Bab 2

1287 Words
Aroma roti panggang dan kopi hangat memenuhi ruang makan keluarga Alexandra. Di meja panjang yang elegan itu, Joseph dan Susanne sudah duduk bersama Harvin dan Stella. Senyum bahagia terlihat jelas di wajah kedua orang tua itu saat memandang menantu dan putri bungsu mereka. “Ayah memang tidak salah sudah menjodohkan kalian berdua,” ujar Joseph sambil menepuk bahu Harvin. “Kau lelaki yang tepat untuk Stella. Tenang, bertanggung jawab, dan selalu membuatnya tersenyum.” Harvin menundukkan kepala sedikit, memberi hormat. “Terima kasih, Ayah. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami.” Susanne ikut menimpali sambil menepuk punggung tangan Stella penuh kasih. “Dan kau, sayang… Ibu sangat lega melihatmu bahagia seperti ini. Kau tampak semakin bersinar sejak menikah. Harvin benar-benar pasangan yang cocok untukmu.” Stella tersipu, pipinya merona. Ia meraih tangan suaminya di atas meja dan menggenggamnya erat. “Aku memang beruntung. Harvin selalu tahu bagaimana memperlakukanku, Ayah, Ibu.” Tawa kecil mengalir di meja itu, hangat dan penuh kebanggaan. Namun kehangatan itu seketika terasa timpang saat Mecca melangkah masuk. Dengan blazer yang sudah tersemat rapi di bahunya dan tas kerja di tangan, ia menatap meja sarapan itu dengan tenang, meski hatinya sedikit bergetar. “Pagi,” sapa Mecca singkat. “Pagi,” jawab Susanne tanpa banyak menoleh. Joseph pun hanya mengangguk sekilas, lalu kembali melanjutkan percakapan mereka dengan Harvin dan Stella. Mecca duduk di kursi agak ujung, mengambil secangkir kopi tanpa menunggu dilayani. Ia terbiasa dengan suasana seperti ini—bukan pertama kalinya perhatian orang tuanya hanya terpusat pada sang adik. Harvin, yang duduk tepat di samping Stella, sempat melirik Mecca. Tatapannya singkat, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia menyadari ketimpangan yang terjadi di meja tersebut. Suasana berlangsung beberapa menit hingga akhirnya Mecca meletakkan cangkir kopinya. Ia berdiri sambil merapikan jas kerjanya. “Aku berangkat lebih dulu. Ada rapat pagi di kantor.” Baru saja melangkah, suara Joseph menghentikannya. “Mecca.” Wanita itu menoleh. “Ya, Ayah?” Wajah Joseph berubah serius. “Ingat, proyek terbaru perusahaan ada sepenuhnya di tanganmu. Ayah sudah melimpahkan seluruhnya padamu. Jangan sampai gagal.” Ada jeda singkat. Mecca menarik napas, lalu mengangguk tegas. “Aku mengerti. Aku tidak akan mengecewakanmu, Ayah.” “Bagus.” Joseph kembali fokus pada Stella, seakan pembicaraan dengan Mecca hanyalah formalitas. Mecca menatap mereka sejenak, kemudian melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Namun saat ia berbalik, Harvin mengikuti gerakannya dengan tatapan berbeda—sebuah sorot mata yang samar-samar mengandung sesuatu. Entah kekaguman, entah iba? Langkah Mecca bergema ringan di sepanjang koridor. Ia sudah terbiasa meninggalkan meja makan dengan suasana seperti itu. Dingin untuknya, dan suasana penuh kehangatan untuk Stella. Hanya saja, kali ini ada sesuatu yang membuat napasnya tertahan sesaat. Tatapan itu. Tatapan Harvin yang terlalu lama hinggap padanya. Di ruang makan, Stella tidak menyadari apa pun. Ia sibuk berceloteh tentang rencana bulan madunya yang tertunda. “Aku ingin kita pergi ke Yunani, sayang. Santorini terdengar romantis,” katanya penuh antusias. “Ke mana pun yang kau mau,” jawab Harvin sambil tersenyum tipis. Namun matanya sempat melirik kosong ke arah pintu yang baru saja dilewati oleh Mecca—kakak iparnya. Joseph menghela napas panjang, lalu menatap menantunya dengan puas. “Itu bagus. Tapi jangan lupa, Harvin, meskipun kau sekarang bagian keluarga ini, aku tetap mengandalkanmu untuk menjaga Stella. Ingat, ia adalah putri bungsuku, kesayanganku.” “Aku paham, Ayah,” jawab Harvin mantap. Suaranya tenang, tapi di dalam dirinya, ada gejolak samar yang tak bisa ia kendalikan. Sementara itu, Mecca sudah mencapai halaman depan. Sopir keluarga segera berlari mendekat ke arah Mecca dan memberikan sebuah kunci mobil padanya. Seperti biasa, Mecca selalu pergi kemana-mana tanpa di antar oleh sopir. +++ Langkah sepatu hak Mecca terdengar mantap ketika ia memasuki lobi perusahaan Alexandra Group. Pagi itu, semua karyawan sudah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Beberapa mengangguk sopan ketika ia lewat, sebagian lainnya buru-buru menyingkir untuk memberi jalan. Kehadiran Mecca memang selalu menghadirkan aura yang berbeda, dingin, dan berwibawa. Saat pintu lift terbuka, Mecca dengan cepat melangkah masuk. Ia menekan tombol menuju lantai eksekutif, namun sebelum pintu menutup, suara seseorang menghentikan langkahnya. “Mecca!” Seorang wanita muda dengan rambut panjang bergelombang tergesa masuk ke dalam lift. Senyumnya begitu lebar, dan matanya terlihat berbinar. Mecca menoleh sekilas. “Lira.” Sepupunya—Lira, tersenyum kecil sambil menepuk lengan Mecca. “Aku kira kau sudah ada di ruang rapat. Untung aku sempat mengejarmu. Kita perlu bicara sebentar, Mecca.” Mecca mengangkat alis, namun tidak menolak. “Tentang apa?” “Bukan hal serius. Aku hanya ingin memastikan jika kau baik-baik saja,” jawab Lira dengan nada ringan, tapi sorot matanya cukup tajam untuk menembus lapisan dingin yang selalu Mecca tunjukkan. Pintu lift terbuka di lantai eksekutif. Mecca melangkah keluar lebih dulu, Lira mengikuti di sampingnya. Suasana lantai itu jauh lebih tenang dibanding lantai bawah saat ini. Begitu sampai di depan ruang kerjanya, Mecca membuka pintu dan memberi isyarat agar Lira ikut masuk. “Kau ingin bicara apa sebenarnya?” Lira duduk di sofa ruang kerja Mecca, menyilangkan kaki, sementara Mecca berjalan ke meja kerjanya dan menaruh tas. “Apa kau baik-baik saja setelah semua yang terjadi, Mecca?” “Aku tidak tahu apa yang kau maksud, Lira.” Lira menghela napas panjang, lalu menyahut, “oh, ayolah Mecca. Aku yakin kau tahu kemana arah pembicaraanku saat ini.” “Aku benar-benar tidak tahu.” jawab Mecca, sembari menatap Lira dengan tatapan santai. “Kau ini selalu saja berlagak sesantai ini. Dan berpura-pura tidak tahu apa maksudku. Padahal aku yakin, kau ini tahu betul apa yang aku maksud.” “Lira—” “Pantas saja kau dituntut untuk mengalah terus menerus!” sela Lira dengan cepat. “Kau berlagak santai, setelah Stella merebut apa yang seharusnya menjadi milikmu.” “Apa yang dia rebut dariku, Lira? Stella tidak merebut apapun dariku.” balas Mecca. Lira sontak mendengus, begitu mendengar balasan dari Mecca barusan. “Tidak merebut apapun kau bilang? Mecca, harusnya yang kemarin menikah adalah kau, bukan Stella. Dari awal, yang dijodohkan dengan pria itu adalah kau, bukan Stella.” Mecca terdiam sejenak. Matanya menajam, menatap Lira yang duduk di sofa dengan ekspresi penuh keyakinan. Karena sepupunya tersebut, kini, kejadian satu tahun lalu kembali muncul dalam kepalanya. Ya, tepat satu tahun lalu, sang ayah berniat menjodohkannya dengan seorang pria—anak dari salah satu temannya. Tapi entah mengapa, saat ia memutuskan menyetujui perjodohan tersebut, tiba-tiba saja, sang ayah justru memperkenalkan Stella—sebagai anak yang akan dijodohkan dengan pria itu—Christian Harvin. Mecca sejujurnya tidak masalah. Hanya saja, ia sedikit sakit hati, karena tidak ada satu pun orang yang memberitahunya, jika ia tidak jadi dijodohkan, melainkan Stella. “Aku benar-benar tidak mengerti, mengapa Stella selalu saja menginginkan apa yang kau miliki. Dia memang suka sekali merebut sesuatu yang menjadi milikmu.” lanjut Lira, memecah ingatan Mecca saat ini. “Jangan asal bicara, Lira,” suara Mecca terdengar datar, namun juga tegas. “Ayah yang memutuskan semuanya. Dan aku tidak pernah merasa Harvin adalah milikku. Lagi pula, dari awal perkenalan pun, memang Stella yang diperkenalkan sebagai anak gadis ayah yang akan dijodohkan. Dia tidak pernah merebut apa pun dariku, Lira.” Lira menyipitkan mata, tubuhnya condong sedikit ke depan. “Kau ini terlalu baik, Mecca. Terlalu rela dikorbankan, bahkan ketika jelas-jelas hakmu dirampas. Jangan bilang kau tidak merasakan apa pun ketika tahu rencana perjodohan itu tiba-tiba beralih ke Stella.” Mecca terdiam sejenak. Ia menautkan jemari di atas meja, menahan desakan emosi yang berusaha ia kubur rapat-rapat. “Aku sudah terbiasa, Lira. Dari kecil, aku selalu dituntut untuk kuat, untuk mengalah demi Stella. Jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi.” Lira tertawa kecil, getir. “Kau terdengar seperti wanita yang kalah sebelum bertarung. Sampai kapan kau harus mengalah demi Stella?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD