“Sejak kapan aku punya kesempatan untuk pergi bersama dengan mereka?”
Harvin mengerling, ekspresi wajahnya berubah sedikit lebih serius setelah mendengar jawaban itu. “Kau terdengar… getir sekali, Mecca.”
“Aku hanya berkata jujur,” sahut Mecca ringan, meski nada suaranya terdengar dingin. Ia mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, tak ingin terlihat terlalu lama menatap Harvin.
“Sejujurnya,” lanjut Harvin, kali ini dengan nada pelan tapi jelas, “aku cukup penasaran. Kau ini sebenarnya seperti apa hubunganmu dengan Stella? Kakak adik biasanya setidaknya punya waktu bersama, kan?”
Mecca menoleh, tatapannya tajam. “Kenapa kau begitu peduli?”
Harvin mengangkat bahu, tetap menatap ke depan. “Karena aku menikahinya. Bukankah itu hal yang wajar, kalau aku ingin tahu lebih banyak tentang keluarga istriku?”
“Aku rasa, ada hal-hal yang tidak perlu kau tahu, Harvin,” jawab Mecca singkat.
Hening sejenak, hanya suara AC mobil yang mengisi udara. Harvin tidak menanggapi dengan cepat, ia justru tampak sedang menimbang sesuatu di dalam pikirannya. Hingga akhirnya, ia kembali bersuara.
“Kalau begitu… aku hanya bisa menebak-nebak. Dan tebakanku, kau dan Stella tidak pernah benar-benar dekat.”
Mecca tidak mengiyakan, tidak juga membantah. Tapi diamnya sudah cukup bagi Harvin untuk menganggap ia benar.
Pria itu tersenyum tipis. “Menarik. Karena dari luar, kau terlihat seperti sosok yang sempurna. Kaku, tapi tangguh. Sementara Stella—” ia berhenti sejenak, lalu melirik singkat ke arah Mecca, “—hanya hidup dengan caranya sendiri, tanpa peduli apa pun. Dua dunia yang berbeda, tapi terikat dalam satu garis darah.”
Mecca mengepalkan tangannya di pangkuan, mencoba menahan sesuatu yang hampir lolos dari bibirnya. “Kau sudah berbicara terlalu banyak, Harvin.”
“Kalau aku diam, kau pasti bosan,” balas Harvin cepat. Senyumnya tipis, namun sorot matanya tajam, seolah sengaja memancing reaksi.
Mecca menghela napas, panjang, lalu menggeleng. “Apa sebenarnya tujuanmu, hah? Kau pikir aku tidak tahu cara bicaramu selalu dibuat untuk menggali, menusuk, sampai orang lain kehilangan kendali? Kau pikir aku tidak sadar kau sedang berusaha mengorek sesuatu dariku?”
Harvin terkekeh pelan, suara rendah yang terdengar lebih seperti provokasi. “Kau memang pintar, Mecca. Dan justru itu yang membuatku… semakin ingin tahu.”
Mecca menoleh cepat, menatap tajam. “Ingin tahu apa? Bagaimana aku menjalani hidupku? Bagaimana aku memimpin perusahaan, atau bagaimana aku tidak pernah punya waktu untuk diriku sendiri? Atau… apa kau ingin tahu, bagaimana rasanya selalu menjadi orang luar di keluargaku sendiri?”
Kalimat terakhir itu lolos begitu saja, lebih cepat dari yang seharusnya. Mecca baru menyadari setelah kata-kata itu terucap, dan ia langsung menunduk, berusaha menutupinya.
Harvin, di sisi lain, justru menatapnya lebih dalam. Suaranya turun, menjadi lebih lembut tapi penuh tekanan. “Jadi, itu yang kau rasakan? Menjadi orang luar?”
Mecca terdiam, wajahnya tetap menghadap jendela.
“Aku tidak perlu membahas ini denganmu,” ujar puan itu pada akhirnya, dingin.
Namun Harvin tidak berhenti. Ia justru menambahkan dengan nada rendah, hampir seperti bisikan, “Aneh sekali… aku pun merasa sama.”
Ucapan itu membuat Mecca sontak menoleh, matanya menyipit. “Apa maksudmu?”
Harvin hanya tersenyum samar, tapi tidak menjawab langsung. Tangannya mengetuk setir, lalu ia mengarahkan mobil melewati tikungan menuju jalan utama.
“Sudah kukatakan, aku menikahi Stella bukan berarti aku merasa sepenuhnya… bagian dari keluargamu,” ucapnya pelan, seakan memberi sinyal bahwa ia menyimpan sesuatu lebih dalam. “Tapi bedanya, aku tidak menolak rasa itu. Aku menikmatinya.”
Mecca menggertakkan giginya, lalu kembali menatap ke luar jendela, mencoba mengabaikan kata-kata itu. Namun jauh di dalam dirinya, ia sadar Harvin baru saja membuka sebuah pintu yang seharusnya tidak pernah disentuh—sebuah kesamaan yang tidak ingin ia akui.
Mobil itu melaju terus dalam keheningan yang sarat ketegangan, sementara pikiran Mecca dan Harvin sama-sama berputar pada hal-hal yang belum sempat terucap.
Suasana di dalam mobil terasa kian berat. Jalanan kota yang diterangi lampu-lampu malam seperti lewat begitu saja tanpa makna, karena Mecca sama sekali tidak memperhatikan. Ia sibuk mengendalikan dirinya, menjaga agar tidak meladeni Harvin lebih jauh.
Namun pria di sampingnya seolah punya niat berbeda. Ia kembali bersuara, kali ini lebih lembut, tapi tetap dengan ketajaman khasnya.
“Lucu, bukan? Dua orang yang seharusnya sama sekali tidak punya persamaan… ternyata merasakan hal yang serupa.”
Mecca meliriknya cepat, sorotnya dingin. “Jangan samakan aku denganmu, Harvin.”
“Kenapa tidak?” sahut Harvin ringan. “Kau merasa sendirian di keluargamu. Aku pun begitu. Bedanya, aku tidak repot-repot menyangkalnya.”
Mecca mendecih, bibirnya terangkat sinis. “Perasaanmu itu hanya konsekuensi dari pilihanmu sendiri. Kau yang memilih menikah dengan Stella, kau yang memilih masuk ke lingkaran ini. Jadi, berhentilah berpura-pura seolah kau adalah korban keadaan. Padahal sudah kelihatan jelas, semua orang di keluarga itu menyukaimu.”
Harvin terkekeh, lirih namun jelas terdengar menusuk. “Dan kau? Bukankah kau juga memilih, Mecca? Kau bisa saja menyerahkan semua urusan perusahaan pada orang lain. Kau bisa saja hidup santai, ikut berbelanja dengan ibumu atau Stella, pura-pura jadi wanita sosialita. Tapi kau tidak memilih itu. Kau memilih untuk menanggung semuanya sendiri, sampai akhirnya… merasa terkucilkan. Ngomong-ngomong, semua orang di keluarga mana yang menyukaiku? Bukankah kau tidak menyukaiku?”
Mecca menoleh, kali ini benar-benar menusuk dengan tatapannya. “Kau tidak tahu apa pun tentang pilihanku. Dan ya benar, aku tidak pernah menyukaimu.”
“Lalu biarkan aku tahu,” ucap Harvin cepat, nyaris seperti tantangan. “Agar aku mengerti kenapa kau rela mengorbankan begitu banyak hal hanya untuk mempertahankan sesuatu yang bahkan keluargamu sendiri tidak menghargai itu. Dan jika kau tidak menyukaiku, aku pastikan kedepannya kau pasti akan menyukaiku, Mecca.”
Keheningan kembali jatuh. Mecca membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ia tahu, jika ia menanggapi, maka Harvin akan semakin masuk. Dan itu tidak boleh terjadi.
“Fokuslah menyetir, Harvin,” akhirnya ia berkata datar. “Kita tidak sedang di ruang interogasi.”
Harvin hanya tersenyum tipis, tapi matanya tetap lurus menatap jalan. “Baiklah, Mecca. Kita bisa bicarakan hal ini lagi lain kali.”
Alis Mecca berkerut, tapi ia tidak memberi respons. Sebab sekali saja memberikan respon, pasti Harvin tidak akan berhenti lagi.
Mobil terus melaju, hingga akhirnya lampu-lampu gedung kantor mulai terlihat di kejauhan. Mecca menarik napas panjang, mencoba menyiapkan dirinya untuk segera turun begitu kendaraan berhenti. Namun Harvin masih sempat melirik sekilas padanya.