Dave membaca pesan yang dikirim oleh Kriss kemudian menghapusnya dengan cepat, sebenarnya dia tidak perlu melakukan hal itu toh Bella-pun tidak pernah sama sekali mengecek ponselnya.
“Tuan, apakah anda siap untuk berkunjung ke pabrik?” pintu diketuk dari luar dan wajah wanita berkaca mata tebal masuk kedalam dengan membawa sebuah note di tangan.
“Sudah waktunya ternyata.” Dave langsung berdiri, merapikan jasnya dan langsung keluar dari ruangan diikuti wanita bernama Anggun itu.
Ketukan kaki yang menimbulkan irama konstan sepanjang jalan itu membuat beberapa staff langsung berhenti, membungkukkan sedikit kepala mereka disertai sapaan sopan sebelum akhirnya jemari Anggun menekan tombol disamping lift yang akan mengantarkan mereka ke lantai bawah.
“Maaf, Tuan Dave. Ini masker anda.” anggun menyerahkan sebuah masker berwarna putih sebelum tangannya mendorong pintu pintu besar ruangan yang beraroma saus rokok yang amat pekat itu dan kedatangan Dave yang sudah dikonfirmasi langsung disambut ramah oleh kepala pabrik, menjabat tangan si pria nomor satu di perusahaan dan mengajaknya berkeliling untuk mengecek kondisi pabrik terkini, melewati deretan pekerja muda yang mengontrol mesin giling dan deretan pekerja wanita berpenutup kepala yang menundukkan kepala dan tangan bergerak dengan cepat untuk mengepak rokok kedalam kemasan, mengambil satu batang rokok yang belum di pak, pria itu lantas membuka maskernya dan menghirup aroma si rokok yang sayangnya tidak terlalu kuat di hidung Dave karena pengaruh saos rokok.
“Ck!” pria itu berdecak kecil kemudian meletakkan kembali batang rokok kembali ke pekerja.
“Ini adalah tembakau terbaik yang kita beli langsung dari petani.” terang si kepala pabrik, Dave mengangguk singkat sebelum meraih tembakau yang akan dimasukkan kedalam mesin dan langsung menghirup aroma khas dari daun kering tersebut yang hasilnya sama saja dengan hasil rokok tadi. Dave butuh ruangan netral untuk mencium aroma rokok dan tembakau.
“Saya mau beberapa sample rokok dan tembakau untuk dibawa ke kantor saya.” Dave memang baru di Industri ini jadi dia harus banyak belajar lagi dan lagi.
“Baik, Tuan.” angguk kepala pabrik yang kemudian memanggil anak buahnya untuk menyiapkan apa yang diminta oleh Boss mereka.
“Berdasarkan data, ada beberapa mesin yang harus diganti, bisakah saya lihat secara langsung kondisinya?”
“Iya.” angguk pria itu cepat dan langsung menggiring sang tuan menuju gudang penyimpanan mesin giling di gedung 3 namun sebelum mereka sampai di gedung yang dimaksud Dave langsung menghentikan langkahnya, menatap sekeliling dengan alis mengerut.
“Ada apa Tuan?”
“Kenapa letak parkiran 2 dekat sekali dengan area produksi?” Dave mengalihkan pandangannya, menatap Kepala pabrik tajam.
“Parkiran ini sudah lama digunakan, sebelum anda memutuskan untuk mengakuisisi perusahaan ini, Tuan Dave.”
“Lantas apakah saya akan membiarkan hal itu?” Dave lantas berjalan kearah parkiran yang jaraknya kurang lebih 10 meter dari pintu samping gedung, menghitung jumlah motor yang terparkir disana sebelum menoleh pada kepala produksi gedung 2 yang kini berada disampingnya.
“Panggil semua yang punya motor ke tempat ini. SEKARANG!”
“Baik, Tuan.” angguk pria itu patuh dan langsung berlari ke satpam, gedung, mengambil speaker dan mengumumkan pemilik motor yang parkir di area parkir gedung 2 untuk menuju lokasi.
“Sebentar lagi mereka akan datang, Tuan.” nafas pria berusia 40 tahun itu berat karena tadi berlari bolak- balik. Butuh waktu hampir 10 menit karena para pemilik motor berasal dari gedung yang berbeda- beda.
“Kalian pasti tahu tujuan saya mengumpulkan kalian semua disini.”manicnya memindai tajam para pekerja yang berbaris di depannya dengan kepala menunduk seolah tahu kesalahan mereka, “kalian tahu saya memang pemimpin baru di perusahaan ini tapi jangan anggap saya longgar seperti pemimpin kalian sebelumnya.” Dave memejamkan manicnya dengan tangan terkepal erat, “Sekarang ambil motor kalian satu persatu dan buka jok motor kalian di depan saya!” ucapan tegas Dave membuat beberapa orang langsung mengangkat kepala mereka, berkasak- kusuk seperti lebah pengganggu di telinga.
“Apa kalian akan seperti itu terus?” Dave tertawa mengejek, “Jika tidak ada satupun yang mau memulai, saya akan memastikan motor kalian akan disita oleh perusahaan detik ini juga tanpa peduli kalian salah atau tidak.” Mendengar ancaman keras Dave membuat seorang wanita usia 40 tahunan langsung berlari menuju motornya, mendorongnya dengan susah payah ke depan sang tuan dan membuka jok motornya.
“Tidak ada apapun, tuan. Saya hanya menyimpan dompet kecil yang berisi STNK dan SIM saya disini.” ucap wanita itu dengan nada bergetar, “Dan ini adalah kunci loker saya yang berada tidak jauh dari gedung 2, anda bisa cek secara langsung, Tuan.” wanita itu meraih kunci loker yang ada di sakunya, meminta Dave untuk menerimanya.
“Terima kasih telah jujur, Bu.” Dave tersenyum membuat wanita itu juga ikut tersenyum ditengah rasa takutnya, “Saya ibu tunggal dan saya punya anak yang harus saya biayai, Tuan.”
“Saya mengerti. Anda bisa kembali ke tempat kerja anda sekarang.”
“Baik Tuan.” wanita itu tersenyum kemudian hendak meraih motornya kembali namun tangan lain mencegahnya.
“Biar saya yang mengembalikan motor anda.” Pria itu siapa lagi kalau bukan Marvel, si bayangan Dave yang selalu muncul tiba- tiba.
“Terima kasih.” senyum itu tulus sebelum kembali ke gedungnya bekerja sedangkan Marvel, pria itu mendorong motor tersebut terpisah dari motor- motor yang lain.
“Apa kalian tidak berniat menyusul ibu- ibu tadi?” manic Dave bergerak, mengamati ekspresi setiap orang, “Mungkin kalian akan dianggap seperti penghianat atau mungkin akan dikucilkan oleh teman- teman kalian? Apakah kalian berpikir bahwa teman- teman kalian itu bisa saja menyeret kalian dalam masalah yang lebih besar jika sampai saya murka?” teriakan itu menggelegar, membuat barisan itu sedikit tersentak hingga membuat mereka terpaksa maju dan membuka jok motor mereka.
“Kunci loker?” mereka yang hendak pergi langsung dihadang oleh Marvel, pria itu dengan tegas meminta para karyawan untuk menunjukkan dimana letak loker mereka untuk diperiksa. Hingga akhirnya tersisa beberapa motor dengan beberapa orang yang masih berdiri kekeh di barisan mereka.
“Kalian maju atau?” sudut bibir Dave naik sebelah, menatap deretan pegawai yang rerata berusia akhir 20 tahunan itu, “Baiklah.” desah Dave mendramatisir sebelum meraih ponsel di balik kantongnya.
“Saya minta maaf, Tuan. Saya kan mengaku tapi jangan bawa saya ke kantor polisi.” suara lantang dengan wajah tertunduk langsung menghentikan Dave yang hendak menekan angka di ponselnya.
“Jadi berapa banyak?” Dave menatap wanita itu dengan alis naik sebelah yang membuat wanita yang kini sedang memakai jaket itu berjalan pelan menuju motornya, membuka jok motor dengan ragu- ragu dan tangan bergetar.
Di jok motor matic besar itu ada sebuah jaket, tas kecil, beberapa kantong kresek berwarna putih yang berisi masker dan di bagian paling bawah lebih tepatnya dibawah helm ada sebuah koran yang dibentuk persegi.
“Sudah berapa lama?” Dave mengambil koran itu, menyobek bungkusan yang kembali dibungkus dengan kertas berwarna coklat.
“Saya baru kali ini.” wajah itu menunduk dengan jemari saling meremas takut.
“Baru?” angguk Dave dengan bibir mengejek, “Apakah kamu yakin saya akan percaya?” Dave menatapnya malas sebelum menatap yang lain yang sedang ketar- ketir, “Saya tahu pencurian ini pasti terorganisir dengan amat baik sampai kalian bisa mencuri dalam waktu yang cukup lama. Letak gedung produksi dan area parkir teramat dekat dan security gedung yang bisa kalian pantau kapan dia akan ke toilet atau apapun itu. Dan juga CCTV.” Dave menunjuk ke sudut area gedung 2, “Kalian pasti bekerja sama dengan salah satu pengawas CCTV gedung?” sudut bibir pria itu tersenyum.
“Semua bukti sudah saya dapatkan hari ini.” Dave mengalihkan pandangannya pada Marvel yang mengangkat jempolnya tinggi- tinggi dengan sebelah tangan memegang ponsel untuk merekam.
“Tuan, mohon maaf jangan laporkan kami ke polisi.”
“Kami khilaf, Tuan.”
“Kami akan kembalikan semua yang telah kami curi Tuan.”
“Ampuni kami.” suara- suara panik mengalun penuh tangis dari mereka yang memang rerata menempuh jalan nekat untuk mencari uang tambahan dengan cara yang tidak benar. Marvel mematikan ponselnya dengan decakan keras, menghampiri satu persatu pegawai baik pria maupun wanita untuk dimintai kunci mereka.
“Eh kosong?” Marvel membuka jok motor dan mengerutkan alisnya saat melihat jok itu kosong tanpa isi, “Jika kau tidak ikut mencuri kenapa kau masih disini, bocah?!” sentaknya kasar pada pemuda yang lebih pendek darinya yang kini sedang menunduk dengan jari saling memilin takut.
“Eh, jangan bilang?” Marvel lantas meraba bagian body samping motor dimana letak aki berada, “Wah b*****t!” maki Marvel saat tangannya menekan sebuah lakban, pria itu lantas menarik lakban tersebut dan mendapati sebuah benda yang dibungkus dengan kertas hitam.
“Jangan bilang disaat akan mencuri, kau sengaja melepas aki motormu dari rumah kemudian rela mendorong motor ini sampai pabrik dan jika ada yang bertanya kau pasti akan menjawab motorku mogok di perempatan gang depan dan tidak ada bengkel terdekat dari kawasan ini?” manic Marvel melotot tak percaya, “Gigih sekali kau dalam usaha mencuri, anak muda.” Marvel sampai geleng- geleng kepala sendiri.
“Maaf, saya tahu saya bersalah. Saya terpaksa melakukannya.” suara itu teramat lirih seolah siap menangis, “Saya butuh uang banyak untuk biaya rumah sakit adik saya yang tidak tercover oleh pemerintah.”
“Hah terserah apapun alasannya yang jelas apa yang kau lakukan salah.” Marvel lantas menepuk pundak pemuda awal 20 tahunan itu sembari menyamakan tinggi tubuh mereka, “Berdoa saja si tuan mengerikan itu hanya memecat kalian bukannya melaporkan kalian ke polisi. Good Lick. Ok?” senyum Marvel sebelum menghampiri Dave, meninggalkan pemuda yang perlahan menitikkan air matanya seorang diri.
Masalah usai dengan cepat, Investigasi dilakukan hari itu juga, seluruh orang yang terlibat dipecat tanpa uang pesangon sedikitpun, tanpa adanya plakarin, harus mengganti rugi sesuai dengan kerugian perusahaan.
Dan saat ini Dave sudah berada di mobilnya, duduk dengan kesal sembari melepas dasi yang melilit lehernya.
“Sudah sampai.” Marvel yang bertugas sebagai supir mengingatkan sang Tuan saat mobil sudah sampai di halaman rumah.
“Terima kasih, Marvel.” Dave keluar dari balik mobil, berjalan gontai dan mendapati istri serta anak-anaknya berada di area dapur bersih, bersenda gurau dengan kreasi masakan mereka.
“Sayang.” Dave mendekat, meraih tengkuk Bella dan langsung melumat bibirnya tanpa malu di depan anak-anak mereka.
“Dave!” satu dorongan keras Dave terima membuat pria itu cemberut dan memeluk istrinya manja, "Hentikan! Apa kamu tidak malu dengan anak- anak!" tunjuk Bella pada Aira yang tertawa malu dan Askara yang menutup mata dengan kedua tangannya.
"Apa salahnya sih bermesraan di depan anak?" Dave memanyunkan bibirnya, menatap wajah Bella dengan wajah sedih.
"Hentikan! Wajah mengerikanmu tidak cocok bertingkah manja seperti ini." Bella melepaskan belitan Dave secara paksa dan kembali ke masakannya lagi, mengaduknya sebentar kemudian mengambil serbet dan mengangkat opor ayam itu.
"Makan malam sudah siap!"
"Yes opor!" ucap Askara dengan wajah senang.
"Sekarang ke meja makan, ya." perintah Bella pada kedua buah hatinya dan langsung diangguki oleh mereka berdua.
Ting!
Ponsel Bella yang diletakkan diatas meja berbunyi, sebuah nomor tanpa nama masuk dapat Dave lihat dari sudut manicnya.
"Sudah mandi dulu, sana! Bau tubuhmu bau rokok!" Bella mendorong suaminya itu menjauh dari hadapannya.
"Tunggu Daddy, Honey!"
"Huek!" Bella pura- pura muntah sebelum meraih ponselnya, menekan layarnya secara acak kemudian mengangkat jemarinya, mengusir Dave untuk segera bebersih diri.
Setelah makan malam usai, mereka semua berkumpul diruang tengah, menonton tv untuk menemani Askara dan tepat di jam 9 malam semua bubar menuju kamar masing-masing, meninggalkan Dave dan Bella yang sedang bergelung diatas sofa ditemani cahaya temaram dari tv yang menyala.
"Bella, kamu tahu sudah berapa lama kita melakukan itu?" tangan kasar pria itu merambat, menelusuri lengan halus sang istri yang sedang asyik menikmati tayangannya kemudian merendahkan wajahnya, menelusuri ceruk leher Bella yang jenjang kemudian memberikannya kecupan- kecupan singkat disana.
"Dave!" Bella lantas membalikkan tubuhnya, menatap sang suami dengan sebal, "Istrimu ini sedang datang bulan dan sedang tidak mood. Jadi hentikan sebelum tangan ini menjambak rambutmu!"
"Jahat sekali! Suamimu ini sakit hati, Bella!"
"Drama!" ejek Bella kesal sembari memukul Dave dengan bantalan sofa kemudian bangkit.
"Mau kemana?"
"Tentu saja tidur, Tuan Dave." Bella tersenyum manis dan langsung pergi dari hadapan sang suami.
"CK!" Dave berdecak kesal dengan tubuh terlentang di sofa, menatap langit-langit yang tinggi selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk menyusul Bella, membuka pintu kamar dan mendapati sang istri yang meletakkan ponselnya di nakas sebelahnya kemudian menarik selimut, siap tidur.
"Suamimu ini tidak minta jatah, peluk saja sudah cukup."
"Baiklah." Bella mengalah, merentangkan tangannya hingga membuat senyum di bibir Dave mengembang, tanpa diminta dua kali pria itu langsung masuk ke pelukan sang istri dan menyandarkan kepalanya di relung lembutnya.
"Cepat tidur." dengan lembut jari berkutik merah itu menepuk puncak kepala Dave.
"Yes, Madam." senyum Dave lebar dengan manic mulai terpejam mulai mengantuk
"Dasar anak nakal."senyum Bella lebar sebelum nafasnya mulai melembut dan manicnya tertutup karena lelah.
Kamar utama itu temaram dengan sepasang suami istri yang saling memeluk dalam tidur hingga tepat di tengah malam, ponsel yang diletakkan di atas nakas itu berbunyi, menampilkan sebuah motif pesan.
Manic tajam yang semula terpejam itu langsung terbuka, dengan perlahan pria itu menyingkirkan tangan Bella yang membelit tubuhnya dengan perlahan kemudian bangkit dari atas ranjang, berjalan menuju nakas sisi Bella dan mengambil ponsel wanita itu.
Mengetuk layar ponselnya yang ternyata di kunci.
Pria itu sejenak mengerutkan alisnya, mengingat pola yang berhasil dia tangkap dari gerak jari istrinya itu.
Gotcha!
Ponsel itu terbuka dan langsung menampilkan notif pesan asing dilayar.
'Tadi kita sudah bertemu tapi saya masih rindu. Saya harap kamu juga sama dengan saya, Mi Amore.'