Bab 1

1865 Words
Di dunia ini hal yang paling aku benci selain pernikahan adalah rapat tidak jelas seperti pagi ini. Semua ini gara-gara bos baru pengganti ibu Maya yang memutuskan pensiun muda, bukannya suudzon tapi melihat gayanya memimpin rapat entah kenapa aku yakin dia bisa mendapat kedudukan tinggi karena kelihaiannya menjilat pemilik perusahaan, siapa sih yang tidak kenal Hendrawan, manager pemasaran yang baru dua tahun bekerja tapi sekarang kedudukannya satu tingkat di bawah direktur utama sedangkan aku saja yang lima tahun merintis karir dari bawah sampai detik ini hanya menjabat manager keuangan dan tentu aku dapat dengan kerja keras. Ah iya, perkenalkan namaku Gema Putri Bakti Utomo. Kalian bisa memanggilku Gema. Saat ini usiaku menginjak 28 tahun dan aku beruntung sampai detik ini statusku masih single. Aku bekerja di perusahaan pertambangan dan puji Tuhan aku memiliki karir yang cukup bagus. Bisa saja aku memilih bekerja di perusahaan ayah atau opa tapi hati nurani menyuruhku untuk memulai karir dari bawah dan di perusahaan milik group Bakrie lah kini aku mencari sesuap nasi dan segenggam berlian. "Gema, bagaimana laporan keuangan bulan ini?" panggilan pak Hendrawan membuyarkan lamunanku. Kertas berisi audit bulanan sudah penuh dengan coretan, untungnya sebelum rapat aku menyiapkan beberapa copy jika diminta pak Hendrawan dan manager lainnya. Aku berdiri dari kursi dan menyerahkan sebundel dokumen berisi laporan keuangan bulanan. Pak Hendrawan menerima dokumen itu dan membacanya, dulu ibu Maya selalu puas dengan hasil kerjaku dan tidak pernah ada kesalahan dalam mencatat setiap pendapatan dan pengeluaran perusahaan. "Kalau jiwa kamu tidak ada di ruangan ini sebaiknya kamu mengundurkan diri. Masih banyak karyawan lain yang mau bekerja." Tajam dan penuh kebencian, sudah jadi konsumsi umum kalau pak Hendrawan sedikit iri denganku. Rasa kantuk dan bosanku langsung sirna setelah mendengar teguran keras pak Hendrawan dan yang bikin rasa kesalku semakin membesar karena pak Hendrawan berani menegur sekeras itu di depan pimpinan dan karyawan junior. "Ada yang salah dengan pekerjaan saya pak?" balasku dengan nada tinggi. "Tidak, hanya saja saya pikir kamu terlihat tidak suka saya menggantikan posisi ibu Maya." Nah sadar diri kan? Siapa sih yang suka orang yang tidak kompeten bisa naik pangkat secepat itu. Menurutku masih banyak senior yang lebih layak menggantikan posisi ibu Maya dan menurutku lagi pak Hendrawan belum layak menyandang jabatan 'Wakil Direktur Utama'. Aku mengedarkan mataku ke seluruh ruangan dan melihat beberapa orang berusaha menahan tawanya dan juga rasa kantuk, ternyata bukan aku saja yang tidak suka dengan pak Hendrawan dan pak Hendrawan seperti sadar kalau karyawan lain menertawakannya, dia memilih menutup rapat dengan hati kesal. "Sudah sudah. Rapat selesai dan saya mau kinerja kalian mulai bulan depan semakin membaik atau saya tidak akan segan-segan memecat kalian," ujarnya dengan wajah merah melihat aku berani melawannya. Pak Hendrawan lalu memilih keluar dengan mulut masih mengoceh. "Si botak nggak tahu diri ya mbak Gema, gayanya kayak pemilik perusahaan. Masa kerjasama dengan PT. CINTRA ANDALAS mau diakhiri setelah 10 tahun berjalan dan alasannya itu loh, nggak masuk akal banget," seru Ranni, bagian legal yang dipaksa pak Hendrawan untuk tidak memperpanjang kontrak jual beli batubara antara Group Bakrie dengan PT. CINTRA ANDALAS. Aku merapikan sisa-sisa dokumen lalu melihat ke arah Ranni, "Entahlah Ran, elo tahu kita cuma kacung pak Hendrawan dan perintahnya adalah titah bagi perusahaan ini. Gue jadi penasaran kenapa pak Rakha mau memilih dia sebagai pengganti ibu Maya. Gue yakin sebentar lagi perusahaan ini bakalan bangkrut," balasku tak habis pikir dengan keputusan Rakha memilih pak Hendrawan. Rakha Gailendra, Direktur Utama dan sekaligus pemilik perusahaan tempatku bekerja. Aku sudah mengenalnya sejak kami sama-sama duduk di bangku SMA. Bisa dibilang aku bisa masuk ke perusahaan ini karena Rakha. Awalnya aku dan Rakha sama-sama merintis dari bawah tapi kematian ayahnya dua tahun yang lalu membuat Rakha terpaksa mengambil alih kepemimpinan ayahnya dan tentu saja aku bisa menghitung berapa kali dia datang untuk menghadiri rapat sedangkan sisanya aku yakin dia lebih banyak menghabiskan waktunya di club malam bersama pacar-pacarnya. Meski kami bersahabat tapi aku tetap menganggapnya sebagai atasan dan tidak jarang kami berdebat jika menyangkut pekerjaan. Hanya saja keputusannya mengangkat pak Hendrawan masih belum bisa aku terima. Kalian tahu apa alasannya? Rakha bilang pak Hendrawan merupakan kaki tangan pamannya yang ingin menguasai perusahaan peninggalan ayahnya, menjadikan pak Hendrawan wakil Direktur Utama berarti bisa mengendalikan pak Hendrawan. Semoga pikiran burukku tentang pak Hendrawan tidak terjadi. **** Setelah semua pekerjaanku selesai dengan malas aku mengambil blazer yang tergantung di sudut ruangan. Andai bisa memilih ingin menghabiskan waktu di kantor karena ada beberapa pekerjaan belum selesai aku audit tapi sayangnya sejak pak Hendrawan menjabat semua aturan diubahnya dan tidak boleh ada karyawan pulang di atas jam sembilan malam dan aku tahu alasannya pasti karena dia tidak mau perusahaan mengeluarkan uang lembur. Pak Hendrawan benar-benar membuat keuangan perusahaan diatur sehemat mungkin. Aku melirik jam di tangan dan jarum jam masih di angka delapan, pulang ke apartemen sedini ini rasanya bukan Gema banget tapi aku bingung mau ke mana. Aku mengeluarkan ponsel dan mencoba mencari teman yang mau menemaniku menghabiskan malam ini. Nama pertama yang muncul di ponselku, 'b*****g' aku menekan tombol dial dan sialnya tidak ada jawaban dari sang empunya ponsel. Aku mencoba mencari nama teman lainnya dan baru ingat kalau teman-teman seangkatanku sudah menikah dan punya anak. Mana mungkin mereka mau menghabiskan malamnya dengan wanita lajang seperti aku. Akhirnya aku memutuskan kembali ke apartemen dan sebelumnya aku singgah ke supermarket untuk membeli sebotol wine agar aku bisa tidur cepat. "Cong! Ngapain elo di sana," langkahku terhenti saat melihat Rakha duduk selonjor di lantai di depan apartemenku. Aku segera menghampirinya dan melihat Rakha dengan kondisi kacau. "Gemaaaaa, sahabat tercantik gue," ocehnya. Aku mencium bau alkohol dari mulutnya. Dengan kesal aku menendang kakinya untuk meluapkan kekesalan hari ini karena keputusannya membuat hari-hariku di kantor tidak seperti dulu lagi. "Mabok lagi elo cong? Kapan sih elo dewasanya, daripada mabok mending elo datang ke kantor dan lihat hasil kerja si botak. Kacau cong! Gue yakin bentar lagi perusahaan bokap elo bakalan bangkrut," ocehku lagi. Aku masih enggan membantunya berdiri, dia melihatku lalu menatapku dengan tatapan kosong. "Gue putus," bisiknya pelan. Lagi? "Kenapa lagi? Si bule gondrong bikin kesalahan apa lagi sampai elo minta putus?" tanyaku. Ya, sejak awal mengenalnya aku tahu kalau Rakha berbeda dibandingkan laki-laki lainnnya. Orientasi seksualnya berbeda, dia tidak tertarik dengan wanita dan karena orientasinya itu aku tidak pernah melarangnya masuk ke dalam apartemen bahkan tidur berdua seranjang denganku. Bahkan dulu aku pernah telanjang di depannya karena bajuku basah tapi tidak sedikitpun Rakha berkeinginan menyentuhku. "Bukan dia, tapi gue! Gue kepincut brondong manis di club malam." Helooooooo. "Terus kenapa elo mabok, b*****g gila!" Saking dekatnya saat kami hanya berdua terkadang aku enggan memanggilnya Rakha tapi selalu b*****g. Dulu aku selalu mengira homo itu waria atau b*****g tapi seiring berjalannya waktu aku akhirnya tahu kalau kaum mereka tidak saja waria atau b*****g tapi juga terkadang laki-laki tangguh seperti Rakha. "Masalahnya dia nggak homo! Elo oon atau bloon sih," suara Rakha semakin tinggi, Aku kembali menendang kakinya dengan heel merahku. Aku nggak mau nantinya satpam datang dan mengusir kami dari sini karena menganggu penghuni lainnya. "Rese lo, au dah. Pulang sana, gue lagi malas nampung elo." Aku menggeser kakinya agar bisa membuka pintu apartemen. Bukannya menyingkir Rakha malah memegang kakiku dengan tangannya. "Tampung gue, please." Sialan, siapa yang tahan dengan wajah memelasnya saat aku tidak mengabulkan keinginannya tapi kan aku masih kesel dengan keputusan bodohnya itu. Kenapa sih nggak konsultasi dulu sama pihak yang lebih kompeten walau aku bukan pemegang saham tapi tetap saja aku termasuk karyawan senior. "Nggak, males!" aku kembali mendorongnya lalu masuk ke dalam apartemen. "Gem ... Gem ... Ayolah cantik, jangan jual mahal. Gue tahu elo sayang kan sama gue," teriaknya. Tentu saja aku sayang, dia sudah aku anggap saudara dan hubungan kami bisa dibilang lebih dari sahabat. Terkadang aku dengan suka rela membantunya mengejar laki-laki yang dia sukai dan bahagia kalau kisah cintanya berjalan dengan baik. "Berisik!" Setelah melepaskan blazer dan juga pakaianku, aku masuk ke dalam kamar mandi. Rasa gerah membuatku memutuskan untuk mandi, cukup dengan membilas badan dengan air dingin dan mencuci muka saja. Selesai mandi aku membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kimono berwarna merah lalu memakainya. Tanpa bra dan hanya memakai celana dalam agar tidurku malam ini nyenyak. Suasana di luar tetap berisik Rakha masih membuat keributan dengan nyanyian dan gelak tawanya, awalnya aku membiarkan tapi semakin lama teriakan dan nyanyian Rakha semakin menggangguku. Aku membuka pintu apartemen dan melihat beberapa satpam berusaha membantu Rakha berdiri. "Maaf pak," aku mengambil Rakha dari pegangan satpam dan membawanya masuk ke dalam apartemenku. Entah apa yang diocehkan satpam itu tapi aku mendengar mereka menganggap Rakha manusia bodoh dan gila. Aku membawa Rakha menuju sofa dan mendorongnya hingga terjatuh dan tanpa sengaja tangannya menarik tali kimono merahku hingga terbuka. "Upssss, no bra today?" tanyanya dengan senyum jahil. "Gue bunuh juga elo ya," aku merapikan kimono tadi dan duduk di sampingnya. Aku membuka botol wine yang masih belum dibuka dan menuangkannya ke dalam gelas. "Jangan Gem, nanti nggak ada lagi sahabat elo yang rela melihat t***t elo yang ranum itu." Mendengar ucapan cabulnya membuatku membalas dengan mencubit pahanya, Rakha langsung teriak menahan rasa sakit. Aku tertawa dan kembali menghabiskan sisa wine yang masih ada di dalam gelas. "Sakit tau," ujarnya sambil menggosok-gosok bekas cubitanku tadi. Rakha lalu berdiri dan membuka celana panjangnya dan reflek mataku langsung tertuju ke tonjolan besar yang ada di balik celana dalamnya. "Lihat nih biru," dia mengangkat pahanya dan menunjukkan bekas cubitanku tadi. Tubuhnya yang sempoyongan membuat posisi Rakha tidak sempurna. "Biarin, otak elo isinya m***m mulu dah. Lagian ngapain elo buka celana di depan gue? Kalau gue h***y gimana? Gue kan normal," balasku asal. "Ya sudah, kalo elo butuh pelampiasan karena selama ini elo masih perawan. Gue siap dan rela menjadi kacung elo, kon*** gue siap membantu elo merasakan surga dunia." Jawaban dari mulut Rakha semakin ngawur dan gila. Aku tertawa dan menuangkan gelasku dengan isi wine yang masih tersisa, "Set dah, elo kan homo cong. Emangnya elo bakal on b******a sama gue? Lagipula gue nggak doyan kon*** bekas pacar-pacar elo." "Mau coba? Buat elo apa sih yang nggak." Tubuh Rakha semakin sempoyongan, kepalaku yang mulai berat akibat pengaruh wine mulai membuat tubuhku kepanasan. Aku menarik tali yang mengikat kimono tadi. "Gila lo, udah ah. Gue tidur dulu." Aku berdiri dan rasa panas di tubuhku semakin sulit aku tahan. Aku mulai membuka kimono hingga hanya menyisakan celana dalam di tubuhku. "Yeee katanya nggak, lah dia b***l di depan gue." "Panas cong," balasku kesal. Aku memutar tubuhku tapi pandanganku semakin menghitam. Aku hampir jatuh tapi tangan Rakha langsung menangkapku, "fiuhhh hampir saja," sambungku. Posisi kami benar-benar memprihatinkan, aku berada di pelukan Rakha dalam posisi hanya memakai celana dalam, sedangkan Rakha memakai boxer dan kemeja yang kancingnya sudah tidak terpasang. "Ternyata elo sexy juga" Rakha semakin ngawur. "Apaan sih." Aku mencoba untuk berdiri dengan normal tapi sayangnya tubuhku tidak mau menuruti perintah otak. Aku kembali hendak jatuh dan lagi-lagi Rakha menangkapku tapi kali ini posisinya tidak sempurna dan kami jatuh di atas sofa dengan posisi Rakha menindihku. "Cong," panggilku pelan saat tangan Rakha mulai bermain di tubuhku, "cong, jangan ..." sambungku tapi tubuhku berkata lain. Aku menikmati setiap sentuhan Rakha dan entah kenapa aku tidak ingin dia berhenti. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD