Bab 2

1396 Words
Hal pertama yang aku lakukan saat sadar dari kegilaan yang aku lakukan tadi malam adalah meninggalkan apartemen dengan perasaan kacau dan bingung. Kacau kenapa aku bisa tidur dengan sahabat sendiri dan bingung kenapa aku malah menikmatinya. Aku meninggalkan Rakha yang masih tidur di ranjangku dalam kondisi telanjang, wajahnya yang sedang tertidur menyiratkan kalau dia sangat menikmati keperawananku yang diambilnya. Dasar b*****g sialan! "Tumben subuh-subuh ke sini?" tanya bunda saat aku pagi-pagi buta datang ke rumahnya. Bukannya menjawab aku malah langsung masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang keluarga. "Bun, aku nginap di sini ya." "Tumben, biasanya mana mau kamu nginap di sini kalau bunda pinta. Kamu ada masalah atau ..." sindir bunda tajam. Selama ini aku memang jarang mau tidur di rumah bunda kecuali dalam keadaan terpaksa seperti bunda atau ayah sedang sakit atau ada acara keluarga yang harus aku hadiri. "Ye, emangnya aku harus buat masalah dulu baru boleh ke sini. Bunda suka gitu deh sama anaknya sendiri, kalo nggak boleh aku nginap di rumah mbak Hanin aja dah," aku pura-pura berdiri tapi bunda langsung membesarkan matanya seakan tidak mengizinkan aku pergi. Aku tersenyum lalu mendekati bunda dan memeluknya, ada perasaan bersalah karena selama ini aku terlalu sibuk hingga jarang menemaninya. "Tumben manja, kamu lagi ada masalah?" kali ini bunda seakan tahu alasan kenapa aku datang ke rumahnya sepagi ini. "Lagi bosen bun dengan rutinitas," bohongku. Bunda memegang tanganku. "Kalo ada masalah cerita saja ya," bunda merapikan anak rambutku yang berantakan. "Siap bos, aku tidur dulu ya bun." Bunda mengangguk dan menyuruhku untuk beristirahat. Aku pun masuk ke dalam kamarku yang masih tetap sama sejak aku memutuskan tinggal di apartemen. Aku menghempaskan tubuhku di sofa dan menatap panjang langit-langit di kamar. Gema bodoh, elo tau kan si Rakha itu homo dan bisa-bisanya elo tidur sama dia tanpa k****m. Kalau elo dapat penyakit seksual atau lebih gilanya hamil gimana? Astaga, hamil? Tuhan tidak sekejam itu kan? Lagi pula kami tidur hanya sekali dan aku yakin Tuhan tidak akan memberiku anugerah di saat tidak tepat. Bukannya aku tidak mau tapi hidupku bisa kacau kalau sampai bunda tahu aku hamil di luar nikah, apalagi kalau bapaknya anakku itu si Rakha. Bisa-bisa bunda kena serangan jantung. Tidak, hentikan semua penyesalan itu. Gema tetaplah Gema, lupakan dan bersikaplah seakan kejadian itu tidak pernah terjadi. **** "Halo cantik," sapaan dari suara yang amat sangat aku kenal membuatku membuka mata. Samar-samar aku melihat wajah Rakha sedang tersenyum, aku langsung terduduk kaget dan menarik selimut untuk menutupi tubuhku. "Ngapain elo di sini cong," tanyaku kaget. "Numpang sarapan." Gila, santai amat. "Oh." Syukurlah. Nggak lucu kan kalau Rakha datang ke sini lalu cerita masalah itu sama bunda. Bisa-bisa aku digunduli atau lebih gilanya kami bakal dinikahi. Nggak deh. "Gem, kenapa elo pergi nggak bilang-bilang sama gue?" tanyanya dengan mulut penuh dengan sandwich buatan bunda. Ya, bunda dan Rakha sangat dekat sampai-sampai bunda mengizinkan Rakha masuk ke kamarku dan tentu bunda tahu tentang orientasi Rakha. Kalau Rakha normal kalian pikir bunda akan mengizinkan dia masuk ke kamar anak gadisnya? Yang ada aku akan dipaksa nikah dengan dia. "Eh iya, elo nggak ke kantor? Gue izin ya." Oke, jangan ada pembahasan tentang kejadian itu dan satu-satunya cara dengan mengalihkan perhatiannya. "Males, mending tidur." Rakha meletakkan sisa sandwichnya dan langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa dan dalam sekejab aku mendengar suara dengkurannya. Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya, aku mengambil ponselku dan ternyata banyak panggilan tidak terjawab darinya. Aku lalu keluar dari kamar pelan agar Rakha tidak terbangun. Aku mengikat rambut dan melihat bunda serta ayah sedang menikmati sarapan paginya bersama dua anak mas Micko yang dititipkan di rumah bunda. "Rakha mana?" tanya bunda dengan wajah celingak celinguk mencari sosok Rakha. "Molor," balasku singkat. "Kolor? Om Rakha di kamar aunty pakai kolor kayak aku ya?" sambar ponakan laki-lakiku bernama Harris dengan wajah lugunya. Hampir saja aku tersedak sandwich mendengar ucapannya tentang kolor. Nah kan aku kebayang lagi kejadian itu. "Molor sayang bukan kolor, kamu ih bikin aunty keselek." Bunda dan ayah tertawa lantang seakan senang cucunya membahas masalah itu di depanku. "Kasihan, datang-datang tanyain kamu. Kalian habis berantem ya?" "Nggak kok," aku gigit sandwich terakhir agar gugupku hilang. "Oh, dia masih homo?" kali ini bunda kembali bertanya setelah bertahun-tahun tidak membahas masalah itu. Aku meletakkan sandwich di atas piring dan melihat bunda dengan tatapan penuh tanya. "Kok bunda nanya itu?" "Sayang ya. Andai normal bunda pasti sudah izinkan kalian pacaran, Rakha anaknya baik dan sopan." Baik? Saking baiknya dia berani nidurin aku, penilaian bunda pasti berubah kalau dia sampai tahu masalah itu. Sopan? Saking sopannya dia sengaja datang ke sini hanya untuk numpang sarapan. "Aku yang nggak mau, masa nikah sama sahabat sendiri. Apa kata dunia bun kalau seorang Gema menikah dengan Rakha," balasku. "Lah gue kenapa lagi sih, cantik. Elo kayaknya ada dendam kesumat sama gue ya," sambar Rakha dari belakang. "Hahaha ayo duduk nak Rakha. Gimana sandwich buatan bunda?" "Enak bun, makasih ya." Rakha duduk di sampingku. Bunda menyerahkan segelas teh panas dan sandwich baru, aku memilih diam dan menikmati s**u hangat. **** "Balik kantor yuk," ajak Rakha setelah kami selesai sarapan. "Malas, gue cuti seminggu ya. Tolong bilang sama pak Hendrawan ya," pintaku. "Gem, bisa kita bahas masalah ..." sebelum dia selesai bicara aku langsung mengangkat tangan lalu mengarahkan jari telunjuk ke mulutku. "Stttt, jangan bahas itu di sini. Nanti nyokap denger. Gue nggak apa-apa cong, lupakan masalah itu. Gue tetep teman elo dan nggak akan ada perubahan meski kita sudah 'bobok bareng'" kataku dengan membuat tanda kutib. "Serius? Gue mau kok jadi suami elo. Ya meski gue nggak ada rasa sama elo tapi kan lumayan juga punya bini secantik elo dan menantu yang gue bawa ke rumah masih berjenis kelamin perempuan. Nyokap nggak bakalan coret nama gue dari kartu keluarga," balasnya dengan santai diiringi senyum iseng khas miliknya. Jujur Rakha terlihat sangat tampan dengan senyumnya itu ditambah bola matanya yang berwarna coklat setiap menatapku seakan dia itu normal seperti laki-laki pada umumnya "No! Gue nggak mau punya suami kayak elo." "Serah dah, jangan aja sampai elo hamil ya. Sekali elo hamil gue bakalan nikahin elo. Serah elo mau apa kagak, yang penting anak gue ada bapaknya meski homo." Aku menendang kakinya dan mengejeknya. "Mimpi loe." Kami pun tertawa dan menikmati kudapan yang disiapkan bunda. Rasanya sudah sangat lama kami tidak menikmati waktu sesantai ini sejak dia diangkat jadi direktur utama menggantikan ayahnya. **** Rencana liburan di rumah bunda terpaksa diakhiri saat aku menerima w******p dari mami Renny, ibunya Rakha. Dia memintaku datang ke rumahnya siang ini, katanya ada hal penting yang mau dia tanya dan di sinilah aku kini berada. Di rumah keluarga Rakha yang terlihat sepi meski rumahnya sangat besar. Rumah sebesar ini hanya didiami mami Renny dan Rakha serta tiga orang pembantu. Sejak ayah Rakha meninggal banyak pihak menginginkan harta peninggalan ayahnya dan terpaksa Rakha kembali tinggal bersama ibunya. "Maaf ya sayang mami terpaksa nyuruh kamu ke sini," mami Renny terlihat tidak enak mengganggu waktu liburanku. "Nggak apa-apa kok mi. Kalau boleh tau kenapa ya mami nyuruh Gema ke sini?" Mami Renny membuang napasnya. "Rakha normal kan?" Heh. "Maksud mami?" oke aku mulai paham. Sepertinya mami Renny mulai curiga dengan orientasi Rakha. "Aduh gimana ya ngomongnya," mami Renny menggaruk kepalanya, "Rakha nggak homo kan?" sambungnya langsung. Oke. Ini terlalu mendadak dan setahuku Rakha menyembunyikan semuanya agar ibunya tidak tahu kalau selama ini dia homo. "Hahaha ya nggak lah mi, masa Rakha homo." Maafin aku ya mi. Mami Renny membuang napas penuh rasa syukur. Tentu saja, nggak ada satu orangtuapun menginginkan anaknya seperti itu dan aku tidak tega memberitahunya. "Kalau begitu ... Kamu mau ya jadi menantu mami." Heh. Apa-apaan ini. "Menantu? Maksud mami aku dan Rakha menikah? Huwahahahaha ya nggak mungkinlah mami sayang. Aku sudah anggap Rakha sahabat dan nggak mungkin kan dari sahabat jadi suami. Lagipula aku malas menikah dan ngurus suami, aku masih mau berkarir." Tolakku langsung. Mami Renny menundukkan kepalanya. "Mami pikir dia suka sama kamu makanya nggak pernah ngajak perempuan lain ke sini." Ya iyalah, dia kan homo. "Mami tenang saja. Aku yakin suatu saat nanti dia pasti menikah." Entah sama perempuan atau laki-laki mi. Semoga mami tabah ya nantinya, walau bagaimanapun Rakha sayang sama mami. "Mudah-mudahan, tapi mami masih berharap kamu mau jadi menantu mami. Entah kenapa kalian terlihat serasi kalau di sandingkan." Nggak deh mi. Masih banyak laki-laki di luar sana. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD