Sore menjelang malam, langit kota sudah dihiasi oleh cahaya orange yang perlahan berganti dengan gelap kebiruan. Ballroom sebuah hotel mewah di pusat kota dipenuhi para perwakilan perusahaan besar—para CEO, direktur, hingga para tokoh bisnis yang datang dengan setelan terbaik mereka. Acara pertemuan antar perwakilan perusahaan itu digelar tahunan, ajang prestisius sekaligus kesempatan menjalin koneksi.
Mecca melangkah masuk dengan gaun kerja formal berwarna hitam elegan, rambutnya diikat rapi ke belakang. Tatapannya tenang, penuh wibawa. Setiap langkahnya seakan menebarkan aura dingin yang membuat beberapa orang melirik, bahkan menyingkir memberi jalan.
Ia baru saja selesai berbincang singkat dengan salah satu rekan bisnis ketika tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang begitu familiar di ujung ruangan. Christian Harvin.
Ia berdiri dengan penuh wibawa, mengenakan setelan jas berwarna navy yang membalut tubuhnya. Pria itu tampak sedang berbaur dengan kelompok pengusaha lain. Senyumnya tampak ramah, percakapannya terlihat lancar, dan jelas. Sampai sorot mata setiap orang di sekitarnya tertuju pada pria itu. Namun saat tatapan Harvin menemukan sosok Mecca di seberang ruangan, ia sontak terdiam sesaat. Seakan ada magnet tak kasat mata yang menarik keduanya.
Mecca buru-buru menoleh ke arah lain, seolah tak menyadari tatapan itu. Ia meraih gelas wine dari pelayan yang lewat dan berusaha fokus mendengarkan percakapan di dekatnya. Namun langkah kaki yang mendekat membuatnya sadar, Harvin sudah memutuskan menghampirinya.
“Mecca.” Suara berat itu terdengar jelas di tengah riuh rendah acara.
Mecca memejamkan mata sepersekian detik sebelum akhirnya berbalik. Tatapannya datar, serta dingin ke arah pria itu. “Harvin.”
Senyum tipis muncul di wajah Harvin, meski matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda—lebih dalam, lebih berbahaya. “Tidak kusangka kita akan bertemu di acara ini.”
“Kau seorang CEO sekarang. Wajar jika kita bertemu di sini,” jawab Mecca singkat, lalu menyesap minumannya.
Harvin memperhatikan gerakannya, kemudian mencondongkan tubuh sedikit agar hanya mereka yang mendengar. “Jika aku tahu kau juga hadir ke acara ini, mungkin kita bisa datang bersama tadi.”
Mecca tersenyum tipis, kali ini dengan nada santai tapi juga menyelipkan ketegasan. “Kau seharusnya tidak mengatakan itu di sini, Harvin. Orang-orang sedang memperhatikan.”
Harvin melirik sekeliling, seolah tidak peduli dengan pandangan beberapa tamu yang secara halus memang mencuri-curi perhatian ke arah mereka. “Dan apa salahnya jika mereka melihatku mengobrol denganmu? Bukankah wajar, aku hanya berbincang dengan kakak iparku?”
Mecca menghela napas, lalu menegakkan tubuhnya, tatapannya menusuk. “Justru itu masalahnya. Kau tahu betul, gosip bisa meledak hanya karena hal kecil. Aku tidak ingin namaku—atau namamu—menjadi bahan obrolan meja makan para pesaing bisnis di sini.”
Mecca terlihat begitu tenang, namun jemarinya yang menggenggam gelas tampak sedikit kaku. Ia memang berusaha tetap santai, tetapi rasa risih semakin tumbuh karena tatapan-tatapan halus dari beberapa tamu masih saja tertuju pada mereka.
Harvin tidak bergeming, bahkan senyum tipisnya melebar. “Gosip hanya punya kekuatan kalau kita memberi arti pada mereka. Kalau kita tidak peduli, maka apa pun yang mereka pikirkan hanyalah sekadar imajinasi.”
Mecca mendengus pelan. “Aku serius, Harvin. Lebih baik kau berpura-pura tidak mengenalku di sini. Atau kalaupun ingin berbicara, tunggulah sampai acara selesai. Saat ini, menjauh dariku adalah pilihan terbaik.”
Alih-alih menurut, Harvin malah mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, membuat Mecca harus menegakkan dagunya agar tidak tampak mundur. “Aku heran, Mecca… mengapa kau begitu takut terlihat bersama denganku? Bukankah semua orang tahu kita keluarga? Tidak ada yang aneh, kecuali kalau kau—”
Suara dering ponsel Mecca membuat Harvin menghentikan ucapannya secara mendadak. Ia memperhatikan Mecca yang langsung sibuk mencari-cari ponselnya di dalam tas. Begitu mendapatkannya, wanita itu bahkan langsung pergi mencari tempat sepi untuk menerima panggilan telepon dari seseorang, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Harvin.
Jiwa penasaran Harvin mendadak menggebu. Entah mengapa, ia selalu ingin tahu perihal kakak iparnya tersebut. Dan semua ini bermula karena semenjak, ia melakukan pendekatan dengan Stella sebelum menikah, Mecca seolah menjaga jarak yang terlalu kentara dengannya.
+++
Mecca melangkah cepat keluar dari ballroom, melewati lorong panjang hotel yang diterangi lampu temaram. Hembusan napasnya terdengar lebih berat ketika ia akhirnya berhenti di dekat balkon kecil yang menghadap ke jalan kota yang mulai ramai dengan cahaya lampu.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia menempelkan ponselnya ke telinga. “Ya, Ayah.”
Suara berat Joseph segera terdengar, penuh tekanan. “Mecca! Apa yang kau lakukan sebenarnya? Aku baru saja membaca laporan sore ini, kerugian di kantor cabang mencapai angka yang tidak masuk akal! Bagaimana bisa itu terjadi, hah?!”
Mecca terdiam sejenak, matanya terpejam rapat. Dadanya terasa sesak, tapi suaranya tetap datar. “Aku… aku sudah membaca laporan itu, Ayah. Aku akan segera mencari tahu penyebabnya, dan aku berjanji akan memperbaikinya.”
“Janji?!” bentak Joseph di seberang sana. “Kau pikir perusahaan ini bisa berdiri hanya dengan janji kosongmu? Sudah berkali-kali kau berbuat kesalahan, Mecca! Kalau saja Stella punya otak bisnis sepertimu, mungkin aku tidak perlu menanggung malu seperti ini!”
Ucapan yang baru saja ia dengar begitu menusuk ke dalam hati. Mecca sampai menggenggam ponselnya lebih erat, mencoba menahan diri agar tidak terdengar rapuh. “Aku mengerti, Ayah. Aku minta maaf. Beri aku waktu, aku akan selesaikan masalah ini.”
Namun, tak ada jawaban lain. Hanya bunyi klik tanda panggilan terputus secara sepihak.
Mecca menurunkan ponselnya secara perlahan. Tatapannya tampak kosong, lalu ia menarik napas panjang, berusaha untuk menelan rasa perih yang menjalari dadanya saat ini. Tubuhnya tampak kuat, meski dalam hatinya benar-benar runtuh.
Ia tidak sadar ada seseorang yang mengikutinya sejak tadi.
Harvin berdiri beberapa meter dari belakangnya, bersandar pada pilar dengan tangan terlipat. Wajahnya tidak menampilkan senyum menggoda seperti biasanya, melainkan raut serius yang jarang sekali ditunjukkannya.
Ia mendengar cukup jelas bagaimana Joseph memarahi Mecca. Dan yang membuatnya terhantam adalah—wanita itu sama sekali tidak membela diri, tidak berteriak, bahkan tidak menunjukkan emosi. Ia hanya menerima, seakan sudah terbiasa disalahkan.
Untuk pertama kalinya, Harvin melihat sisi lain dari kakak iparnya tersebut. Ia menghela napas perlahan, lalu melangkah mendekat.
“Seandainya kau bukan Mecca Alexandra, orang lain mungkin sudah melempar ponselnya dari tadi.”
Mecca tersentak, buru-buru menoleh. “Harvin?” suaranya sedikit tercekat, jelas ia tidak menyangka pria itu mengikutinya.
Harvin menatapnya dalam, sorotnya berbeda—bukan main-main, melainkan prihatin. “Kau selalu terlihat begitu tenang di depan orang lain. Tapi aku tahu, yang barusan itu bukan ketenangan, tapi kepasrahan.”
Mecca terdiam. Untuk sesaat, ia tidak tahu harus berkata apa. Yang bisa ia lakukan hanya mengangkat dagunya sedikit, mencoba menutupi perasaan yang nyaris terbuka. “Kau tidak seharusnya mendengarkan percakapanku dengan ayah,” katanya pelan.
Harvin menautkan alisnya, lalu mencondongkan tubuh sedikit. “Aku tidak sengaja. Tapi aku senang aku mendengarnya. Karena setidaknya aku jadi tahu, kau tidak sekuat yang kau tunjukkan selama ini.”
Kedua mata Mecca bergetar halus. Ia menahan diri agar tidak terpancing emosi, lalu dengan suara yang kembali dingin ia berkata, “Kau salah. Aku kuat, Harvin. Dan aku tidak butuh kau, atau siapa pun, untuk mengasihani aku.”
Namun Harvin hanya tersenyum samar, meski matanya tetap serius. “Kalau begitu, izinkan aku sekadar jadi saksi, bahwa di balik semua itu, ada Mecca yang diam-diam terus menanggung beban sendirian.”
Kalimat itu membuat Mecca tercekat. Untuk pertama kalinya, ia tidak bisa segera membalas.
“Jika kau mau, aku bersedia menjadi temanmu. Tapi, apa kau mengizinkan aku untuk menjadi temanmu, Mecca?”