Mobil yang dikendarai oleh Harvin akhirnya berhenti juga di basement gedung perusahaan keluarga Alexandra. Mecca dengan segera meraih tasnya, namun sebelum ia sempat membuka pintu, suara Harvin terdengar lebih dulu.
“Aku akan ikut naik.”
Mecca menoleh dengan cepat ke arah pria itu. Dan wajahnya jelas sekali penuh dengan ketidaksetujuan. “Tidak perlu. Kau juga tidak harus menungguku. Lebih baik pulang saja.”
Harvin membuka sabuk pengamannya dengan tenang. “Aku bukan mau menunggu. Tapi aku mau menemanimu, kakak ipar. Ruanganmu berada di lantai atas, dan otomatis hanya kau seorang diri yang akan ada di sana. Sedangkan security tidak ada di atas. Jadi aku tidak akan membiarkanmu sendirian di sana.”
Mecca mendengus, melangkah keluar dari mobil tanpa menjawab. Tapi Harvin tetap mengikutinya, langkahnya mantap, seakan keputusan itu sudah final.
Sesampainya di ruangan kerja Mecca, suasana begitu sepi. Lampu neon putih menerangi meja besar yang dipenuhi dokumen dan laptop. Dari luar jendela kaca, hanya tampak cahaya kota yang berkelip.
Mecca meletakkan tasnya di sofa, lalu menyalakan lampu meja. “Kau bisa duduk di sana, tapi jangan ganggu aku.”
“Baik, bos besar,” sahut Harvin dengan nada menggoda, menarik kursi lalu duduk dengan santai, menyilangkan kaki. Matanya tak lepas dari sosok Mecca yang sibuk menyalakan laptop dan membuka map dokumen.
Harvin sudah sering memperhatikan Mecca secara diam-diam. Tapi tidak menyangka jika puan itu mampu menarik rasa penasarannya. Bahkan kedewasaan dan keteguhannya membuat hati Harvin bergetar tak biasa.
Harvin tahu ini tidak benar. Tapi entah seperti adanya dorongan untuknya tetap berlaku seperti ini. Dan jujur saja, ia tidak berniat untuk menyakiti hati siapapun, terutama Stella, yang saat ini berstatus sebagai istrinya.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hanya terdengar suara ketikan Mecca di keyboard. Namun Harvin tidak benar-benar diam. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, menatap Mecca dengan intensitas yang membuat wanita itu akhirnya mendongak.
“Ada apa lagi?” tanya Mecca ketus.
“Aku hanya heran,” jawab Harvin ringan. “Bagaimana mungkin seorang wanita bisa terlihat begitu kuat… tapi sekaligus tampak sangat kesepian.”
Mecca menghela napas, berusaha kembali fokus ke layar. “Aku sudah bilang, jangan mulai lagi, Harvin.”
Tapi pria itu berdiri. Langkahnya pelan, mendekat ke arah meja. Mecca tetap menunduk, pura-pura sibuk, sampai akhirnya Harvin berdiri tepat di sampingnya.
“Mecca,” suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.
Mecca menoleh, niatnya untuk menegur langsung terhenti saat tatapan mereka bertemu. Jaraknya terlalu dekat. Napas Harvin terasa di wajahnya.
“Apa lagi?” suara Mecca terdengar bergetar, meski ia berusaha keras menyamarkannya.
Harvin menatapnya lama, seakan membaca isi pikirannya. “Aku tidak tahu, apakah isi pikiran kita saat ini sama atau tidak."
Sebelum Mecca sempat menghardik, Harvin menunduk dan mencium bibirnya—cepat, mendesak, dan penuh keberanian.
Mata Mecca sontak membelalak, tangannya refleks menekan d**a Harvin untuk menjauh. Namun sentuhan bibir itu meninggalkan sengatan aneh di tubuhnya, dan membuatnya membeku sejenak. Syok, tidak menyangka dengan apa yang barusan terjadi.
Harvin sendiri langsung sedikit menarik dirinya ke belakang, tapi bibirnya masih dekat dengan bibir puan itu. Sementara itu, Mecca menelan ludah, wajahnya merah padam antara marah dan terkejut.
“Kau sudah gila, Harvin!” Puan itu bangkit berdiri, kursinya bergeser dengan keras. “Jangan pernah lakukan itu lagi.”
Tapi Harvin hanya menatapnya saja. Sedangkan kedua matanya tak goyah sedikit pun. “Maaf, Mecca. Tapi aku—”
“Berhentilah bicara,” sela Mecca secepat mungkin. “Lebih baik kau pergi saja. Tinggalkan aku,” ujarnya final. Bahkan Mecca tak mau menatap ke arah pria itu.
Sebelum Harvin keluar dari sana, pria itu sempat kembali mengatakan permintaan maaf. “Maaf, Mecca.”
+++
Mecca berdiri kaku di ruangannya cukup lama setelah Harvin keluar. Dadanya masih naik-turun, napasnya pun tidak beraturan. Ia menempelkan jemari ke bibirnya sendiri, seolah ingin menghapus jejak keberanian Harvin yang barusan mencuri ciuman darinya.
“Dia benar-benar sudah gila,” gumamnya dengan suara bergetar. Ia berusaha keras mengembalikan fokus pada urusannya, dan kembali menunduk pada layar laptop yang ada di hadapannya. Namun, pikirannya justru kacau. Beberapa kali ia salah mengetik, bahkan matanya terasa panas, seolah sebentar lagi ia bisa menangis.
Waktu berjalan dengan begitu cepat. Pekerjaannya selesai lebih cepat dari perkiraan karena ia tidak tahan berlama-lama di ruangan itu. Dengan gerakan cepat, Mecca mematikan laptopnya, merapikan map dokumen, lalu mengambil tasnya. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu, memastikan dirinya bisa pulang tanpa harus bertemu Harvin lagi.
Namun begitu pintu lift terbuka dan ia melangkah keluar menuju lobby utama, langkahnya terhenti mendadak.
Di sana, di kursi tunggu dekat pintu kaca besar, ada pria itu—Harvin. Masih dengan jas yang rapi, kaki disilangkan, dan ekspresi tenang seolah tidak ada yang pernah terjadi di antara mereka tadi.
Mecca sontak membeku di tempat. Matanya melebar, tak percaya. “Kau masih di sini?”
Harvin berdiri pelan, wajahnya tetap datar, dan sedikit senyum tipis yang penuh percaya diri muncul di bibirnya. “Tentu saja. Aku menunggumu, kakak ipar.”
“Harvin…” nada suara Mecca tajam, meski ada sedikit getaran di dalamnya. “Bukankah tadi aku sudah memintamu untuk pergi? Kenapa harus menungguku?”
Harvin memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tatapannya lurus ke arah Mecca. “Apa salahnya jika aku menunggu kakak iparku sendiri? Toh tujuan kita sama kan? Sama-sama pulang ke rumah besar keluarga Alexandra, karena aku sudah menjadi bagian dari keluarga kalian.”
Mecca menggertakkan giginya karena kesal, lalu dengan cepat ia melangkah melewati pria itu menuju pintu keluar. Namun Harvin tetap mengiringinya, berjalan di sampingnya seakan itu adalah hal yang wajar.
Di luar gedung, angin malam bertiup cukup dingin. Jalanan depan perusahaan sudah sepi, hanya ada lampu jalan dan suara kendaraan yang sesekali lewat. Harvin membuka pintu mobilnya dan menoleh ke arah Mecca.
“Ayo masuk,” katanya singkat.
Mecca menoleh dengan sorot marah, namun suaranya justru terdengar lelah. “Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri.”
Harvin mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya menusuk. “Jangan keras kepala. Aku sudah menunggumu lama, kakak ipar.”
Sejenak Mecca hanya diam. Tubuhnya terasa kaku, hatinya berperang dengan pikirannya sendiri. Lalu ia menarik napas panjang, menatap pria itu dengan mata yang masih dipenuhi oleh emosi.
“Harvin, kau bersikap seolah tidak merasa bersalah dengan apa yang terjadi di atas tadi. Sekarang kau bertingkah seakan semuanya normal, seakan tidak ada yang salah. Apa itu memang sifat aslimu?”
Harvin terdiam sebentar. Wajahnya tetap tenang, tapi mata gelapnya berkedip pelan, mengisyaratkan ada sesuatu yang ia tahan. Lalu ia menjawab lirih, “Mungkin aku salah, Mecca. Tapi aku tidak menyesal sudah melakukannya.”
Kalimat itu membuat Mecca membeku di tempatnya, kembali terdiam. Bibirnya ingin membalas, tapi tidak ada kata yang keluar.
Harvin lalu membuka pintu mobil lebih lebar. “Masuklah. Setelah ini, aku tidak akan bicara apa-apa lagi. Kau bisa diam, aku juga bisa diam. Tapi kau harus pulang bersamaku. Aku tidak bisa membiarkan seorang wanita pulang sendirian malam-malam begini.”
Mecca menutup matanya sejenak, lalu akhirnya melangkah masuk ke dalam mobil, meski hatinya masih penuh dengan gejolak.
Dan sepanjang perjalanan, benar seperti yang Harvin katakan—pria itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Hanya diam, dan mengemudi dengan tenang, seolah benar-benar tidak terjadi apa pun di antara mereka.
Tapi justru sikap itulah yang membuat hati Mecca semakin tidak tenang. Mecca sendiri pun tidak tahu dengan dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya ia inginkan?