23. Ravi's Involvement

1346 Words
“Kita mulai dari pemilik tempat makan ini aja gimana?” tanya Feather. Arias menyetujui ide Feather. “Memang harus dimulai dari yang paling dekat.” “Baiklah. Aku beraksi, ya,” ucap Feather lalu diberi semangat oleh rekan-rekannya dalam diam. Feather bangun dari kursinya lalu menghampiri ibu pemilik restoran di dekat pintu masuk. “Halo, siang, Bu. Ini untuk meja yang di sana.” Feather memberikan beberapa lembar uang kepada ibu tersebut dan menunjuk meja tempat dirinya dan rekan-rekannya makan. “Baik, terima kasih.” Selagi pemilik restoran itu menghitung uang, Feather pun mulai memancingnya. “Akhir-akhir ini situasinya seram ya, Bu? Saya dengar banyak warga yang barangnya dicuri.” “Iya, saya juga dengar itu. Kita memang harus waspada,” jawab ibu itu. “Apa barang ibu ada yang hilang juga? Tempat seperti restoran sepertinya rawan maling,” ucap Feather. “Belum ada, sih. Jangan sampai ada juga,” jawabnya lalu memberikan selembar uang kepada Feather. “Ini kembaliannya. Datang lagi, ya.” Setelah menerima kembaliannya, Feather pun memberi sinyal kepada teman-temannya untuk keluar dari sana. Di depan restoran, mereka berdiskusi kembali. “Ibu itu tidak mengatakan apapun. Sepertinya, dia bukan tipe orang yang banyak bicara,” ucap Feather. Semua yang mendengar itu pun terlihat kehilangan harapan. Mereka tampak berpikir harus melakukan apa untuk kasus ini. “Wah, mereka sungguhan kesatria dari pusat. Nyonya Revia memang tidak pernah mengingkari janji!” “Aku tidak menyangka permintaannya diproses dengan cepat oleh Tuan Herreros. Sekarang, desa ini terasa sangat aman.” Percakapan itu tidak jauh dari mereka berlima. Tentu mereka bisa mendengarnya dengan jelas. “Nyonya Revia? Apa mungkin kita harus menghampirinya?” tanya Arias pelan. “Tetapi, kita tidak kenal dia siapa,” jawab Felix. “Serahkan padaku,” ucap Ravi lalu menghilang lagi bagai angin. “Ah, orang itu selalu saja menghilang sesuai keinginannya,” ucap Feather. “Berkatnya, misi kita dapat lebih cepat selesai,” kata Klaus. Feather menatap Klaus dengan tajam. “Diam kamu, Klaus Alastair. Kamu masih berutang penjelasan padaku.” Klaus mengangguk dengan wajah datarnya. “Iya, Feather Alecia.” “Aduh, kalian berdua kenapa, sih?” tanya Felix dengan nada bercanda. “Berantem tapi lucu.” Tidak lama kemudian, Ravi kembali lagi. “Ayo ikuti aku,” ucap Ravi lalu memimpin jalan. *** Hari sudah menjelang sore. Keadaannya cukup berbeda dengan pagi dan siang. Orang-orang mulai sibuk mengurus rumah tangga masing-masing. Hanya beberapa yang masih berkerumun di luar. Tim Eria dan Ravi sampai di sebuah rumah yang terlihat lebih megah dari rumah lainnya. Dapat disimpulkan bahwa pemilik rumah ini adalah orang yang cukup berkuasa di desa ini. Ravi menepuk pundak Arias dan mengajaknya untuk bicara sebentar. Tim Eria yang lain pun hanya diam menunggu mereka menyelesaikan pembicaraan. Selang beberapa menit, mereka berdua selesai bercakap-cakap. Arias berjalan ke arah pintu rumah yang ada di hadapan mereka. Setelah itu, ia mengetuk pintunya. Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah itu. Pakaiannya terlihat seperti pakaian perkotaan. Sangat berbeda dengan warga desa lainnya yang sudah mereka temui. “Ya?” tanya wanita itu. “Apa Anda Nyonya Revia?” tanya Arias. “Benar. Lalu Anda ….” “Saya Arias, kesatria dari pusat,” ucap Arias. “Anda yang melaporkan kejadian pencurian di desa ini ke pusat, bukan?” “Benar. Apakah sudah diselidiki?” Suara Revia terdengar lebih semangat dari sebelumnya. “Apakah harus diselidiki?” tanya Arias dengan nada sarkas. Rekannya yang lain terkejut dengan perubahan sikap Arias. “Maksud Anda?” “Apakah dua tahun? Ah, sepertinya benar,” gumam Arias. “Anda bisa dikenakan hukuman dua tahun di Soleclar karena sudah memberi laporan palsu.” Wajah Revia memucat. “Sa—saya—” “Apa Anda mau menjelaskannya?” “Baiklah!” Revia membukakan pintunya dengan besar. Ia mempersilakan seluruh tamunya untuk masuk. Enam orang sudah berkumpul di ruang tamu. Revia tidak lupa untuk menjamu tamunya dengan secangkir kopi. Setelah membagikan ke semua tamu, wanita itu duduk di sofa dan mulai membuka mulutnya. “Saya mencalonkan diri untuk menjadi kepala desa. Namun, saingan saya adalah orang yang sangat dihormati di sini. Saya merasa tidak memiliki ruang untuk bersaing. Karena itu, saya memanfaatkan rumor yang ada di desa untuk mendapatkan simpati warga,” ucap Revia. “Rumor apa yang Anda maksud?” tanya Arias. “Saya sempat mendengar obrolan tetangga saya mengenai barang berharganya yang hilang. Setelah mendengar itu, saya menceritakannya ke warga lain. Warga lain pun menceritakannya lagi ke yang lainnya. Namun, cerita itu terus berubah-ubah. Setiap cerita itu kembali lagi terdengar di telinga saya, saya menambahkannya lagi secara asal.” “Lalu, kenapa Anda melaporkan ke pusat?” “Sa-saya tidak tahu kalau laporan saya sungguhan diterima oleh pusat. Saya mengatakan ke para tetangga bahwa saya akan memanggil kesatria dari pusat untuk menjaga desa ini dari perampokan. Dengan itu, saya jadi mendapat nilai tambah sebagai kepala desa. Saya ingin mendapatkan kepercayaan dari orang-orang.” “Kesimpulannya, Anda memakai cara ini untuk menyaingi calon satu lagi yang memang memiliki nama baik?” tanya Klaus. “Iya .…” Klaus tersenyum miring lalu wajahnya kembali datar. “Kalimat yang sempat Anda sebutkan itu benar. Anda memang tidak memiliki ruang untuk bersaing.” Revia terlihat sedih ketika mendengar ucapan Klaus. Sedangkan rekannya yang lain melirik Klaus dengan berbagai ekspresi. Setiap Klaus membuka mulut, pasti ada saja hati yang tersakiti. “Baiklah. Kami sudah mengerti situasinya. Kami—” “Tapi saya tidak salah sepenuhnya!” seru Revia tiba-tiba. “Pusat juga salah karena menerima permintaanku! Meski banyak sekali laporan yang ditujukan ke pusat, jarang sekali yang diterima. Bahkan, warga-warga desa sudah sering melaporkan mengenai kasus yang terjadi di desa. Namun, tidak ada satu pun yang digubris.” Arias mengusap dahinya. “Ya … baiklah. Kami akan kembali ke pusat untuk melaporkan situasinya. Jangan membuat laporan palsu lagi ke pusat.” “Hentikan juga bergosip,” tambah Klaus. *** Sebelum kembali ke pusat, Tim Eria mampir ke tempat penginapan Ravi. Kebetulan tempatnya tidak jauh dari rumah Nyonya Revia. Mereka juga memesan kamar untuk menginap malam hari ini. Karena belum terlalu malam, mereka pun berkumpul di kamar Ravi untuk berbincang. “Terima kasih, Ravi. Meski kamu bukan berasal dari sini, tapi kontribusimu sangat banyak di misi kami,” ucap Arias. “Aku juga senang membantu kalian. Sepertinya, hidup membara sepertiku selalu bisa menemukan pengalaman yang unik,” jawab Ravi. “Ravi, bagaimana kamu bisa tahu itu semua?” tanya Feather. “Aku sempat kembali ke gubuk tadi. Aku berharap dapat bertemu Nora dan menanyakan tentang Revia padanya. Ternyata, di sana sangat ramai. Aku pun mendapat banyak informasi dari teman-teman Nora,” jelas Ravi. “Setelah menggabungkan semua potongan puzzle, aku pun mengerti garis besar dari permasalahan ini.” “Ternyata masalah di sini hanya sebatas rumor .…” Felix meregangkan tangannya. “Apa kalian sadar? Yang terjadi di Desa Gowi tidak jauh berbeda dengan keadaan kita sekarang,” ucap Feather. “Maksudnya?” tanya Felix. “Kita mendengar rumor tentang Valbuena dan membagikan hal itu,” kata Feather. “Melebih-lebihkan fakta, termakan kebohongan.” Ravi tertawa kecil. “Benar juga. Rumor memang terkadang berbahaya. Dari yang hanya sebatas wilayah tanpa malam, bisa sampai merujuk ke wilayah penuh kekejaman dan kegersangan. Manusia memang menyeramkan. Hanya dengan mulut, mereka bisa dengan bebas mengubah nasib orang.” “Makanya ada pepatah yang mengatakan bahwa mulutmu adalah harimaumu,” ucap Felix. “Tapi, kamu sendiri termakan rumor,” ucap Feather. Felix menggaruk belakang kepalanya sambil tersenyum lebar. “Itu memang salahku karena langsung percaya.” “Kalau begitu, apa kamu tahu tentang sejarah Valbuena, Ravi?” tanya Feather. “Tentang segel yang membuat Valbuena tidak mengenal malam.” “Sejarah, ya … bahkan di sini pun tidak ada kisah yang terbukti kebenarannya. Orang tuaku selalu mengatakan bahwa keadaan Valbuena menjadi seperti sekarang karena ada perang yang meledakkan terlalu banyak energi. Karena energinya terlalu banyak, ada sesuatu yang berhasil merusak langit,” jawab Ravi lalu melihat langit melalui jendela kamarnya. “Sejak lahir, aku sudah tidak mengenal malam. Sehingga, aku terbiasa hidup seperti ini. Hanya saja, setelah mengembara, aku menjadi tahu bahwa kegelapan malam itu ada.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD