Bab 4

1341 Words
Mecca tidak memberi jawaban. Tatapannya tetap menusuk lurus ke depan, seakan angin malam di balkon hotel itu lebih layak diperhatikan daripada pria yang berdiri hanya sejengkal darinya. Ia tidak ingin terjebak dalam permainan simpati Harvin—ia tahu pria itu cerdas, tahu bagaimana menggunakan kata-kata dengan tepat untuk membuat seseorang lengah. Tanpa sepatah kata pun, Mecca melangkah pergi. Tumit stiletto-nya beradu dengan lantai marmer, ritmenya cepat, penuh tekad untuk menjauh. “Mecca…” suara Harvin terdengar lagi, berat, memanggilnya dari belakang. Namun ia tidak menoleh. Wanita itu terus berjalan melewati lorong, kembali melewati ballroom yang riuh. Ia tidak singgah, tidak menyapa siapa pun. Justru langkahnya semakin dipercepat hingga mencapai pintu keluar hotel. Begitu ia mendorong pintu kaca, hawa dingin malam langsung menyambut. Deretan lampu taman memandunya menuju area parkir basement. Suasana di sana jauh lebih sepi, hanya terdengar dengung mesin mobil yang sesekali dinyalakan dan suara tumitnya sendiri yang bergema di ruangan luas itu. “Mecca!” Suara itu lagi. Kali ini lebih dekat. Ia tahu Harvin mengikutinya. Sialnya, meski ia berusaha menepis, ada bagian kecil dari dirinya yang bisa merasakan kehadiran pria itu begitu intens di belakangnya. Namun Mecca tetap acuh. Ia menekan tombol kunci mobil di remote, lampu kendaraan hitam miliknya langsung menyala. Ia menarik napas, mencoba tetap tegak. Harvin mempercepat langkah, dan pria itu kembali bersuara. “Mecca, kau mau pergi kemana? Acaranya bahkan baru saja dimulai.” Belum sempat membuka pintu mobilnya, Mecca lantas berhenti dan menoleh ke belakang. Tatapannya tampak datar ke arah Harvin, seolah malas untuk menanggapi pria itu. Tapi jika tidak ia jawab, maka Mecca yakin jika pria itu akan terus bertanya sampai mendapatkan jawaban darinya. “Ke kantor. Bukankah kau sudah dengar semua apa yang aku bicarakan dengan ayah tadi?” “Untuk apa?” Mecca mendecih pelan. “Tidak perlu berlagak bodoh seperti itu, Harvin. Tentu saja untuk menyelesaikan masalah yang ada,” “Masih ada hari esok, Mecca. Kau bisa menyelesaikannya besok pagi. Kenapa harus terburu-buru begini?” sahut Harvin. Sejujurnya ia tak mengerti, mengapa Mecca begitu menggebu untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di perusahaan cabang. Padahal, saat ini pun puan itu tengah menghadiri sebuah acara. “Lalu kenapa harus menunggu besok jika aku saja bisa menyelesaikannya sekarang juga?” balas Mecca yang membuat Harvin bungkam seketika. Harvin menghela napas panjang, seakan menyerah pada keras kepala wanita itu. Ia baru hendak berkata sesuatu lagi, tapi pandangannya terhenti pada sesuatu di bawah. Dahinya berkerut, lalu ia menunduk sedikit. “Mecca,” Suaranya berubah, kali ini lebih tegas. “Tunggu sebentar.” Mecca sudah menempelkan jari pada sensor pintu mobil ketika mendengar nada berbeda itu. Ia menoleh dengan tatapan jengkel. “Apa lagi?” “Ban mobilmu,” Harvin mengangkat tangannya, menunjuk ke arah roda bagian belakang. “Lihat itu!” Alis Mecca bertaut. Ia menurunkan pandangan, lalu mendapati ban belakang mobilnya benar-benar kempes. Wajahnya langsung berubah. “Astaga…” gumamnya, hampir tak percaya. “Sepertinya kau tak akan bisa pergi dengan mobil ini malam ini,” ucap Harvin. Mecca buru-buru berjalan ke arah belakang, memeriksanya sendiri. Dan benar-benar sudah jelas tidak bisa digunakan untuk berkendara. “Sial!” umpatnya lirih, lalu menggigit bibir bawahnya. Harvin bersedekap, memperhatikannya dengan ekspresi datar tapi sorot matanya penuh dengan kalkulasi. “Apa ada ban serep di bagasi?” tanya pria itu. Mecca terdiam sebentar, sebelum menjawab dengan nada yang agak enggan, “Tidak ada.” “Tidak ada?” sahut Harvin. “Kau datang ke acara sebesar ini, seorang diri, dan bahkan tidak memastikan ada ban cadangan?” Tatapan Mecca langsung naik, menusuk tajam. “Aku tidak ingin mendengar ocehanmu, Harvin.” “Astaga, aku hanya bertanya, kakak ipar. Salahnya di bagian mana?” balas Harvin. Mecca menghela napas, jelas frustrasi. “Aku akan memanggil sopir kantor untuk menjemputku kemari.” “Jam segini?” Harvin menoleh sebentar, seakan menimbang keadaan parkiran yang sepi. “Bukankah jam kerjanya sudah selesai sejak sore tadi?" “Ah, benar juga. Aku lupa.” jawabnya. Kemudian, puan itu dengan cepat meraih ponselnya dan mencoba untuk memesan taxi online. Namun, tiba-tiba saja Harvin menyentuh tangannya, yang mana membuat Mecca langsung mendongak menatap pria itu. “Ayo, aku antar saja.” “Tidak perlu. Aku bisa pesan—” “Apa kau lebih suka dipaksa ya, kakak ipar?” sela pria itu. Mecca membeku sejenak ketika mendengar ucapan itu. Sorot matanya naik, menantang Harvin dengan tatapan yang setajam silet. Namun pria itu tidak bergeming. Wajahnya tenang, meski ada sedikit kilau nakal di matanya yang seolah sengaja menguji kesabarannya. “Harvin…” suara Mecca terdengar rendah, nyaris seperti bisikan tertekan. “Kau tidak berada di posisi untuk—” “Aku hanya menawarkan solusi,” potong Harvin cepat, jemarinya masih menyentuh pergelangan tangan Mecca meski samar-samar terasa getar penolakan darinya. “Kau tidak punya pilihan lain, kan? Mobilmu jelas tidak bisa dipakai, sopirmu tidak mungkin datang, dan taxi online… entah berapa lama akan tiba di sini. Sementara aku ada di depanmu sekarang.” Mecca menarik napas panjang, mencoba menahan desakan amarah sekaligus rasa tak nyaman yang justru makin menusuk. Benar. Ia tidak punya banyak pilihan. Dan itu membuatnya muak. Dengan kasar ia menarik tangannya dari genggaman Harvin. “Baik. Kau boleh antar aku ke kantor. Tapi tolong, jangan mengajakku bicara nanti.” Sekilas senyum tipis muncul di bibir Harvin, sebuah ekspresi puas karena akhirnya berhasil membuat wanita itu luluh. “Aku tidak bisa janji untuk yang satu itu,” jawabnya tenang. +++ Di dalam mobil, suasana sempat hening. Hanya suara mesin yang mengisi kabin. Mecca bersandar, menatap keluar jendela dengan wajah dingin, menolak menoleh ke arah Harvin yang duduk di kursi pengemudi. Namun, Harvin justru terlihat terlalu santai. Tangan kirinya menggenggam setir, sementara tangan kanannya bersandar di tuas transmisi. Tatapannya sesekali melirik Mecca, memperhatikan garis wajahnya yang tetap tegang, rahang yang mengeras, dan bibir yang dipaksa diam. “Jika boleh jujur, aku benar-benar heran dengan kalian berdua." ujar Harvin tiba-tiba. Mecca sontak menoleh dengan tatapan bingung, sebab tiba-tiba saja Harvin langsung bicara demikian. Harvin yang sadar jika Mecca terlihat bingung, buru-buru melanjutkan. “Kau dan Stella, kakak adik yang benar-benar sangat berbeda.” “Oh,” sahut Mecca, singkat. Harvin menaikkan sebelah alisnya. Tidak menyangka dengan respon yang diberikan oleh kakak iparnya tersebut. Sebenarnya, dari awal pun ia tahu jika Mecca memang tidak terlalu banyak bicara, tapi ia tidak menyangka saja jika respon yang diberikan oleh Mecca terlalu singkat seperti barusan. “Stella pasti akan langsung meresponku dengan sangat cerewet. Tapi kau? Meresponku hanya dengan satu kata saja? Wah, aku sampai tidak bisa berkata-kata.” Mecca memilih untuk tidak membalasnya, karena menurutnya tidak penting juga untuk ditanggapi. Karena itulah, Harvin agak tersulut rasa kesalnya karena Mecca tak meresponnya lagi. “Ternyata benar ya apa kata Stella, jika kau ini sangat menyebalkan. Tapi aku akui kakak ipar, jika kau ini benar-benar wanita yang hebat. Kau memimpin perusahaan, mengerjakan apapun bahkan sampai mengurus acara pernikahan kami di tengah kesibukanmu. Kau bahkan langsung bekerja tanpa memberikan sedikit waktu untuk dirimu sendiri beristirahat. Kau, tidak lelah?” “Lalu kau sendiri? Kenapa tiba-tiba memutuskan datang ke acara tadi? Padahal kau sendiri, baru saja menikah.” balas Mecca tanpa basa-basi. Harvin tersenyum, lalu terkekeh kecil. Ia tidak menduga jika puan itu bisa membalikkan pertanyaan padanya, alih-alih menjawabnya. “Memangnya, kau benar-benar ingin tahu alasanku, kakak ipar?” “Mecca. Telingaku agak sakit mendengarmu terus-terusan memanggilku kakak ipar.” sahut Mecca, memperingati. “Oke, kalau begitu aku ulangi.” balas Harvin. “Memangnya, kau benar-benar ingin tahu alasanku, Mecca? Begitu kan?” Mecca menghela napas panjang. Menahan diri untuk tidak terpancing emosinya. “Aku tidak ingin tahu—” “Karena bosan,” sela Harvin. Lalu menoleh sekilas untuk melihat bagaimana reaksi wajah puan itu. “Entah kenapa, aku justru bosan bersantai saja di rumah. Dan seperti yang kau katakan, aku bahkan baru menikah kemarin, tapi sudah kelayapan begini. Ya jawabannya karena bosan. Lagi pula, Stella juga sedang sibuk pergi berbelanja dengan ibu. Tadinya aku pikir, kau pergi bersama dengan mereka.” Mecca tersenyum samar dan menyahut. “Sejak kapan aku punya kesempatan untuk pergi bersama dengan mereka?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD