26. Old Friend

1686 Words
Saat matahari belum terbit, Pilav membuka matanya. Ia tidak menyangka bahwa dirinya tertidur di tempat terbuka. Di depannya masih ada api unggun yang terus menyala. Jauh di depannya, ada Arias yang sedang melambaikan tangan sambil tersenyum ke arahnya. Pria itu sedang berjalan mendekatinya. Pilav pun refleks membalas senyumannya. Tiba-tiba, kobaran api yang awalnya terkurung oleh kayu itu mulai menyebar ke tanah—membakar rumput. Pilav terkejut ketika menyadari hal itu. Ia hendak bangun untuk mematikan apinya. Namun, badannya tidak bisa digerakkan sama sekali. Pilav menatap ke arah Arias yang masih berjalan ke arahnya. Pria itu berjalan seperti biasa, seperti tidak melihat ada api yang menyebar. Mata Pilav membulat. Ia ingin meneriaki nama Arias, namun tidak ada suara yang keluar. Lama-kelamaan, situasi semakin kacau. Api itu mulai menjalar ke pepohonan. Pilav masih tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menggerakkan matanya. Di depannya, Arias masih tersenyum menatapnya. “ARIAS!” teriak Pilav pada akhirnya. Pilav sudah bisa bergerak. Ia bangkit dari kursinya. Tetapi, semuanya sudah terlambat. Arias sudah termakan oleh api. Air mata sudah memenuhi penglihatan Pilav. Ia sudah tidak bisa melihat apa pun kecuali warna merah api yang terus membara. Api itu membakar semua yang ada di hadapannya. Tetapi, api itu tidak kunjung menyentuh dirinya. Ia terbeku di tengah panasnya api. “Pilav?” Pilav membuka mata untuk yang kedua kalinya. Kali ini, yang ia lihat adalah kenyataan. Namun, rasanya ia seperti melayang. Tatapannya kosong. “Pilav, kenapa?” Suara Arias terdengar panik. Indra Pilav pun kembali aktif. Ia bisa merasakan sebuah telapak tangan yang menangkup wajah mungilnya, mantel yang hangat untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin, dan pundak yang empuk sebagai tumpuan kepalanya. Mereka berdua masih berada di bawah pohon yang rindang. Api unggun yang di depan mereka masih menyala seperti biasa. Tidak ada tanda kebakaran hutan. Dan yang terpenting, Arias masih berada di sebelah dirinya. Pilav tidak menjawab apa pun. Ia langsung memeluk tubuh Arias dengan erat. Air matanya keluar tanpa henti. Arias membalas pelukan Pilav dan menatap perempuan itu penuh khawatir. Sesekali, ia membelai rambut hitam panjang milik Pilav supaya perempuan itu bisa lebih tenang. *** “Lebih keras, Feather!” Suara besi yang saling bertabrakan memenuhi kediaman Alecia. Entah sudah berapa kali Feather menerima pelatihan khusus oleh gurunya, Fay. Setelah berkali-kali saling menangkis serangan, Feather berhasil menyerang Fay tepat sasaran. Pedang yang digenggam erat oleh Fay pun berhasil terlepas. “Kerja bagus,” puji Fay. Latihan kali ini lebih menegangkan dari biasanya karena menggunakan pedang sungguhan. Salah langkah sedikit, maka akan terluka. Fay mengambil kembali pedangnya yang berada di tanah. Mereka pun melanjutkan latihan seperti biasa. Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki yang mendekat. Dua orang yang sedang beradu pedang itu menoleh ke asal suara. Karena pagar rumah Feather tidak terlalu tinggi, terlihat puncak kepala dari seorang pria yang sedang berdiri di depan sana. Feather menurunkan pedangnya ketika mengenali rambut yang berwarna abu-abu tua itu. Perempuan itu pun menyimpan pedang yang ia genggam ke sarung yang ada di pinggangnya. “Guru, latihan untuk hari ini sampai di sini saja tidak apa-apa, kan? Aku juga sudah berhasil mengalahkan Guru,” ucap Feather. “Baiklah.” Setelah mengucapkan hal itu, Fay membereskan barang-barangnya lalu pergi. Saat Fay keluar dari pagar, Feather bisa melihat pria itu membungkuk kepada gurunya. Feather menghampiri pagar rumahnya dan membukakannya untuk pria yang datang ke rumahnya. Ia berkacak pinggang, berusaha memberi kesan mengintimidasi. “Klaus, kau ke sini karena ingin membayar utang?” “Ya.” Klaus mengangguk. “Oke. Aku akan dengar,” jawab Feather lalu berjalan menuju pintu masuk rumahnya. “Masuklah.” Setelah masuk, Klaus duduk di sofa ruang tamu Feather. Sedangkan sang pemilik rumah menyiapkan teh di dapur. “Orang tuamu sedang bekerja?” tanya Klaus. “Iya. Aku sendiri di rumah,” jawab Feather sambil membawa dua gelas teh ke meja tamu. Setelah itu, ia duduk di sofa yang berada di hadapan Klaus. “Aku adalah cucu dari Ritchie Cleogard.” Kalimat pembuka itu membuat Feather lengah. Ia hampir terselak teh yang sedang ia teguk. Perempuan itu langsung terbatuk-batuk. “Maaf, aku tidak tahu harus mulai dari mana,” ucap Klaus dengan cepat ketika melihat reaksi Feather. Feather menggeleng. “Tidak apa-apa. Lanjutkan aja ceritamu.” “Waktu aku menggeledah rumah Tuan Ritchie, aku mencari jurnal miliknya,” kata Klaus. “Kata ibuku, jurnal itu harus berada di tanganku. Sangat berbahaya jika buku itu berada di tangan orang yang salah. Tetapi, aku tidak tahu di mana kakekku menyimpannya.” “Ibumu juga tidak tahu?” “Tidak. Ibu juga tidak tinggal dengan kakek. Sejak kelahirannya, ibuku selalu hidup secara bersembunyi. Makanya, tidak ada yang tahu jika Tuan Ritchie memiliki anak.” “Berarti, kamu sudah berkali-kali mencoba mencari jurnal itu sejak dulu?” tanya Feather. “Benar. Aku sudah belasan kali memasuki kediaman Tuan Ritchie. Hanya saja, aku kurang beruntung waktu itu. Aku tidak tahu jika ada patroli di siang hari. Kalau Seth tidak berbohong, aku juga masih berada di Soleclar,” jelas Klaus lalu menyesap tehnya. “Aku sudah mengerti garis besarnya. Tetapi, kenapa kau tidak pernah menceritakannya kepadaku dan Arias? Oke, kalau Arias, kita baru mengenalnya. Tetapi, aku dan Felix sudah mengenalmu sejak dulu. Tidak adil kalau kamu hanya memberi tahu Felix.” “Aku juga tidak punya pilihan lain selain memberi tahu kepada Felix. Malah, awalnya, aku tidak ingin memberi tahu siapa pun,” jawab Klaus. “Felix pernah mendapatiku yang baru keluar dari rumah kakek. Mau tidak mau, aku menjelaskan situasiku.” Tangan Feather yang sedang menggenggam gelas mulai lemas. Ia menunduk sambil menatap tehnya yang terguncang. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia merasa bersalah karena sempat memarahi Klaus. Ia tidak pernah memikirkan apa yang sudah dialami temannya itu. “Feather?” panggil Klaus. “Hm.” Feather tidak menjawab dengan benar karena sedang menahan air matanya. “Eh, kenapa?” Feather mulai menatap Klaus dengan matanya yang memerah. “Aku … aku tidak tahu kalau kamu mengalami itu semua. Aku kira, kamu tidak menceritakannya padaku karena kamu tidak percaya padaku. Saat mendengar kabar bahwa kau dipenjara, aku sangat khawatir, tahu!” Tak bisa menahan tangisnya, air mata Feather pun berjatuhan. Perempuan itu pun segera mengusapnya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan temannya. Klaus sungguh bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Namun, melihat temannya yang bertingkah seperti ini, menimbulkan senyum kecil pada wajahnya. “Kamu tidak pernah berubah, Feather,” kata Klaus lalu memberikan dua lembar tisu kepada Feather. “Kamu juga!” balas Feather yang segera memakai tisu itu untuk mengusap air matanya. “Kamu selalu membuatku menangis!” Klaus tersenyum lagi. “Benar. Aku selalu membuatmu menangis.” Mereka berdua tertawa karena teringat dengan masa lalu. Sejarah seperti mengulangi kisahnya. Sama seperti situasi sekarang, Feather menangis karena Klaus. “Jurnal itu … ayo kita cari bersama. Pasti ada di suatu tempat, kan?” ucap Feather setelah tangisannya mereda. *** Enam tahun yang lalu “Oi, Feather! Masih gak bisa melewati ujian mengendalikan energi?” “Aku diperbolehkan untuk melewatinya, tahu!” Feather membela dirinya. “Diperbolehkan?” Kumpulan anak itu tertawa. “Bukannya para guru sudah menyerah padamu makanya kamu diberikan pengecualian?” Feather menggenggam erat dagger yang ia pegang. Ia tidak tahu jika anak-anak dari akademi akan berada di tempat latihan di sore hari ini. Ia memang sering berlatih diam-diam di luar jam pelajaran. “Masa ngendaliin energi aja gak bisa?” Setelah ledekan itu, suara tawa yang bertumpuk-tumpuk pun terdengar. Feather yang masih kecil itu mulai menangis. Ini bukan pertama kalinya ia mendapat cemoohan seperti ini. Tetapi, berkali-kali pun ia mendapatkannya, ia tidak bisa bersikap baik-baik saja. Tiba-tiba, dagger yang ada di tangannya itu diambil oleh seseorang. Tentu Feather terkejut. Ia ingin melihat siapa pelakunya, namun tatapannya terhalang oleh air mata. Orang itu melempar dagger ke arah kumpulan anak tadi. Tentu mereka semua menghindar. Ujungnya, dagger itu tertancap di pagar kayu yang ada di belakang mereka. “Apa-apaan? Klaus, apa masalahmu?!” teriak yang berdiri paling depan. “Kalian … menangkap senjata aja gak bisa. Pakai energi untuk mengendalikan senjata juga gak bisa. Padahal, jumlah kalian ada banyak. Tetapi, gak ada satu pun yang melakukannya,” ucap Klaus. “Yang bisa kalian lakukan hanyalah kabur.” Air mata Feather semakin banyak yang keluar ketika mendengar itu. Ia terharu. Ia tidak menyangka bahwa akan ada yang membantunya. “Apa, sih?!” “Ya, hanya menegaskan kalo kalian gak bisa memakai senjata ataupun energi,” jawab Klaus. “Kenapa kalian bisa lolos ujian? Sepertinya, para guru sudah menyerah pada kalian sehingga mereka membuat pengecualian.” Wajah anak-anak itu memerah karena ucapan Klaus. Entah mereka marah atau malu. Tidak lama kemudian, Klaus berjalan ke arah mereka. Dia tidak mengatakan apa-apa dan tidak melakukan apa-apa. Tapi, ia berhasil membuat para penindas itu lari dari sana. Feather awalnya mengira Klaus ingin mengejar segerombolan penindas itu. Namun, langkah Klaus terus lurus. Ia berjalan sampai pagar yang ada di ujung sana. Selang beberapa detik, ia berjalan ke arah Feather sambil membawa dagger yang sebelumnya tertancap. Saat Klaus ingin mengembalikan dagger itu ke Feather, perempuan itu malah mundur selangkah. Ia tidak merasa takut atau terancam. Tetapi, badannya reflek bergerak sendiri. “Kenapa?” tanya Klaus pelan. Feather buru-buru menghapus air mata yang ada di wajahnya lalu menggeleng. “Makasih … Klaus?” Feather menyebut nama Klaus dengan ragu. Ia hanya tahu namanya karena sempat disebut oleh yang lain. “Iya, aku Klaus,” jawabnya lalu menyodorkan dagger. Feather mengambil dagger miliknya dengan gugup lalu menyimpannya di kotak. Setelah itu, ia kembali menghadap Klaus. Kemudian, ia menjulurkan tangannya, mengajak laki-laki itu untuk bersalaman. “Aku Feather.” Klaus tersenyum menanggapinya. “Iya, aku sudah sering mendengar tentangmu. Kamu sangat terkenal karena menguasai banyak senjata. Salam kenal.” Mendengar itu, Feather malah menangis lagi. “Eh, kenapa?” Klaus terlihat panik. Feather menggeleng. “A—aku hanya terharu. Terima kasih.” “Kalo ada yang ganggu kamu lagi, lemparin mereka senjata aja,” kata Klaus. “Kalo mereka terluka gimana?” “Ya, salah mereka sendiri. Di akademi kan belajar untuk melindungi diri.” Kali ini, Feather tersenyum. “Aku ingin berteman denganmu, Klaus.” “Tentu, tentu kita bisa berteman,” jawab Klaus yang ikut tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD