Berutang Budi

1145 Words
Hari mulai gelap saat Jose Tarilo menghampiri dan mengulurkan sebuah amplop berwarna cokelat. "Kamu tidak harus menjual mobilmu. Aku bisa meminjamkan uang ini dulu. Kenapa kamu hanya membawa uang tunai, sangat berbahaya di perbatasan sana. Bagaimana jika setengah aku transfer ke rekening kamu saja." Jose Tarilo menatap lekat dengan sorot penuh rasa sayang kepada sahabat anaknya yang sudah seperti putri keduanya itu. Ixora menggeleng. "Papa bisa tahu jika ada penambahan rekening." "Tidak akan, kamu lupa jika punya nomor rekening yang lain? Josevina sudah memberitahuku." Ixora menatap pria tua itu dengan mata berkaca-kaca. "Tuan sungguh baik padaku. Tapi aku tidak ingin merepotkan siapa pun." "Kamu tidak pernah merepotkan kami. Kamu juga tidak harus pergi hari ini. Pergilah besok, malam ini tinggallah bersama kami." "Aku tidak ingin berutang budi." "Ah … omong kosong dengan utang budi. Kami berutang nyawa padamu. Ingat dulu kamu harus menjual mobil untuk memberikan kami modal bertahan hidup sampai sukses seperti ini. Jika tidak ada kamu, kami yang mungkin tidak hanya menggelandang tetapi sudah menjadi mayat di luar sana. Ayolah, Bibi Tina akan senang melihatmu datang." "Tapi …." ujar Ixora seraya bangkit dari duduknya karena showroom ini akan segera tutup hari ini. "Tidak ada tapi. Biarkan kami mengurusmu. Jangan seperti ini, kamu terlihat seperti buronan," balas Jose Tarilo seraya terkekeh melihat raut wajah Ixora yang terkejut. Ixora menoleh ke arah cermin setinggi langit-langit kantor milik Jose Tarilo itu dan menatap wajahnya yang pucat dan kusut. Seketika ia teringat dengan keluarganya yang pasti malam ini sangat bahagia menikmati santap malam istimewa di kediaman Rodrigues. Satu jam kemudian mereka sudah tiba di kediaman Tarilo. Ixora jarang kemari karena ia lebih sering ke apartemen milik Josevina salah satu teman sekolahnya dulu. "Kamu sangat tepat untuk tinggal terlebih dahulu di sini. Lihat badai datang," ujar Josevina seraya menutup pintu depan. "Benar itu. Siapkan tempat tidur untuknya malam ini," perintah Jose. "Tentu Papa. Mama dan aku juga sudah menyiapkan makan malam kita." "Kamu sudah menghubungi orang tuamu atau Kakek, nenekmu?" tanya Josevina seraya membantu membawakan tas bepergian Ixora. "Tidak perlu." "Aku rasa perlu. Bagaimana jika Jason bertanya pada kakekmu?" "Dia tidak akan melakukan itu. Ada Clara bersamanya." "Baiklah kalau begitu, bersihkan dulu dirimu sebelum makan malam. Kamu tampak kacau, temanku. Seperti orang yang patah hati." Ixora terkekeh menanggapi. "Kamu ini ada-ada saja." Meski dalam hati dirinya mengiyakan hasil pengamatan Josevina temannya sejak bangku Sekolah Dasar. * Jason mematut diri didepan cermin dan melipat kemeja sampai sebatas siku. "Kenapa pakaianmu santai sekali?" tanya Mary dari ambang pintu kamar. "Ini hanya makan malam, Ma, bukan untuk pertemuan diplomasi." "Pakai rompimu. Setidaknya hormati papamu." "Apa aku masih kurang tampan?" tanya Jason seraya menatap mamanya dari pantulan pada cermin. "Kau anak Mama satu-satunya tentu saja paling tampan." "Ma, bagaimana jika pernikahan ini tidak usah dilakukan?" "Jangan main-main Jason. Kau tahu papamu sudah mengincar tanah itu sangat lama dan hanya bisa didapatkan melalui ikatan keluarga." "Kenapa tidak biarkan aku menikah dengan Ixora saja?" Nyonya Mary tertawa meremehkan. "Anak itu seperti anak ayam yang hanya bisa mengikuti ke mana kau pergi. Dia bahkan tidak bisa memutuskan sendiri apa yang dia mau. Buktinya dia pergi." "Apa maksud Mama? Jadi, bukan kemauan Ixora untuk pergi sendiri? Apa dia didesak oleh keluarganya?" Kadang kala Jason sangat benci dengan sifat Ixora yang terlalu penurut. Nyonya Mary tampak seperti tersadar sesuatu dan kemudian bungkam. Jason membalikkan tubuhnya dan menatap tajam ke arah sang mama. "Jawab Jason, Ma. Apa mereka memaksa Ixora untuk pergi? Jason sudah sangat lama mengenal keluarga mereka." "Tidak ada seperti itu. Ixora memang harus pergi karena keluarga mereka telah bangkrut. Tidak mungkin juga dia menikah lebih dulu dengan melangkahi Clara." "Apa bedanya? Aku lebih mengenal Ixora daripada Clara." "Clara lebih baik. Dia sudah bekerja dengan papamu selama tiga tahun ini dan tentu saja lebih menguntungkan untuk kita." "Jadi Mama anggap pernikahan dan perasaanku tidak penting." Nyonya Mary berjalan mendekat dan mengusap d**a Jason. "Hanya dua tahun, Sayang. Bertahanlah dalam pernikahan ini. Jika kalian tidak memiliki anak. Kalian bisa bercerai." "Mama lupa, jika aku memiliki anak sekali pun, anakku tidak akan menyandang nama Rodrigues." "Tidak apa-apa, paling tidak harta keluarga Rodrigues ada bersama dengan kita." "Ambisi Mama mengerikan." "Demi kebaikanmu, percayalah dengan Mama. Menurutlah. Kau akan lebih baik bersama dengan Clara. Gadis itu mencintaimu, sementara perasaanmu kepada Ixora itu hanya persahabatan. Mungkin bahkan seperti saudara karena kalian sudah terbiasa selalu bersama. Ingat bukan, selama ini gadis itu selalu menjadi perantara untuk dekat dengan semua mantan pacarmu. Bagaimana mungkin gadis seperti itu akan menaruh rasa padamu? Gadis itu bodoh, dia tidak baik untukmu." "Jangan berkata buruk tentangnya, Ma." "Jika dia memang sahabatmu. Dia pasti tidak akan pergi saat kamu akan bertunangan," kata Mary saat menggapai daun pintu. Jason tidak melanjutkan percakapan dengan sang mama saat siluet papa tirinya sudah nampak. Mereka bertiga akhirnya turun untuk menemui tamu makan malam mereka. Senyum Clara tampak berseri-seri tapi bagi Jason biasa saja. Entah mengapa ide untuk menerima Clara yang cantik tampak tidak semenarik saat adik wanita itu yang merupakan sahabatnya tidak lagi ada diantara mereka saat ini. Jason tersenyum dan menyapa mereka, tapi rasa kosong itu kembali hadir saat berkumpul di meja makan dan mendapati satu kursi kosong yang akhirnya disingkirkan oleh seorang pelayan. "Maaf saya lupa jika Nona Ixora tidak hadir malam ini." "Dia mendadak harus segera pergi ke Guatemala hari ini juga," kata Husto. "Ada masalah dengan ladang di sana?" tanya Benicio. "Sepertinya begitu," jawab Husto yang tampak canggung dan tidak siap dengan pertanyaan dari Benicio yang biasanya terlihat acuh. "Jadi kau tidak yakin?" tanya Benicio yang tak begitu saja percaya dengan alasan dari Husto. Ixora memang ahli pertanian tapi situasi di Guatemala saat ini juga tidak terlalu bagus. Bagaimana bisa Husto melepaskan anak bungsunya begitu saja. Terlebih saat ini adalah malam penting untuk salah satu anaknya. Benicio yakin, bukan sifat dari Ixora untuk mengacuhkan hari penting anggota keluarga. Sementara ulang tahunnya saja gadis yang memiliki warna rambut seindah madu murni itu selalu ingat dan tak pernah lupa memberikan selamat serta bingkisan sederhana. Jason malam ini menempatkan diri menjadi pengamat. Rencananya untuk menguji Ixora tentang perasaan sahabatnya yang selalu acuh terhadapnya itu rasanya sia-sia. Sungguh sejatinya ia masih bingung dengan perasaan terhadap Clara yang tampak sangat mencintainya, memujanya … sepertinya memang begitu. Sementara ia selama ini hanya senang bermain-main dengan wanita. "Kamu tega mengirim anak perempuanmu ke sana? Dia belum ada pengalaman bukan?" "Aku hanya punya dua anak perempuan dan dibandingkan dengan Clara yang lebih lembut dan tidak biasa bekerja di luar ruangan. Ixora lebih tangguh." "Lebih tangguh. Lebih tangguh bukan berarti kamu bisa melepaskan dia begitu saja, apa kamu tidak khawatir? Apalagi situasi di perbatasan sedang tidak kondusif saat ini?!" Benicio menyadari bahwa dirinya sudah ikut campur meski pada kenyataannya memang dirinya terkejut dengan sikap Husto, ia pun kembali bertanya, "Dengan apa dia pergi ke sana?" Dengan kenyataan mengabaikan raut wajah Husto yang mulai masam. Benicio tak peduli, ia sangat menyayangi sahabat dari putra tirinya itu. "Dengan kereta."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD