25. Past Memory of the Homeland

1441 Words
Sebuah api unggun menyala di tengah hutan. Dengan pohon rindang yang berada di belakang punggungnya, Arias menatap langit malam yang kosong. Tidak ada bintang sama sekali. “Arias.” Pilav datang dari arah Arias sebelumnya masuk. Meski sudah empat tahun berlalu, mereka berdua masih mengingat lokasi favorit mereka. Hutan ini berada tidak jauh dari pusat. Biasanya tempat ini digunakan untuk latihan bertarung dan memburu hewan. Pertama kali mereka menemukan tempat ini adalah ketika latihan bertarung bersama temannya yang lain. Di saat yang lainnya pulang, mereka berdua memutuskan untuk menetap dan memasang api unggun. Arias menoleh ke arah si pemanggil. Ia menepuk bangku kayu yang ada di sebelahnya—menyuruh untuk duduk. Mengikuti perintah Arias, perempuan berambut hitam itu pun duduk di sampingnya. Malam itu dingin sekali. Jika tidak ada api unggun, maka mereka berdua bisa membeku. “Sudah lama kita tidak duduk di depan api unggun,” ucap Pilav. “Aku rasa ini waktu yang tepat untuk itu.” “Memangnya kenapa?” Pilav menatap Arias bingung. Arias melirik api yang ada di hadapan mereka berdua lalu menoleh ke arah Pilav. “Kemarin aku dan Tim Eria pergi ke Desa Gowi.” Pilav terus menatap Arias, menunggu kelanjutan dari ceritanya. “Kamu tahu apa yang aku temukan?” tanya Arias. “Apa?” Arias merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan Lalia’s Pendant. Ekspresi Pilav langsung berubah drastis. Perempuan itu terlihat tidak percaya ketika mengetahui benda itu ada di tangan Arias. “Lalia’s Pendant milikmu,” ucap Arias. “Kapan terakhir kali kamu memakainya? Apa kamu sudah membuangnya sejak lama?” Pilav tertegun. “Bagaimana kamu bisa menemukannya?” “Energimu tersimpan di liontin ini. Aku mengikuti arah dari energimu,” jawab Arias. “Apa kau sering berkunjung ke rumah lamamu itu? Aku lihat, keadaannya sangat bersih untuk rumah yang ditinggalkan sangat lama.” “Tidak.” Perempuan itu menggeleng. “Tyra yang memasang mantra di rumah itu sehingga isi rumahnya tidak berubah sama sekali.” “Lalu, kenapa kamu memutuskan untuk melepaskan gelangnya?” tanya Arias. “Bukannya itu satu-satunya benda yang dapat membuatmu merasa terhubung dengan keluargamu?” “Aku ingin melepas masa laluku,” jawab Pilav lalu membuang muka. "Untuk melepaskan masa lalu? Kamu tidak melepasnya. Kamu hanya kabur,” ucap Arias dengan penuh penekanan. Pilav terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke api unggun. Arias menarik tangan kiri Pilav lalu memasangkan gelang miliknya. Pilav yang merasa terkejut itu sudah tidak bisa apa-apa. Ia tidak bisa menolak perlakuan Arias karena memang dirinya yang salah. “Jangan pernah lepas ini sampai kapan pun,” ucap Arias. “Liontin ini mungkin memang menyimpan masa lalu yang kelam. Tapi, kalau kamu tidak bisa menerimanya, kamu tidak akan bisa merasakan kedamaian.” “Arias .…” “Karena itu, jagalah ini dengan baik. Pakai ini dengan rasa bangga. Bagaimanapun, kamu pernah menjadi bagian dari kerajaan,” lanjut Arias. Mata Pilav berkaca-kaca. Ketika mendengar kata “kerajaan” dari mulut Arias, berbagai memori berputar di kepalanya. Ia kembali mengingat betapa indahnya tanah kelahirannya itu. Alba, sebuah wilayah yang berupa kerajaan. Dipimpin oleh seorang raja yang sangat bijaksana dan menyayangi rakyatnya. Pilav lahir sebagai putri yang sangat dihormati. Ia menerima banyak kasih sayang dan barang berharga. Namun, sekarang, itu semua hanya sebatas ingatan. Tujuh tahun yang lalu, Kerajaan Alba dibakar habis. Tidak ada satu pun yang berhasil selamat dari tragedi itu—dari kaum bangsawan maupun rakyat. Hanya Pilav yang berhasil hidup dan dibawa ke Escalera. Sayangnya, gadis kecil itu harus menyaksikan semua sebelum memulai hidup barunya. Lalia’s Pendant adalah sebuah liontin yang diwariskan turun-temurun di Kerajaan Alba. Pilav adalah orang terpilih yang mendapatkan warisan itu dari sang raja. Dialah satu-satunya orang yang memilikinya. Mengetahui seberapa berharganya barang itu, dia memilih untuk menelantarkannya. Hanya Arias yang mengetahui tentang masa lalu Pilav. Alasan Pilav menceritakannya kepada Arias ialah karena pria itu tidak berasal dari Escalera. Mereka berdua berasal dari negeri lain. Mengingat dirinya yang tiba-tiba dibawa ke Escalera, Pilav tidak percaya siapa pun di Escalera. “Oh, iya. Aku menceritakan tentangmu kepada Klaus. Dia yang menemaniku mencari gelang ini. Tidak apa-apa, kan?” tanya Arias lalu tersenyum. “Anak itu sangat mirip denganmu. Aku sampai tidak bisa menahan diri untuk bercerita.” “Iya, tidak apa-apa,” jawab Pilav. “Dia juga bukan orang asing.” “Sebenarnya, aku iri. Kamu memiliki barang peninggalan keluargamu. Sedangkan aku tidak punya sama sekali,” kata Arias. “Aku hanya bisa membaca tulisan tangan orang tuaku di jurnalnya.” Pilav menatap Arias dengan iba. Ia ingat bagaimana hancurnya Arias ketika terjadi musibah di rumahnya di Yasle. Waktu itu, Arias dan yang lainnya melakukan aktivitas di akademi seperti biasa. Tim Elite masih dalam proses untuk dibentuk. Tiba-tiba, terdapat sebuah pesan untuk Arias. Pesan itu mengabarkan bahwa orang tuanya telah dibunuh di Yasle. Ekspresi kosong yang terukir di wajah Arias terlihat jelas oleh teman-temannya. Tanpa pikir panjang, Arias meninggalkan akademi. Ia meninggalkan teman-temannya dan Escalera. Selama empat tahun, tidak ada kabar sama sekali darinya. Hingga akhirnya sekarang dia kembali ke Escalera untuk menjadi seorang kesatria. “Waktu itu, aku kira aku tidak akan bertemu denganmu lagi. Apalagi, selama empat tahun, kamu benar-benar menghilang.” ucap Pilav. “Maaf karena aku sempat meninggalkanmu,” kata Arias. “Aku hanya kehilangan orang tuaku. Tetapi, rasanya aku sangat hancur. Sedangkan kamu kehilangan negerimu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanmu. Ditambah lagi, aku malah pergi dari sisimu. Padahal, aku adalah orang yang mengetahui kisahmu.” Pilav merasa terharu mendengarnya. Ia tidak tahu jika Arias berpikir seperti itu. Sejak dulu pun, Pilav lebih ingin didengarkan. Ia hanya butuh teman untuk bercerita. Ia tidak berharap untuk dibantu ataupun diselamatkan. “Tidak apa-apa. Aku sudah cukup menceritakan masa laluku. Selama empat tahun ini pun, tidak ada hal yang bisa aku bagi lagi,” jawab Pilav. “Lagi pula, Alba memang sudah tiada. Tidak ada yang bisa aku ceritakan lagi.” Raut wajah Arias sedih. “Kurasa, kali ini adalah giliranku untuk bercerita. Kamu siap untuk mendengarkannya?” Setelah mendapat anggukan dari Pilav, Arias mulai menceritakan tentang keluarganya. Orang tua Arias adalah peneliti. Mereka berdua jarang berada di rumah. Namun, Arias tetap tumbuh dengan menerima banyak cinta dari pasangan itu. Sampai suatu saat, Arias yang banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku, bercita-cita untuk menjadi kesatria. Mengingat Yasle sendiri tidak memiliki unit kesatria, ayahnya pun menyuruhnya untuk ke negeri tetangga, Escalera. Setelah mengurus beberapa dokumen, Arias yang masih berumur sebelas tahun pun diterima di akademi Escalera. Jauh dari kampung halaman, sesekali membuat Arias rindu. Meski dirinya diterima dengan baik di negeri lain, Arias tetap rutin mengirim surat untuk keluarganya di Yasle. Seth adalah teman pertama Arias. Mereka berdua masuk di waktu yang bersamaan. Karena didukung keadaan, mereka berdua pun menjadi dekat. Di tahun keempat Arias belajar di akademi, dia mendapatkan pesan yang diberikan langsung oleh Tuan Herreros. “Kembalilah ke Yasle. Orang tuamu ditemukan terbunuh di rumahmu.” Di tengah kehidupannya yang bahagia di Escalera, ia harus mendengar kabar buruk dari tempat asalnya. Esoknya, ia sudah tidak terlihat lagi di akademi. Ketika sampai di rumah, pamannya sudah menunggu di sana. Seluruh proses pemakaman orang tua Arias sudah diurus oleh keluarga besar. Arias hanya bisa menatap wajah orang tuanya yang sudah pucat di peti mati. Arias tidak pernah mengunjungi rumahnya sejak tinggal di Escalera. Ia hanya sempat mengirim dan menerima surat. Sekalinya ia mengunjungi rumahnya, semuanya sudah terlambat. Pamannya menghampiri dirinya, menawarkan Arias untuk tinggal bersama keluarganya. Arias Ocleria, bocah sok kuat yang berusaha menahan tangisnya sejak tadi itu menolak. “Terima kasih, Paman. Tapi, aku akan tetap tinggal di rumahku. Aku ingin mengurusnya.” Setelah menceritakannya, Arias menghela napas. Pilav yang ada di sebelahnya hanya menunduk. Kisah mereka berdua sama-sama menyedihkan. Tidak ada yang tahu seberapa berat kejadian itu kecuali yang menjalaninya. “Arias, apa kamu tahu kenapa aku ingin ada api unggun ketika berbincang denganmu?” “Hm?” “Untuk mengubah kesanku terhadap api,” kata Pilav. “Terakhir kali aku melihat api, api itu membakar tanah kelahiranku. Karena itu, aku ingin membuat api menjadi sesuatu yang baik. Menghangatkan, bukan menghancurkan.” Arias membulatkan matanya. “Ternyata cara kita melawan masa lalu itu sama, ya .…” “Memangnya apa yang kamu lakukan?” “Aku menetap di Yasle, di rumahku. Aku berusaha untuk menjaga rumahku sebagai tempat yang aman. Aku ingin mengubah kenyataan bahwa rumahku adalah tempat pembunuhan,” jelas Arias. “Sama seperti kamu yang ingin tetap meyakinkan diri sendiri bahwa api itu tidak berbahaya.” Seorang putri dari kerajaan yang sudah hancur dan seorang putra tunggal dari keluarga yang berada. Mereka berdua menghabiskan malam di bawah pohon rindang dan ditemani oleh api unggun yang terus bergerak mengikuti arah angin. Mereka saling berbagi cerita, menyembuhkan luka satu sama lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD