Suara riuh anak-anak yang sangat mendominasi rumah ditambah bunyi telapak kaki yang menyentuh lantai dengan cepatnya, sudah menjadi kebiasaan yang Dinar dengar dikala pagi. Tanpa berniat untuk bergulung diri kembali ke dalam selimut lembut yang selalu menemaninya saat terlelap, Dinar bangkit, mengambil ikatan rambut yang ia taruh di meja belajar lalu mengikatkan rambutnya secara asal.
Tangannya meraih handle pintu yang bersiap untuk ia buka. Sambutan hangat dari adik-adiknya membuat suasana hatinya semakin terasa bahagia. Audrey, gadis kecil itu tampak berlari kecil menuju Dinar. “Selamat pagi, Ka Dinar.” sapanya sambil memeluk kedua kaki Dinar dengan erat.
Tangan Dinar bergerak mengelus puncak kepala Audrey. “Pagi juga, Audrey.” Pelukan Audrey tak sekuat tadi, ia mendongakkan kepalanya menatap Dinar dengan riang. “Audrey mau nonton dulu ya, Ka.” ucapnya yang dibalas anggukan oleh Dinar.
Kaki Dinar melangkah panjang menuju dapur, melihat bahan makanan yang tersedia untuk ia masak pagi ini. Menu nasi goreng Dinar pilih, mengingat di sangku nasinya masih terdapat banyak sisa nasi. Ya ..., daripada dibuang begitu saja, lebih baik ia masak menjadi sesuatu yang bisa dimakan bersama.
Suara spatula yang beradu dengan wajan terdengar begitu nyaring, aroma harum yang timbul dari bawang merah, telor dan nasi yang digoreng oleh Dinar cukup bisa membuat perutnya berbunyi. Sepertinya, cacing-cacing di dalam sana sudah menggelar konser yang cukup besar.
Dinar menaruh nasi itu ke dalam sangku tadi, mengambil piring dan sendok sesuai dengan jumlah anggota keluarganya lalu menumpukkan piring tersebut untuk Dinar bagikan pada adik-adiknya yang sedang berkumpul di ruang keluarga. “Anak-anak, ayok, makan dulu.” ujar Dinar yang membuat adik-adiknya menoleh ke arahnya dan Mawar pun berinisiatif untuk membantu Dinar membawa sangku nasi tersebut. “Makasih ya, War.”
“Iya, Ka Dinar, sama-sama.”
Anak-anak sudah mengambil posisi duduk melingkar, menunggu dengan mulut yang berusaha menahan saliva mereka saat mencium aroma harum masakan yang menyeruak ke dalam indra penciuman. Dinar yang dibantu oleh Mawar sedang membagikan piring dan juga nasi goreng kepada setiap anak-anak. Sementara itu, di lain tempat Bu Lasmi sedang menyiapkan gelas dan teko plastik berisi air putih yang ia susun ke panampan.
“Nih, minumnya, baca doa dulu ya,” ucap Bu Lasmi menginstruksi. Ia mengangkat kedua tangannya, memimpin doa sebelum sarapan.
***
Handle pintu yang Dinar pegang sudah ia turunkan, sambil menenteng plastik kecil berwarna putih, Dinar melangkahkan kakinya keluar rumah. Baru satu kali Dinar melangkah, hembusan angin pagi ini menerpa lembut wajah mulus Dinar dan juga sedikit mengacak rambut Dinar yang dibiarkan tergerai.
“Nar, buruan!” pekik Arya dari luar gerbang. Tak seperti hari biasa, kini Arya menunggu Dinar di luar pintu gerbang panti, bukan lagi mengklakson serta memanggil nama Dinar di pinggir jalan seperti sebelumnya.
Dinar dengan tergesa berlari menuju gerbang, membuka kunci gerbang dan ke luar. “Tumben banget, biasanya juga teriak-teriak di jalan manggil nama aku,” cibir Dinar dengan raut wajah masam.
Arya meletakkan kedua tangannya di atas helmnya, menatap gemas perempuan yang berada di hadapannya ini sambil menyunggingkan senyuman. Namun, tatapan Arya ini membuat Dinar risi hingga ia memilih untuk mencubit keras pinggang Arya, sehingga membuat Arya mengaduh kesakitan sambil memegang pinggangnya yang selalu menjadi target cubitan Dinar. “Nar ..., sakit, tau,” eluh Arya dengan wajah memelas.
“Bodo amat, udah, buruan jalan!” ujar Dinar memerintah ketika dirinya sudah menaiki jok motor Arya.
Bukannya melajukan motornya, Arya malah membalikkan tubuhnya ke belakang lalu memasangkan helm bogo ke kepala Dinar. “Kata kamu, keselamatan itu nomor satu,” sindir Arya. Jarak wajah mereka yang berdekatan membuat Arya kembali menatap lekat manik mata hitam milik Dinar yang selalu membuat dirinya merasa nyaman bila terus memandangnya. Tak lama mereka saling beradu pandang, karena Dinar dengan sengajanya menyentil kening Arya cukup keras. “Cepetan jalan, ini bukan lagi casting syuting film romansa cinta remaja, tau.”
Lagi-lagi Arya mengaduh kesatikan, pagi ini sudah dua kali Dinar berlaku kasar padanya. Padahal kan tadi itu waktu yang tepat sekali untuk bersikap romantis seperti film-film di televisi, tapi Dinar malah mengahancurkan adegan itu. “Argh ..., untung sayang,” gumam Arya pelan hampir tidak terdengar oleh Dinar, seraya membalikkan tubuhnya dan menstater motornya.
Tanpa Arya sadari, Dinar sudah tersenyum penuh kemenangan karena telah membuat Arya tampak merasa begitu kesal. Engga apa-apalah, sekali-kali. Dinar menurunkan kaca helmnya, lalu berpegangan pada tas Arya.
***
“Nar, hari ini aku engga bisa antarin kamu pulang.” Arya melepaskan helm dan menaruhnya saat mereka sudah sampai di parkiran kampus.
Dinar hanya diam sambil menggigit bibir bawahnya. “Yeuh, malah diam,” ujar Arya seraya menyapukan telapak tangannya ke wajah Dinar. “Ish, Arya, tangan kamu bau,” ledek Dinar.
Arya turun dari motornya, baju kemeja yang terlihat agak kusut ia tepuk-tepukkan hanya berharap kemejanya itu dapat rapi kembali. “Mana ada tangan aku bau?” elak Arya tak mau kalah. “Eh, itu apa?” tanyanya saat tak sengaja melihat plastik putih yang Dinar tenteng.
“Oh iya, ini buat kamu.” Dinar menyodorkan plastik putih itu. “Dari Ibu,” lanjutnya.
Arya menerima plastik itu dengan mata berbinar, dibukanya plastik itu sehingga ia bisa melihat isi dalamnya. “Makasih banyak.” ucap Arya tulus.
“Ya, udah, aku mau ke kelas duluan. Kamu hati – hati, ya.” Arya mengacak singkat puncak kepala Dinar lalu pergi lebih dulu meninggalkannya. Saat punggung Arya sudah tenggelam tak terlihat, Dinar memegang puncak kepalanya, sudut bibirnya terangkat walaupun tipis. Ia merasa ada sensasi hangat yang menjalar di dalam tubuhnya setiap Arya melakukan hal seperti tadi.
Dengan cepat Dinar menggelengkan kepalanya, menepis segala pemikiran yang tidak seharusnya Dinar pikirkan. “Engga mungkin, jangan sampai terjadi,” gumamnya lalu melanjutkan kembali langkahnya untuk menuju kelas.
“Anak haram udah masuk kelas, tuh, guys,” sindir Agnes bersama dengan teman-teman seperumpiannya saat Dinar sudah masuk ke dalam kelas. Beberapa orang dalam kelas itu ada yang melihat Dinar dengan tatapan remeh, dan ada pula yang tak begitu menghiraukan ucapan Agnes.
Dinar menghela napas beratnya sambil menguatkan kedua tangannya yang memegang pada handle tasnya. Berbagai macam hinaan, seperti sudah menjadi santapan sehari-hari untuk Dinar dengarkan.
“Jangan terlalu dipikirin ya, Nar,” ujar seorang perempuan berkacamata bulat dengan model rambut kepang satu yang sudah membalikkan tubuhnya melihat Dinar dengan senyuman tulus yang ia sunggingkan.
“Engga ko, telinga aku udah kebal banget,” balas Dinar santai yang membuat Kaila terkikik geli mendengarnya. “Ah, kamu, Nar.”
“Aku kenapa?” tanya Dinar polos. Kaila mencondongkan tubuhnya, maksud hati ingin membisikkan sesuatu di telinga Dinar, dosen sudah masuk ke dalam kelas yang tentu saja membuat Kaila dengan cepat mengubah posisi duduknya.
Beberapa jam dilalui Dinar dengan penuh semangat, dosen sudah keluar lagi dengan membawa buku yang ia gunakan sebagai bahan referensinya tadi. “Nar, kamu mau ke kantin, kan?” tanya Kaila pada Dinar yang sedang sibuk membereskan mejanya.
“Iya, beli siomay.” Jawaban Dinar membuat Kaila memajukan bibirnya. “Dih ..., simoay terus, ga bosen apa? Ganti kek.”
“Ga mau, siomay yang dijual Pak Abdul itu enak banget,” ucap Dinar tegas.
Setelah Dinar selesai membereskan mejanya, ia pun bangkit dari kursi seraya menggendong tasnya. “Ayok!”
Kaila mengangguk, dirapikan poni depannya yang sebenarnya tak terlihat berantakan sama sekali. “Yuk.” Kaila melingkarkan tangannya di lengan Dinar kemudian berjalan bersama ke luar kelas.
“Emang cocok ya, anak haram ketemu sama anak cupu.”
Kaila menahan tangan Dinar sehingga Dinar mau tak mau harus menghentikan langkahnya. Dinar tahu, saat ini Kaila merasa sangat tidak terima dan ingin melawan Agnes yang telah mencercanya. Namun, dengan cepat Dinar menahan pergerakan Kaila untuk tidak membalas semua perkataan Agnes. “Ga usah, biarin mereka capek sendiri,” ujar Dinar dengan suara pelan.
Agnes dan teman satu gengnya itu melewati Dinar dan Kaila dengan wajah angkuh. “Minggir, ngalangin jalan gue aja, lo,” ujarnya ketus, seraya mendorong bahu Dinar.
“Nar ..., kamu tuh kenapa si selalu nahan aku buat engga ngelawan mereka?” protes Kaila kesal. Sementara Dinar, dia malah menampilkan senyum simpul yang tak pernah absen untuk Kaila lihat. “Kamu tahu, hinaan Agnes itu ga benar, kan?” Pertanyaan yang Dinar ajukan itu membuat Kaila mengangguk pelan.
“Nah, kalau kamu ga ngerasa, ga usah dibalas, ya?”
“Tapi, Nar ...,”
Dinar kembali memegang tangan Kaila. “Udah, aku laper, kita kantin aja, yuk.”
Kaila mendesah, “Ah ..., Dinar. Ya, udah deh, ayo.”
“Pak, siomay satu porsi jangan pake pare,” pesan Dinar pada Pak Abdul, pedagang siomay kantin.
Tangan Pak Abdul dengan kilat membuat siomay yang dipesan Dinar tadi. “Nih, Neng.” Sodor Pak Abdul memberikan satu piring siomay pada Dinar.
“Makasih, Pak.” Dinar menerima piring terebut lalu berjalan kembali ke kursi panjang, di mana sudah ada Kaila yang menunggu di sana.
“Kai, tolong ambilin sambel, dong,” ucap Dinar.
“Nih.” Tangan kekar dengan bau maskulin yang menyeruak di indra penciuman Dinar, membuatnya menoleh ke arah samping lalu mendongakkan kepalanya. “Arya?” Dinar mengerjapkan matanya, langsung menunduk sambil menggeser wadah sambel ke dekat piringnya.
“Jangan pedas-pedas, kamu lupa? Minggu lalu pernah sakit perut gara-gara kebanyakan makan sambel.” Celotehan Arya hanya dibalas deheman oleh Dinar.
“Tuh, kalo pacar ngomong itu dengerin, jangan malah hm hm hm,” sembur Kaila.
Dinar menoleh sebal ke arah Kaila, kenapa juga dia selalu mendukung semua ucapan Arya.
“Arya!” panggil Bayu.
Arya membalikkan tubuhnya lalu melambaikan tangannya singkat. “Iya, tunggu, gue ke sana.”
“Nar, aku duluan, ya,” pamitnya.
Dinar kembali mendongakkan kepalanya, melihat sekilas wajah Arya lalu kembali melihat siomay di piringnya. “Iya.”
"Kaila,” panggil Arya membuat Kaila yang sedang mengunyah bakso langsung menoleh ke arahnya. “Apa?”
“Gue titip Dinar, kasih tahu gue kalau dia masih bandel makan sambel.” pesan Arya pada Kaila yang dibalas dengan anggukan cepat. Arya pun melesat menuju Bayu yang sudah menunggunya di tempat duduk kantin yang jaraknya agak jauh dengan tempat duduk Dinar.
Diam-diam Dinar melirik lagi, memastikan Arya sudah duduk bersama dengan teman-temannya. Mengetahui posisi duduk Arya yang membelakanginya, tangan Dinar dengan cepat membuka tutup wadah sambal. “Et ..., ga boleh.” Kaila menahan tangan Dinar yang sudah mau menuangkan sambal ke dalam piringnya.
Dinar mengernyitkan dahinya, ia menghela napasnya gusar. “Lho, kok ga boleh?”
“Kamu ga dengar Arya ngomong apa?”
Ck. Kaila sama saja dengan Arya. Menyebalkan.
“Satu sendok doang, jangan bilang-bilang sama Arya, ya. Nanti, aku buatin puisi deh buat kamu.” Dinar memohon sambil mengerlingkan kedua matanya, berharap Kaila akan luluh dan tak mengadu pada Arya.
Pegangan Kaila tak sekuat tadi, beberapa detik kemudian ia sudah melepas kembali tangannya yang memegang tangan Dinar. “Deal, awas aja kalau bohong.” Kaila mengulurkan tangannya sebagai tanda bahwa sudah ada perjanjian di antara mereka.
“Iya, deal.”
***