22. Whispering

1454 Words
Ravi mengantar Tim Eria menuju sebuah tempat. Jalur yang mereka injak itu sudah pernah mereka lalui sebelumnya. Rasanya seperti kembali ke titik awal. Kali ini, Ravi tidak menggunakan kekuatan anginnya. Ia berjalan biasa seperti manusia normal lainnya. Tidak seperti rekan-rekannya, Arias terlihat gelisah. Kepalanya terus digerakkan ke semua arah—seperti mencari sesuatu. Klaus yang berjalan di paling belakang pun menyadari hal itu. Ia mempercepat langkahnya hingga bisa menyusul Arias. “Ada apa?” tanya Klaus. Arias terkejut dengan kehadiran Klaus. Kemudian, ia menjelaskan, “Aku merasa ada energi yang tidak asing di sini. Awalnya, aku kira itu karena energi Ravi. Namun, di tempat ini rasanya semakin kuat.” “Apa itu membuatmu tidak nyaman?” tanya Klaus. Arias menggeleng dengan cepat. “Justru kebalikannya. Energi itu membuatku sangat nyaman.” “Kalau begitu, tidak apa-apa. Aku kira kau merasa kesakitan atau semacamnya,” jawab Klaus. “Tenang aja.” Arias tersenyum. “Kamu masih curiga pada Ravi?” “Tidak terlalu, sih. Tapi, lebih baik kita tetap waspada.” Setelah sampai di sebuah gubuk kecil, Ravi menghentikan langkahnya. “Ini tempatnya.” Waktu kedatangan mereka tepat. Gubuk ini sedang kosong dan tidak terlihat satu pun penghuninya. Dari luar, tempat ini hanya terlihat seperti tumpukan kayu. Siapa yang bisa menyangka bahwa terdapat banyak barang berharga di sini? “Tadi setelah Nora pergi, aku berhasil mengikutinya ke tempat ini. Aku juga sudah memeriksanya. Untuk isinya … mungkin kalian bisa melihatnya sendiri,” ucap Ravi. Nada bicaranya terdengar tidak bersemangat. Sesuai perintah Ravi, Tim Eria pun berjalan mendekat. Mereka tampak terkejut ketika melihat isi gubuk itu hanyalah bebatuan hasil penambangan. Satu per satu kotak sudah diperiksa, namun tidak ada barang yang mencurigakan. Gubuk ini seperti gudang penyimpanan. “Apa maksudnya ini?” tanya Arias. “Sekelompok anak kecil itu bukan pencuri,” jelas Ravi. “Aku juga sempat menanyakan warga sekitar. Katanya, anak ini bertugas memindahkan bebatuan dari satu tempat ke tempat lain. Kemudian, batu ini akan dikirimkan ke pusat.” “Kamu bisa melakukan itu semua hanya dalam selang waktu beberapa menit? Bahkan kita baru sempat minum teh,” ucap Feather tidak percaya. Ravi terlihat kebingungan menjawab Feather. “Um … aku agak cepat dalam bergerak, kurasa?” “Ya, saking cepatnya, kamu tidak bisa dilihat orang lain,” sahut Felix lalu tertawa. “Tentang kelompok pencuri itu, kamu dengar dari mana?” tanya Arias yang mulai menyelidiki. “Aku hanya sempat mendengarnya saat melewati pasar. Ditambah lagi, waktu itu aku berhasil menangkap basah Nora yang sedang mencuri,” jelas Ravi. Arias mengusap dahinya. “Bagaimana jika kita bicarakan sambil makan siang?” *** Tim Eria dan Ravi sampai di tempat makan yang sempat Arias tunjuk sebelumnya. “Teh tadi lumayan mengganjal perut. Kita jadi bisa hemat uang untuk makan siang,” ucap Felix. “Oh, kalian sudah mencicipi teh khas Desa Gowi?” tanya Ravi. “Iya. Rasanya sangat berbeda dengan yang biasanya kita minum,” jawab Felix. “Aku juga baru membelinya kemarin. Aku terkejut dengan rasanya. Dibandingkan seperti minuman herbal, rasa tehnya lebih seperti minuman yang menyegarkan. Jika diminum saat pagi, mungkin bisa membuat hari kita menjadi lebih ceria dari biasanya,” ucap Ravi. “Benar … sensasinya menyegarkan,” jawab Feather sambil membayangkan rasa teh yang ia minum tadi. “Ravi, apa kamu punya adik?” tanya Felix tiba-tiba kepada Ravi. “Hm? Apa terlihat jelas?” “Kau terlihat sangat peduli dan lembut pada anak kecil,” jawab Felix. “Ah, aku rasa itu dua hal yang berbeda,” kata Ravi. “Iya, aku memiliki adik. Tetapi, bukan itu alasan aku bersikap lembut pada anak kecil.” “Lalu?” “Anak kecil yang berbuat salah … kebanyakan karena kurangnya ajaran dari orang tuanya. Pada dasarnya, mereka belum tahu soal yang benar dan yang salah. Karena itu, jika kita memperlakukannya dengan kasar, ke depannya, ia hanya berusaha menghindari hukuman—tidak benar-benar mengerti kesalahannya.” Arias memetik jarinya. “Ah! Aku pernah membaca soal ini. Ajaran orang tua memang sangat memengaruhi pola pikir anak.” “Membaca?” tanya Feather. “Orang tuaku adalah peneliti psikologi,” jelas Arias. “Aku sering membaca jurnal milik mereka jika ada waktu luang.” Ravi mengangguki ucapan Arias dengan semangat. “Aku juga sempat mempelajari psikologi. Orang tuamu berasal dari mana, Arias? Sejauh yang kutahu, jarang sekali yang berasal dari Escalera.” “Dari Yasle,” jawab Arias. “Iya, yang kau bilang itu benar. Kebanyakan, para peneliti itu berasal dari Valbuena. Penduduk Escalera lebih fokus pada teknologi.” “Wah, kalau begitu, apa orang tuamu juga salah satu peneliti?” tanya Felix pada Ravi. “Sayangnya, tidak. Orang tuaku mendalami dunia magis,” jawab Ravi. “Ah, ilmu magis? Apa kau kenal dengan keluarga Lafelt?” tanya Arias. Lafelt adalah keluarga Nyridia. Keluarga Lafelt memang sudah cukup terkenal di dunia magis. Sebagai keturunan dari Lafelt, Nyridia pun harus mengharumkan nama keluarganya dengan menjadi seorang kesatria. Arias tahu tentang ini karena sudah kenal dengan Nyridia sejak lama. Meski keluarganya lebih fokus pada magis, tetapi Nyridia tetap berdiri pada kakinya sendiri dalam menggunakan elemennya. “Sepertinya aku pernah mendengarnya,” jawab Ravi. “Mereka berasal dari Escalera, kan?” Arias mengangguk. “Tidak disangka, dunia itu sempit juga.” “Ravi, kau bilang, kau berasal dari Valbuena, kan? Apa benar di sana ada sistem kerja paksa?” tanya Feather. Ravi mengernyitkan dahi. “Hah?” “Iya, katanya di Valbuena itu ada sistem kerja paksa yang hanya boleh berhenti ketika malam tiba,” tambah Felix. “Tetapi, karena Valbuena tidak pernah ada malam, maka mereka harus tetap bekerja di bawah terik matahari.” “Apa Valbuena itu gersang?” Kali ini Arias yang bertanya. Ravi tertawa. “Sungguh, dari siapa kalian dengar rumor itu?” Felix dan Feather saling tatap. Tentu mereka bingung. “Jadi, Valbuena itu seperti apa?” tanya Arias. “Tidak ada malam, bukan berarti wilayah kami sangat panas. Dibanding suhu di Valbuena, suhu di Escalera lebih tinggi. Kami hidup dengan baik. Hanya saja, beberapa binatang dan tumbuhan tidak bisa bertahan hidup karena membutuhkan malam. Tetapi, untuk manusia, tentu bisa hidup dengan normal,” jelas Ravi. “Wah, aku tidak menyangka.” Feather menutup mulutnya. “Aku juga tidak menyangka bahwa kalian bisa berpikir seperti itu,” jawab Ravi. “Tidak ada kegersangan. Sesekali juga hujan turun. Tidak ada juga sistem kerja paksa—ya, dulu sempat ada, sih. Bukankah setiap wilayah selalu memiliki sejarah yang buruk? Aku rasa, kerja paksa dapat terjadi di mana pun.” “Kalian dengar rumornya dari mana, sih?” Feather menatap sinis kedua rekannya. “Ya, sering denger aja.” Felix melihat ke arah lain karena malu. Arias menggaruk tengkuknya sambil tertawa. “Maaf, aku hanya sering mendengarnya. Aku tidak pernah ke sana.” Ravi tertawa lagi. “Valbuena itu layak huni, kok. Kami juga sedang mengembangkan teknologi untuk menunjukkan waktu.” “Ah, iya. Kalian butuh penunjuk waktu,” gumam Feather. “Lalu, apa alasanmu menjadi pengembara?” “Entahlah. Terkadang, aku juga menanyakan itu pada diriku sendiri. Aku hanya ingin menjelajahi dunia dan membantu orang lain.” Selang lima detik, datang sekelompok wanita ke kedai. Baru sampai di pintu masuk, suara mereka sudah memenuhi tempat ini. Mereka membicarakan sesuatu dengan volume yang tidak bisa diatur. “Tentu! Bahkan tetanggaku kehilangan kalungnya.” “Serius?! Aku juga dengar kalau nenek penjual ikan di pasar itu kehilangan banyak batu giok.” “Ah, tidak mungkin! Kepala desa sudah sangat ketat menjaga keamanan di pasar.” “Ketat apanya? Bahkan uang miliknya juga dirampok.” “Apa?!” Suara perbincangan mereka terus terdengar sampai mereka memesan minuman. Perbincangan mereka sempat berubah topik sebentar karena salah satunya memuji interior kedai teh ini. Namun, tidak lama kemudian, mereka kembali membahas tentang kasus pencurian di desa. “Kita lupa satu hal,” ucap Arias tiba-tiba. Ketiga rekan setimnya menatapnya penasaran. Nada bicara Arias juga terdengar sangat serius. Mereka sudah merasa takut jika ada sebuah barang penting yang lupa dibawa dari pusat. “Desa ini merupakan area yang kecil. Setiap penduduk pasti mengenal satu sama lain. Kita lupa tentang kemungkinan adanya rumor dan fitnah,” lanjut Arias. Klaus memicingkan mata. “Pantas, aku juga merasa ada yang aneh. Ketika kita baru masuk ke pasar, aku sempat mendengar tentang kepala desa juga. Yang aku dengar adalah perhiasannya yang hilang. Namun, kali ini, uang yang hilang.” “Wah, hebat. Kau bisa mendengarnya? Ketika baru masuk, terlalu banyak suara yang di sekitar kita. Aku tidak bisa fokus satu pun,” ucap Felix. “Sebentar … yang tadi Nora curi itu kantong uang milik nenek penjual ikan, kan?” tanya Feather. “Kenapa barusan dibilang batu giok?” “Lagi-lagi, kita mendapat misi yang tidak jelas kebenarannya,” gumam Arias lalu menggelengkan kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD