24. Missing Pendant

1684 Words
Saat pagi tiba, Tim Eria mengetuk kamar milik Ravi. Untungnya, sang pemilik kamar sudah bangun. Mereka pun berpamitan. Setelah Tim Eria meninggalkan penginapan, Ravi menggeser kaca jendela kamarnya dan menatap kepergian mereka. Ketika ia hendak menutup kembali kacanya, seekor burung merpati masuk melalui celah. Alih-alih mengusir, Ravi malah memberi senyuman kepada burung itu. Ravi menggerakkan telapak tangannya ke atas sehingga burung itu bertengger di jari telunjuknya. “Kau benar. Aku bisa bertemu dengannya.” “Bagaimana kamu bisa mengenalinya?” tanya burung merpati itu. “Colum,” panggilnya lalu tertawa kecil. “Kamu sudah berkali-kali menyebutkan ciri-ciri orang itu kepadaku. Aku bahkan sudah mengingatnya di luar kepala. Saat aku melihatnya, aku langsung tahu kalau itu orang yang kamu maksud.” Burung merpati yang bernama Colum itu mengepakkan sayapnya. “Aku tidak ingat bahwa aku sudah mengatakannya berkali-kali .…” “Seorang kesatria Escalera dengan rambut abu-abu gelap, tatapan mata yang tajam, berumur delapan belas tahun, dan jarang berbicara,” ucap Ravi. “Orang tadi sangat memenuhi ciri-ciri yang kamu maksud. Kamu juga lihat, kan?” “Iya, aku melihatnya.” “Aku kira, mengembara di desa adalah perjalanan yang sia-sia. Tidak ada yang tahu kalau aku bisa bertemu dengannya,” ucap Ravi lalu kembali melihat ke jendela. “Klaus Alastair … satu-satunya darah Ritchie Cleogard yang tersisa.” *** “Akhirnya, bisa pulang ke rumah,” ucap Feather sambil meregangkan badan. “Biar aku simpulkan misi kita kali ini,” ucap Felix. “Kasus pencurian itu hanyalah sebatas rumor. Kemudian, Tuan Herreros memberi kita misi ini karena ada energi dari Valbuena. Benar, kan?” Arias mengangguk. “Kalau Ravi tidak sedang mengembara di Desa Gowi, pasti permintaan itu tidak akan diterima Tuan Herreros.” “Ini hanya kebetulan, ya .…” Feather mengucapkannya dengan pelan. “Lalu, yang tentang teori bahwa energinya terduplikat itu benar,” ucap Felix. “Ravi sangatlah cepat. Tidak heran jika terdeteksi banyak energi.” “Teman-teman,” panggil Arias. “Aku ingin ke suatu tempat dahulu. Kalian pulang duluan aja.” “Baiklah,” jawab Felix. Arias menepuk bahu Klaus yang ada di sebelahnya. Ia mengisyaratkan Klaus untuk mengikutinya. Sedangkan untuk Feather dan Felix, mereka berdua fokus berjalan di depan. Mereka tidak berpikir panjang soal Arias yang ingin pergi ke tempat lain. Arias membawa Klaus ke jalur yang sempat mereka lewati kemarin. “Ah, kamu ingin ke tempat energi itu berasal?” tanya Klaus. “Benar.” Arias mengangguk. “Di sini energinya sudah terasa kuat. Apa kamu merasakannya juga?” “Tidak. Aku tidak merasakan apa pun.” Dua lelaki itu sibuk berjalan ke sana ke mari untuk mencari sumber dari energi yang dimaksud Arias. Setelah beberapa saat, Arias menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah. Dari kelihatannya, rumah ini sudah lama tidak diurus. Bangunannya juga merupakan bangunan tua yang sudah ada sejak generasi sebelumnya. “Klaus!” seru Arias ketika menemukan apa yang mereka incar sejak tadi. Klaus segera menghampiri Arias yang tidak jauh dari tempat dia berdiri. Arias pun mengetuk pintu rumah tua itu. Sudah berkali-kali dilakukan, tetap tidak ada jawaban. “Eh? Kalian para kesatria masih ada di sini?” tanya warga yang kebetulan melewati mereka. “Iya, apa ada yang bisa dibantu?” tanya Arias dengan ramah. Warga itu menggeleng. Kemudian, ia melihat usaha Arias dan Klaus yang ingin bertamu ke rumah tua itu. “Apa kalian salah rumah? Rumah itu sudah lama tidak berpenghuni. Dulunya, rumah itu ditinggali oleh seorang perempuan. Dia juga jarang keluar rumah dan tidak berbaur dengan warga lain.” “Ah, begitu. Terima kasih,” ucap Arias dan Klaus kemudian membungkuk. Setelah warga itu pergi, Arias menggerakkan kenop pintu itu tanpa ragu. Klaus yang di sebelahnya tentu terkejut. Ia langsung melihat ke segala arah—memastikan tidak ada yang melihat mereka. Pintu yang tidak terkunci itu pun dengan mudah dibuka oleh Arias. Mereka berdua dengan cepat masuk ke dalam rumah itu. Berbeda dengan penampilannya dari luar, isi rumah ini bersih. Tiba-tiba, Arias tertawa. Melihat tingkah Arias yang aneh, Klaus segera menjauh darinya. “Klaus, saat aku ingin membuka pintu ini, kenapa kamu terlihat sangat ketakutan?” tanya Arias di sela tawanya. “Padahal, kamu pernah memasuki rumah orang sampai dipenjara.” Klaus hanya memasang wajah datar saat mendengar perkataan Arias. Ia segera menyusuri rumah kosong itu dan meninggalkan Arias di depan. “Jangan mencari, Klaus. Waktu itu pun, kamu tidak berhasil mencuri barang yang ingin kamu cari,” tambah Arias. Klaus langsung menoleh ke arah Arias. Wajahnya memerah karena malu. “Arias, kamu ini ada dendam apa padaku?” Tawa Arias makin kencang. “Maaf, maaf. Aku hanya bercanda.” “Dilihat dari keadaan barangnya, sepertinya ada seseorang yang bertugas untuk membersihkan rumah ini secara rutin,” ucap Klaus. Arias memeriksa sekitar. “Ah, benar. Debunya sangat sedikit. Padahal, kata warga itu, rumah ini sudah tidak ada penghuninya sejak lama.” “Apa energi itu terasa semakin kuat?” tanya Klaus. Arias mengangguk lalu memeriksa satu per satu ruangan di rumah itu. Sedangkan Klaus hanya melihat-lihat interior dari rumah itu. Melihat keadaan rumah ini yang sangat rapi meski ditinggalkan lama, membuat dirinya penasaran dengan siapa sebenarnya pemilik rumah ini. “Klaus, di sini!” seru Arias tiba-tiba. Mendengar itu, Klaus segera menghampiri Arias yang berada di ruangan paling ujung. Terlihat Arias yang sedang memegang sebuah gelang dengan liontin berwarna putih. Gelang itu tidak terlihat mencolok, namun siapa pun yang melihatnya dapat menyimpulkan bahwa gelang itu bukanlah milik orang biasa. “Gelang? Itu sumber energinya?” tanya Klaus pada Arias yang sedang menatap gelang itu dengan serius. “Lalia’s Pendant .…” Nada bicara Arias menjadi murung. Sangat berbeda dengan nada bicaranya saat memanggil Klaus ke ruangan ini. “Apa?” tanya Klaus bingung. Arias menggenggam gelang itu dengan erat. Kemudian, ia menatap Klaus dengan tatapan yang sayu. “Arias, sebenarnya ada apa?” tanya Klaus. “Kamu ingat saat aku bilang bahwa energinya terasa sangat familier dan membuatku nyaman?” Klaus mengangguk dengan cepat. “Itu karena energi ini adalah milik Pilav,” jelas Arias lalu menatap ke sekeliling. “Ini adalah rumah yang ditinggali Pilav waktu dulu.” Klaus merasa bingung untuk beberapa saat. Setelah itu, ia kembali ingat dengan perkataan Eugene di markas Tim Elite. Ia sempat mengatakan bahwa Ariaslah yang paling mengerti soal Pilav. Mengingat hal itu, Klaus mulai mengerti bahwa Arias memang sangat dekat dengan Pilav. “Sebentar… lalu apa liontin yang kamu maksud?” tanya Klaus. “Kamu lihat liontin putih yang ada di gelang ini? Itu namanya Lalia’s Pendant, liontin putih dari keraja—” Arias memberhentikan ucapannya ketika sadar bahwa dirinya menjelaskan terlalu banyak. Ia menatap Klaus lagi. “Itu warisan dari keluarga Pilav. Liontin ini berfungsi sebagai energi cadangan. Makanya, aku bisa merasakan energi milik Pilav yang kuat di sini.” Klaus menganggukkan kepalanya berkali-kali tanda mengerti. “Tapi, memangnya kita bisa merasakan energi orang lain? Aku tidak pernah merasakannya.” “Bisa, kalau kau memiliki hubungan yang dalam dengan seseorang,” jawab Arias. “Kalau hampir setiap hari kau bertemu dengan seseorang, maka kamu akan merasa sangat familier dengan keberadaan orang itu. Begitu juga dengan energinya.” “Kamu dan Pilav sangat dekat, ya,” ucap Klaus. Arias hanya menjawabnya dengan tersenyum. “Karena itulah awalnya aku mengira energi itu adalah milik Ravi. Mereka berdua memiliki elemen angin. Sehingga, aku juga merasa familier. Ternyata, energi itu adalah energi sungguhan miliknya.” “Oh, iya. Aku memiliki pertanyaan tentang Pilav. Eugene bilang, kamu adalah orang yang paling mengerti tentang dirinya,” kata Klaus. “Aku tidak yakin kalau aku mengerti segalanya tentangnya. Tetapi, mari kita dengar apa pertanyaanmu.” Klaus menceritakan kejadian saat ia berada di markas Tim Elite. Mulai dari ucapan Pilav yang tegas kepada Seth, Pilav yang sempat membela Tim Eria, dan Pilav yang membela Tyra di depan Jenderal Bosley. Wajah Arias tidak terlihat terkejut. Ia hanya menganggukkan kepalanya. “Pilav dan Tyra … sebenarnya mereka berdua saling kenal.” “Apa?” “Kau mau mendengar kabar yang lebih mengejutkan lagi?” tanya Arias. Klaus melihat Arias dengan penuh penasaran. “Rumah ini adalah rumah milik Tyra,” ucap Arias. “Kamu ingat kan kalau Tyra lahir di Desa Gowi? Ya, inilah rumahnya.” “Lalu … Pilav itu .…” Berbagai ide muncul di kepala Klaus. Ia menerka-nerka apa alasan Pilav bisa tinggal bersama Tyra. “Tidak, tidak.” Arias dengan cepat menggerakkan telapak tangannya ke kiri dan kanan. “Apa pun yang sekarang kamu pikirkan, itu bukan jawabannya.” “Lalu?” “Maaf, sepertinya seharusnya bukan aku yang menjawab pertanyaan itu. Ini kisah Pilav, bukan kisahku,” jawab Arias. Klaus mengangguk. “Aku mengerti.” “Kembali lagi ke yang kamu ceritakan sebelumnya,” ucap Arias. “Soal Tim Eria, aku sudah mendengarnya juga dari Pilav. Dia sangat marah ketika kita diberi misi mematikan seperti waktu itu. Mungkin itu alasan dirinya menyuruh Seth untuk berhati-hati terhadap Tyra. Kalau soal dirinya yang membela Tyra di depan ayah Eugene, ya … mungkin karena dia pada dasarnya sudah kenal siapa Tyra.” “Kalau dia sudah kenal siapa Tyra, kenapa dia masih menyuruh untuk berhati-hati pada Tyra?” tanya Klaus. “Klaus, apa kamu percaya pada Feather dan Felix?” “Tentu.” “Apa itu karena kamu sudah mengenal mereka sejak lama?” “Iya. Aku sudah berteman dengan mereka sejak di akademi.” “Kasus Pilav berbeda. Bahkan, setelah bertahun-tahun kenal dengan Tim Elite, ia masih belum bisa percaya dengan mereka,” kata Arias. “Sama seperti dengan Tyra.” Klaus terdiam sebentar. “Sebentar, Arias. Kenapa kamu memberi tahu ini kepadaku? Kamu bilang, itu adalah kisah Pilav. Apa boleh kamu ceritakan semudah ini padaku? Tim Elite pasti belum tahu, kan?” Arias tersenyum. “Auramu mirip dengan Pilav.” Klaus menatap Arias dengan sinis. “Selama ini kamu serius gak sih? Tadi energi, sekarang aura. Kamu ini punya indra keenam atau gimana?” Lawan bicaranya itu tertawa. “Tentu aku serius. Aku merasa ada kemiripan antara dirimu dengan Pilav. Seth juga sempat bilang begitu, kan?” “Sudahlah,” ucap Klaus. “Lalia’s Pendant itu mau kau apakan?” “Akan aku kembalikan ke pemiliknya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD