4. Peran

1420 Words
"Tuan Muda sebentar lagi akan keluar, jangan membuatnya menunggu!" suara tajam tanpa ekspresi itu berasal dari sosok pria tinggi besar berkaca mata hitam yang kini sedang berada dibalik kemudi. Ya setelah dari sekolah sang Nona tadi, Aliana langsung dibawa menuju sekolah sang tuan muda karena memang sudah waktunya. “Ya.”angguk Aliana singkat sebelum akhirnya keluar dari balik mobil mewah yang mengantarnya dan bergabung dengan puluhan wali murid atau babysitter yang menjemput siswa-siswa lucu yang bersekolah di bangunan yang teramat mewah dengan fasilitas nomor satu itu. Dan tentu saja sosok tinggi besar berjas rapi yang mengawasi Aliana 24 jam itu juga turut keluar dari balik mobil tanpa peduli kedatangannya menjadi atensi karena penampilan serta tubuhnya yang sangat mencolok mata. Cukup menunggu 5 menit gerbang besar itu dibuka dan murid- murid yang rerata berusia 6-7 tahun itu keluar dengan ditemani guru pembimbing untuk diserahkan secara langsung pada para penjemput mereka. "Aunty Aliana!" suara itu ceria, kaki kecilnya berlari penuh semangat menuju sang babysitter yang selama seminggu terakhir menjaganya. "Jangan lari-larian Askara! Nanti kalau jatuh bagaimana?" Aliana merendahkan tubuhnya sejajar dengan sang bocah saat berbicara. 'Kalau sampai kamu lecet... Tidak usah menunggu Daddy-mu yang ambil tindakan tapi pria gorilla di belakangku ini pasti akan langsung membanting tubuhku, Askara. Tolong kerja samannya!' ringis Aliana dalam hati. "Maaf Aunty." "Iya, Aunty maafkan." jemari Aliana terulur, mengelus surai coklat madu bocah manis itu lembut. Bocah ini teramat manis, beda 180 derajat dengan kakaknya yang terasa mirip seperti jelmaan setan. "Oh ya, tadi bagaimana sekolahnya?” “Askara diajari menggambar dan berhitung, Aunty! Dan Askara mendapatkan nilai A." "A?! Wah Askara pintar sekali!" "Jika masih ingin bicara, sebaiknya kalian lakukan saat dirumah nanti! Tuan Askara harus segera pulang." "Kenapa Aunty selalu membawa Uncle Marvel setiap kali menjemput Askara, sih?" Bibir itu cemberut, menatap kesal pria tinggi besar dengan setelah formal klimis yang berdiri dibelakang Aliana, "Askara tidak mau dijemput jika Uncle Marvel juga ikut menjemput.” "Bukankah dengan membawa Uncle Marvel, Askara jadi aman?” "NO!” Askara merengut tanda tak setuju dengan pernyataan sang babysitter, “Justru Uncle Marvel membuat Askara dibicarakan seluruh teman satu kelas karena Uncle Marvel seperti pengawal penjahat padahal Askara kan bukan orang jahat!” “Ini adalah perintah dari Tuan Dave dan saya hanya menjalankan perintah.” suara itu mengalun kaku membuat bocah kecil itu menghentakkan kakinya sebal dan langsung membuka pintu mobil bagian penumpang. Duduk dengan tangan bersendekap dan bibir cemberut 5 centi. 'Sebenarnya bukan kamu yang diawasi tapi saya. Kamu hanyalah alat untuk menutupi tindakan mereka pada saya, Askara.’ "Apakah kau akan tetap berdiri disini?!" Suara keras nan tajam itu menyentak Aliana, membuat gadis itu meringis pelan sebelum akhirnya masuk dan duduk disamping Askara. Butuh waktu hampir 20 menit bagi kendaraan berwarna hitam itu untuk sampai dikediaman sang tuan bertepatan dengan berhentinya sebuah mobil sedan berwarna putih yang kemudian pintunya terbuka, menampilkan wajah Aira dan seragam sekolahnya yang tidak ada rapi-rapinya. "Kak Aira!" Bocah itu berlari dengan penuh semangat untuk menghampiri sang kakak, "Kak Aira pulang sekolah cepat-cepat mau menemani Askara main?" Manic penuh binar manis itu menatap sang kakak namun sayang gadis bernama Aira itu malah menatap adiknya datar dan malas. "Masih kecil GR sekali. Siapa yang mau main dengan anak kecil menyebalkan dan merepotkan seperti dirimu, hah?"decih Aira pada bocah mungil itu, "Asal kamu tahu, aku di skors mulai detik ini. Mau ke club di jam segini belum ada yang buka. Jadi mau kemana aku kalau tidak pulang ke rumah?!" "Skors itu apa?" "Mau tahu apa itu skors?" Aira lantas merendahkan tubuhnya, menatap manic hitam sang adik mencemooh, "Skorsing itu berarti kakakmu ini tidak boleh masuk sekolah selama waktu yang ditentukan. Kau tahukan kalau seseorang yang tidak sekolah bisa menjadi bodoh. Dan kau tahu semua itu karena siapa?"Aira lantas mengalihkan tatapan kesalnya pada Aliana, "Semua gara-gara Babysitter-mu itu." "Aunty Aliana tidak jahat seperti kata kak Aira!" "Tahu apa kau, bocah!" Sinis Aira, "Kau hanya anak kecil yang mudah ditipu oleh orang-orang yang berusaha menjilat keluarga kita." "Minggir!" Tangan Aira langsung mendorong Askara dari hadapannya dengan kasar, membuat bocah kecil itu terdorong beberapa langkah, hampir tersungkur , beruntung dengan sigap Aliana menangkapnya. "Jaga tingkah laku anda, Nona Aira!" Sentak Marvel keras, "Saya bisa laporkan perbuatan anda pada Nyonya dan Tuan." "Apa-apaan sih, lebay banget." Decih Aira, "Lagian kalian cuma pesuruh, jangan sok berkuasa mengaturku." Sengit gadis itu sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan sosok kecil Askara yang kini sudah dipeluk oleh Aliana. "Askara baik-baik saja?" Aliana menakup wajah mungil Askara dengan telapak tangan, menatap manic hitam polos itu khawatir. "Askara Ok, Aunty." suara itu amat pelan diiringi dengan nada sedih, "Kenapa kak Aira selalu seperti itu pada Askara, padahal Askara tidak pernah nakal. Askara cuma ingin main dengan kak Aira, Aunty." "Askara tidak perlu sedih lagi, jika Kak Aira tidak mau bermain dengan Askara, kan masih ada Aunty." Aliana tersenyum menenangkan. "Aunty janji untuk terus bermain bersama Askara? Aunty janji tidak akan meninggalkan Askara seperti Aunty-Aunty yang menjaga Askara sebelumnya?" "Tuan Askara, sebaiknya anda masuk kedalam sekarang." Marvel langsung menginterupsi mereka berdua dengan tatapan tajam tertuju pada Aliana, seolah mengingatkan posisi, tujuan gadis itu dirumah ini dan tidak udah terlalu berharap lebih. Malam berlalu dengan cepat, sosok mungil yang kini telah tidur setelah ditemani belajar dan membaca buku dongeng itu membuat Aliana tersenyum tipis. Secara perlahan gadis itu merapikan selimut Askara sebelum keluar dari balik pintu dan menutup pintunya sepelan mungkin. "Tuan Dave menunggu anda diruangan beliau." "Astaga!" Aliana terpekik dengan jantung berhenti berdetak sekian detik. Baiklah, Aliana lupa kalau pria satu ini tidak akan melepaskan pandangan darinya barang sedetikpun. "Tuan Dave, menunggu anda di ruangan beliau." Marvel langsung membalikkan tubuh yang secara tidak langsung memerintahkan Aliana untuk mengikuti langkah kakinya. Pintu ruangan berwarna hitam itu dibuka lebar oleh Marvel dan Aliana melangkah masuk dengan wajah menunduk serta jemari meremas takut. "Apa kau akan terus menunduk seperti itu?" suara sengit dan tajam itu mengalun keras, membuat Aliana langsung mengangkat kepalanya. Menatap takut pada sosok pria berbalut kemeja warna putih yang kini sedang menghisap cerutunya. "Ma... maaf Tuan saya... saya..." suara Aliana lebih mirip seperti tikus terjepit saat ini, keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya yang mulai menggigil. "Saya tidak sedang dalam mode sabar untuk mendengarkanmu bicara, Nona Aliana!" Dave mematikan cerutunya dan kini menatap Aliana seperti singa yang siap menerkam mangsanya, "Saya memanggilmu kesini untuk melihat ini." Dave lantas mengambil map coklat yang berada diatas meja, mengambil sesuatu didalamnya dan melemparkan lembaran foto itu diatas meja. "Apakah orang yang memerintahkanmu ada diantara foto-foto itu?" Aliana dengan ragu mendekat, menatap satu persatu foto diatas meja dengan seksama. "Tidak ada satupun diantara mereka." ucap Aliana pelan dengan bibir tergigit. "Tidak ada satupun?" alis Dave naik sebelah, menatap gadis yang masih setia menundukkan kepala seolah masih mengamati deretan foto-foto itu, "Bagaimana mungkin tersangkanya tidak ada sedangkan saya yakin mereka adalah orang yang paling berpotensi untuk melakukan hal itu." "Atau kau sedang berbohong dan berusaha melindungi b******n itu hanya karena dia telah memberimu uang 100 juta?" Dave lantas bangkit dari duduknya, berjalan mendekat kearah Aliana dan menaikkan wajah gadis itu dengan cengkraman. "Dan kau lupa satu hal, kau dan ibumu sekarang berada dalam tangan saya." Dave mendekatkan wajahnya di cuping telinga Aliana, "Bisa saja saya memerintahkan mereka untuk mengakhiri hidup ibumu detik ini juga." Dave lantas tersenyum, "Apa kau paham?' Ya, Aliana sangat paham akan hal itu tapi mau bagaimana lagi sekarang, nasi telah menjadi bubur karena kebodohannya sendiri. Dengan langkah yang dia ambil, ibunya tidak semakin bisa tertolong dengan uang itu tapi dia malah menempatkan sang ibu di jurang kematian. "Sekarang keluarlah dan pikirkan baik-baik ucapan saya, Nona Aliana." Dave menepuk pelan pipi gadis itu sebelum pria itu meninggalkan ruangan bersama Marvel yang sedari tadi mengawasi mereka disudut ruangan, meninggalkan Aliana seorang diri di ruang dingin dengan pantauan CCTV di setiap sudutnya dan berada dalam pengawasan 24 jam penuh seperti tahanan. Bahkan kamar yang diberikan oleh pria bernama Dave itu tak luput dari intaian, hanya kamar mandi saja yang tidak. "Huft, semua ini untuk memang salahmu sendiri, Aliana. Sekarang pikirkan jalan terbaik supaya kamu dan ibumu tetap aman dalam keadaan apapun." ucap gadis itu setelah memenangkan debar jantungnya yang bertalu. Setelah hampir lima menit setelahnya, Aliana memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pemilik rumah karena dia tidak mau dipergoki oleh pegawai yang lain dan dituduh melakukan sesuatu disana. Jemari itu membuka kenop pintu secara perlahan dan manic hitam pekatnya langsung disambut oleh sosok wanita yang kini sedang bersendekap angkuh dan menatap manicnya tajam penuh dengan rasa curiga. "Apa yang sedang kau lakukan di ruang kerja Dave?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD