Bab 1
"Harv, ini salah. Kita tidak bisa melakukan ini," bisik Mecca dengan napas terengah, jemarinya gemetar menahan sentuhan pria itu di pinggangnya.
Suara Harvin terdengar rendah, nyaris seperti desahan yang menghantam sisi telinganya. "Kenapa harus berhenti, di saat kita sudah sama-sama basah seperti ini, Mecca?"
Sejenak, dunia mendadak berhenti. Yang terdengar hanya detak jantung mereka, cepat, panik, bercampur dengan hasrat yang tak lagi bisa dikendalikan.
+++
Dua bulan sebelumnya,
Langkah kaki Mecca Alexandra mendadak melambat saat melewati kamar sang adik—Stella. Dari balik pintu yang tertutup rapat itu, terdengar suara berisik: desahan bercampur tawa kecil, dentingan ranjang yang berirama, dan bisikan yang terlalu intim untuk didengar telinga lain.
Mecca menelan ludah, pipinya terasa panas seketika. Wanita berusia 28 tahun itu segera mempercepat langkahnya, melewati kamar itu dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena rasa penasaran, melainkan karena ia tahu benar bahwa suara-suara itu bukan untuknya. Itu milik Stella dan pria yang kini resmi menjadi suaminya—Christian Harvin.
Begitu kakinya menginjak anak tangga pertama, Mecca berusaha mengatur napas. “Fokus, Mecca,” gumamnya lirih. Malam ini ia hanya ingin mengambil sebotol air dingin dari kulkas, lalu kembali ke kamar untuk melanjutkan laporan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Namun suasana rumah yang sepi membuat setiap suara terasa lebih jelas. Bahkan di lorong tangga pun, bayangan desahan itu masih menempel di kepalanya. Ia berusaha menepis, tapi justru semakin nyata.
Sesampainya di dapur, Mecca langsung membuka kulkas dan meraih sebotol air. Ia meneguknya dengan cepat, berharap sensasi dingin bisa meredam panas aneh yang mendesak dalam dadanya. Tapi sia-sia.
Matanya terpejam, telinganya seolah masih merekam samar-samar suara bariton Harvin, bercampur dengan lenguhan Stella. Itu normal, ia tahu itu. Mereka pengantin baru, malam pertama memang seharusnya begitu. Tapi entah kenapa, desahan kedua pengantin itu terus terngiang di kepalanya.
“Tidak, apa-apaan ini, aku pasti sudah gila,” gumamnya sambil mengusap wajah. Ia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa perasaan itu tak lebih dari ilusi akibat kurang tidur dan beban pekerjaan.
Setelah menutup kulkas, ia berbalik untuk kembali ke kamar. Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba, pria itu—Harvin, muncul di dapur.
Pria berusia 32 tahun itu berdiri di ambang pintu dapur dengan rambut sedikit berantakan, hanya mengenakan celana panjang santai dan kemeja putih yang beberapa kancingnya dibiarkan terbuka. Ada kilau keringat di pelipisnya, wajahnya masih menampilkan sisa-sisa keintiman yang baru saja ia bagi bersama Stella.
Mecca refleks menggenggam erat botol air di tangannya, seolah itu satu-satunya yang bisa membuatnya tetap berdiri. Jantungnya berdetak kencang, bukan semata karena terkejut, tapi juga karena kehadiran pria itu begitu mendominasi ruang yang sunyi.
“Aku pikir tidak ada orang di dapur,” ujar Harvin, membuka pembicaraan lebih dulu. “Kau belum tidur?”
“Jika aku sudah tidur, mana mungkin aku bisa datang kemari untuk mengambil minuman?” sahut Mecca.
Harvin sontak menganggukkan kepalanya mengerti. Sedikit tersenyum, karena ternyata, kakak iparnya ini tidak pernah berubah sejak pertama kali mereka bertemu. Selalu saja seperti ini tiap kali bicara dengannya.
“Apa kau memang suka begadang begini, kakak ipar?”
“Tidak juga. Memang ada pekerjaan yang harus aku selesaikan malam ini. Jadi mana mungkin aku bisa tidur di saat pekerjaanku belum selesai?”
Harvin menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu, menyilangkan tangan di d**a. Senyumnya tipis, tapi matanya menatap Mecca terlalu lama—seakan sengaja mencari celah dalam sikap dingin wanita itu.
“Selalu tentang pekerjaan, ya?” ucapnya pelan. “Aku jadi semakin yakin, jika apa yang Stella katakan itu ada benarnya. Jika kau lebih cocok menikah dengan berkas-berkas perusahaan daripada dengan seorang pria.”
Mecca mendengus pendek, pura-pura tidak terganggu. “Jika itu maksudmu untuk merendahkanku, maka kau gagal total, Harvin.” Ia membuka botol air, meneguk sedikit, lalu menatap balik dengan sorot mata dingin. “Aku tidak pernah butuh pria hanya untuk membuktikan bahwa hidupku berarti.”
Harvin tersenyum tipis, tidak tersinggung sama sekali. Justru sebaliknya, sorot matanya semakin tajam, seakan tertantang. “Itu jawaban yang selalu aku duga darimu. Tapi lucunya…” ia melangkah pelan, mengurangi jarak di antara mereka. “…setiap kali kau bicara begitu, suaramu terdengar bergetar.”
Tubuh Mecca menegang. Ia tidak suka ditelanjangi seperti itu, terlebih oleh pria yang seharusnya menjaga batasan dengannya. Dengan cepat ia memalingkan wajah, menaruh botol di meja dapur dengan sedikit lebih keras dari seharusnya.
“Jangan sok tahu tentang aku,” ucapnya tajam. “Kau bahkan belum mengenalku cukup lama untuk berani berkata seperti itu.”
“Maaf jika kau tersinggung dengan ucapanku.”
Nada suara Harvin terdengar tulus, namun sorot matanya sama sekali tidak selaras dengan ucapannya. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan itu, sesuatu yang membuat Mecca semakin ingin menjaga jarak.
“Tidak perlu minta maaf,” jawab Mecca singkat, mencoba terdengar dingin meski detak jantungnya kacau. “Aku terbiasa dengan komentar orang yang menganggap pilihanku aneh.”
Harvin mendengus kecil, lalu berjalan mendekat, langkah kakinya tenang tapi penuh tekanan. Ia berhenti hanya beberapa inci darinya, cukup dekat untuk membuat Mecca bisa merasakan aroma tubuhnya yang masih hangat bercampur dengan wangi maskulin.
“Kau salah, Mecca,” ucapnya lirih. “Aku tidak pernah menganggapmu aneh. Justru sebaliknya…”
Tatapannya kini turun, menyapu wajah Mecca yang menegang, lalu berhenti di bibirnya yang tampak kering karena menahan kata-kata. “…aku menganggapmu terlalu menarik untuk seorang wanita yang hidupnya hanya berkutat dengan pekerjaan.”
“Apa kau ingin tahu, alasan mengapa aku segila ini dengan pekerjaan?” tanya Mecca.
Suara itu terdengar tenang, tapi Harvin bisa melihat jelas bagaimana jemari wanita itu mengepal erat di sisi meja. Ada lapisan rapuh yang tersembunyi di balik ketegasan.
“Ah, lupakan. Aku rasa, kau tidak akan mungkin tertarik untuk mendengarnya.” lanjut Mecca.
Harvin hendak menjawab, namun sebelum satu kata pun terucap, suara langkah ringan terdengar dari arah tangga.
“Harv? Mecca?” suara lembut itu jelas milik Stella.
Keduanya sontak terdiam. Mecca segera menarik diri, meraih botol air di meja dan menegakkan tubuhnya seolah tidak terjadi apa-apa. Jantungnya berdegup kencang, namun wajahnya dipaksa tetap tenang.
Beberapa detik kemudian, Stella muncul di ambang pintu dapur. Rambutnya tergerai acak, gaun tidur tipis berwarna lembut membalut tubuh mungilnya. Wajahnya masih bersemu merah muda, menyiratkan bahwa ia baru saja terbangun dari tidur yang nyenyak—atau mungkin dari keintiman yang baru saja berlangsung.
“Kalian… sedang apa di sini?” tanya Stella, suaranya polos namun cukup untuk membuat Mecca merasa seolah tubuhnya terperangkap dalam jerat kesalahan.
Mecca buru-buru mengangkat botol airnya. “Aku turun untuk mengambil minuman,” ujarnya datar, berusaha agar nada suaranya terdengar wajar.
Stella mengangguk pelan, lalu menoleh pada suaminya. “Dan kau, Harv? Mengapa meninggalkan kamar? Aku mencarimu, sayang.”
Harvin, yang sedari tadi berdiri tenang, mengubah ekspresinya dengan cepat. Senyum tipis muncul di wajahnya, seolah keintiman yang hampir saja pecah tadi hanyalah ilusi. “Aku hanya ingin mencari udara segar. Tapi ternyata ada kakakmu di sini. Jadi, aku berniat untuk menyapanya dan keluar mencari udara segar,” jawabnya singkat, suaranya stabil tanpa sedikit pun tanda kegugupan.
Stella tersenyum, lalu menghampiri Harvin dengan manja. Ia meraih lengan suaminya, menempelkan kepalanya pada bahu lelaki itu. “Oh, kalau begitu, aku temani ya? Ayo—”
Harvin lekas menggeleng pelan, menatap istrinya dengan senyum lembut yang seolah menenangkan. Ia menyentuh puncak kepala Stella, lalu berucap lirih, “Tidak usah, sayang. Setelah kupikir lagi… sepertinya aku sudah terlalu lelah. Lebih baik kita kembali ke kamar. Aku juga mulai mengantuk.”
“Oh begitu?” Stella menatapnya penuh pengertian. “Kalau begitu, ayo kita kembali beristirahat.”
Harvin mengangguk, lalu melirik sekilas ke arah Mecca.
“Aku juga akan kembali ke kamar,” ujarnya datar. “Masih ada laporan yang harus aku selesaikan malam ini.”
Stella menoleh, tersenyum tulus kepada kakaknya. “Mecca, jangan terlalu memforsir dirimu sendiri. Kau juga butuh istirahat.”
“Ya, aku tahu.” Mecca menunduk sebentar, lalu kembali menatap Stella dengan senyum tipis tanpa adanya paksaan. “Aku akan tidur setelah menyelesaikannya.”
“Baguslah,” sahut Stella lega. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Harvin dan berkata, “ayo sayang, kita ke kamar sekarang. Aku ingin tidur sambil dipeluk olehmu.”
Mecca mendengarnya dengan jelas. Dan entah mengapa, ia merasa ada yang aneh dengan perasaannya.
“Apa yang salah dengan perasaanku?” gumam Mecca pelan.