ya, ke Arjuna aja manggil 'kak'. Ke gue boro-boro!" Rhea membalasnya dengan sebuah cengiran tanpa dosa. "Rhe, pokoknya mulai hari ini gue sama Arjuna bakal jemput lo tiap pagi. Nggak ada penolakan! Gue nggak mau lo bolos-bolos lagi!" kata Aalea tegas. "Ih, nggak mau! Gue bukan anak kecil yang harus lo awasin setiap waktu kali, Aal. Ogah gue! Lagian kenapa sih lo peduli banget? Toh kalau gue bolos, lo nggak rugi sama sekali!" Aalea menatap Rhea gemas, sedetik kemudian Rhea menjerit kesakitan. Pasalnya, Aalea menjitak kepala Rhea sekeras-kerasnya. Seolah ingin menghukum gadis itu atas dosa-dosanya selama ini. Padahal Aalea bukanlah Tuhan ataupun dewa. Atas hak apa ia menyiksa Rhea begini? "Gue laporin polisi atas tindak k*******n lo, ya!" ancam Rhea sambil mengelus kepalanya. "Gue peduli karena lo sepupu gue! Lo itu merantau sendirian di Jakarta! Orang tua lo mati-matian kerja biar lo bisa kuliah di sini, tapi lo malah bolos terus? Yang rasional dong, Rhea! Lo itu cuma disuruh kuliah yang rajin, apa susahnya sih? Lagian setau gue, dulu lo itu rajin dan penurut banget. Kenapa sekarang jadi kayak gini, sih?" tanya Aalea geram. Rhea memilih bungkam. Ia menyandarkan kepalanya di jendela kaca. Energinya untuk beradu pendapat dengan Aalea mendadak sirna. Ditelan oleh kegelapan yang bersembunyi di sudut hatinya. Lo bisa ngomong gitu karena lo nggak pernah dipaksa untuk berdiri di tempat yang nggak lo mau, Aal. Batinnya. *** Setelah dua bulan menyandang status sebagai 'mahasiswi psikologi' Universitas Wikramawardhana, baru kali ini Rheanina Kataleyya alias Rhea mampu menyelesaikan mata kuliah sehari penuh tanpa kabur-kaburan. Biasanya? Jangan ditanya. "Rhe, mau ikut jalan nggak?" tanya Dita, salah satu teman sekelasnya. "Iya, nih, kita bakal seneng banget kalo lo ikut!" timpal Via. Rhea menggeleng pelan. "Maaf banget, nih, gue nggak bisa. Ada agenda habis ini." Segerombol perempuan di hadapan Rhea itu mengangguk mengerti. "Besok jangan bolos ngampus lagi ya, Rhe!" Rhea hanya tertawa sambil melambai-lambaikan tangannya. Menyadari banyak juga yang perhatian padanya. Entah tulus atau cuma usaha menjaga citra. Kelas berakhir tepat pukul 2 siang. Rhea yang notabene hanya tinggal seorang diri di Jakarta dan merasa tidak ada yang menunggunya di rumah, berpikir bahwa ia harus berkeliling hingga senja menjemput. Ya, Rhea memang berbohong. Bukannya ada agenda lagi, tapi Rhea hanya tak ingin terlibat lebih jauh dengan sekelompok perempuan tadi. Tenang, Rhea bukan pick me girl yang membenci perempuan lain. Ia hanya tidak suka berinteraksi dengan manusia, secara umum. Rhea belum paham betul tentang Jakarta. Oleh karena itu, ia memilih untuk berjalan-jalan di lingkungan sekitaran kampusnya saja. Dari yang Rhea dengar dari teman sekelasnya, katanya ada sebuah kompleks perumahan mewah tepat di belakang kampus. Tempat itulah yang akan jadi zona pelarian diri Rhea hari ini. Gadis yang rambutnya dikuncir kuda itu berjalan kaki, ia menuju ke arah kiri sejauh 3 kilometer dan menemukan jalan setapak yang digadang-gadang adalah jalan tembusan menuju perumahan mewah itu. Entah apa yang akan dilakukannya di sana, yang jelas Rhea melangkahkan kakinya dengan pasti. Jalan setapak yang Rhea lalui dipenuhi oleh rumah-rumah kumuh tak layak tinggal. Rhea jadi ragu, apa perumahan mewah yang didesas-desuskan teman sekelasnya itu memang nyata adanya. Begitu keluar dari ujung jalan setapak itu, Rhea menganga. Perumahan mewah itu ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD