“Dinar ....”
Astaga, suara lengkingan Arya memanggil nama Dinar dari luar kelas terdengar jelas sekali, sampai-sampai beberapa pasang mata teman-temannya beralih menatap Dinar. Dinar menundukkan kepala juga menutup wajahnya dengan buku yang ia ambil asal dari meja karena malu. Untung saja dosen yang sedang mengajar tak begitu menghiraukan suara orang yang memanggilnya tadi.
“Nar, buruan dong!”
Dinar berdecak kesal saat mendengar pekikan kedua dari Arya, lagi-lagi dia membuat dirinya malu. Dia pikir ini kelas SD apa? Seenaknya saja memanggil orang dari luar kelas. Awas aja kalau kelas sudah selesai, aku akan memarahinya.
Kelas sudah berakhir, Dinar berjalan gontai menuju luar kelas dan mendapati Arya yang sedang berdiri sambil menyandarkan punggunya di tembok dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya. Dia memang sudah menunggu Dinar dari tadi. Dinar memutar bola matanya dengan malas saat mata Arya menangkap ke arahnya dan berjalan menghampiri Dinar.
“Nar, kamu lama.”
“Siapa juga yang minta ditunggu?” nada bicara Dinar terdengar begitu ketus. “Lagian, kamu ngapain si pake acara manggil nama aku segala? Ga ada kerjaan banget.”
“Emang aku ga ada kerjaan, Nar.”
Sumpah serapah yang sudah menggunung di dalam hati Dinar rasanya ingin ia keluarkan sekarang juga melihat Arya yang menyebalkan seperti ini. Tangannya gemas sekali ingin menjambak rambut gondrong Arya saking kesalnya.
“Buruan, katanya mau ke panti.” Dinar berlalu meninggalkan Arya dengan raut wajah masam. Tak peduli dengan teriakan Arya memanggil namanya yang mengganggu indra pendengaran. Niat akan memarahi Arya seperti biasa hanya berujung pada ucapan ketus yang Dinar keluarkan seperti tadi. Dinar, Dinar, kamu memang selalu tak punya keberanian untuk memarahi seseorang.
“Nih, pake.”
Arya menyodorkan helm bogo berwarna coklat yang selalu ia bawa untuk Dinar. Setelah terdengar bunyi klik dari helm yang Dinar pakai, Arya men-stater motornya.
“Jangan ngebut.”
“Siap, Dinar yang cantik.”
Saat Arya tahu bahwa Dinar sudah mendapat posisi duduk yang nyaman, Arya langsung mengegas motornya.
***
“Ka Arya!”
“Yey! Ka Arya sama Ka Dinar udah datang.”
Pekikan girang dari adik-adik Dinar menyambut kedatangan mereka membuat DInar seketika meluluh. Segera saja Dinar memeluk adik-adiknya sebelum Arya lebih dulu mencuri start-nya
“Ga ada yang mau meluk Ka Arya, nih?” tanya Arya manja, ia sudah berdiri seraya menyilangkan tangannya ke d**a. Sontak saja pertanyaan Arya membuat beberapa anak malah beralih kepadanya dan meninggalkan Dinar.
“Eh, ada Arya,” ujar Bu Lasmi yang menghampiri mereka.
Beberapa anak yang berhambur memeluk Arya langsung melepas kembali pelukan mereka. Dinar dan Arya dengan sopannya menyalami tangan Bu Lasmi. Sama seperti Dinar, Arya sudah dianggap seperti anaknya sendiri oleh Bu Lasmi. Dalam satu minggu Arya memang selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke panti. Bahkan, Arya pernah bilang kepada Dinar bahwa panti adalah rumah keduanya
“Makan dulu, yuk, kalian pasti laper.”
Dinar dan Arya mengangguk, mengikuti ibu dari belakang, sesampainya di ruang makan mereka pun duduk. Layaknya sepasang suami istiri, Dinar lah yang sekarang sedang menyiapkan makanan untuknya dan juga untuk Arya.
“Dinar, banyak banget ini nasinya,” protes Arya tak terima.
“Ada apa, Arya?” Pertanyaan Bu Lasmi membuat mereka menoleh dan tertawa kikuk seakan tak terjadi apa-apa.
“Ngga ada apa-apa ko, Bu. Ini ..., biasa, Dinar manja banget minta diambilin ayam goreng.” Ucapan Arya barusan berhasil mengundang pelototan dari Dinar, sudah jelas Arya yang meminta untuk disiapkan makanan, protes pula karena Dinar terlalu banyak mengambil nasi. Sekarang, malah dia yang mengadu bahwa Dinarlah yang ingin diambilkan makanan olehnya.
Dinar duduk kembali di kursinnya, memegang sendok dan menyuapkan makanan ke mulutnya dengan lahap, hingga suapan terakhir dan tak ada sisa nasi lagi di piring, hanya terdapat bebarapa tulang kecil yang tak Dinar makan saja.
“Nar, udah selesai, nih.” Arya menggeserkan piringnya ke arah Dinar. Sejenak saja Dinar melihat piring itu dengan perasaan senang karena meski diriya terlalu banyak mengambil nasi, Arya tetap mau menghabiskannya. Dinar mengambil piring Arya dan piringnya untuk dibawa ke dapur.
Selesai mencuci piring, kaki Dinar melesat ke ruang keluarga. Di sana sudah banyak adik-adiknya yang sedang bermain bersama Arya. Seperti biasa, permainan pertama yang mereka mainkan saat ini adalah wak wak gung. Dinar hanya melihat keseruan mereka dari ambang pintu saja. Namun, ketika Naila tak sengaja melihat Dinar, ia langsung berlari kecil ke arahnya dan menarik tangannya untuk ikut bersama. Akhirnya, mau tak mau Dinar pun harus ikut bermain dengan menjadi penjaga bersama Arya di dalam permainan tersebut. Saat Dinar dan Arya sudah saling berhadapan dan berpegangan tangan membentuk kerucut, anak-anak serentak berbaris rapi ke belakang mengelilingi Dinar dan Arya sambil menyanyikan lagu permainin ini.
“Nar?”
“Apa?”
“Coba aja kita udah nikah, suasana rumah pasti bakal rame kaya gini,” celetuk Arya. Tentu saja ucapan itu membuat Dinar menatap tajam ke arahnya. Dinar mengambil beberapa daun kering yang ada di lantai teras tempatnya duduk saat ini setelah selesai bermain, lalu melemparkannya ke arah Arya. “Tuh, nikah aja sama daun.”
“Kalo aku nikah sama daun, nanti kamu mau nikah sama siapa, Nar?”
“Sama Gara,” ucap Dinar pelan tanpa ia sadari sama sekali.
“Apa, Nar?”
“Eh, mmm ..., engga ko,” jawabnya cepat. Untung saja Arya tak mendengar ucapanku tadi.
***
Buku Diary, salah satu benda yang enggan Dinar lepas dari hidupnya. Buku berwarna cokelat dengan sampul depan berbahan kayu yang di sana terdapat ukiran kecil nama Dinar, adalah sebuah buku pemberian dari seseorang yang begitu ia sayangi.
Tangannya menari indah, menggoreskan sesuatu di sana menggunakan pena yang ia khususkan hanya untuk menulis di buku ini. “Selesai.” gumamnya sambil menutup pena dan memasukkan kembali pena itu ke dalam tasnya. Dinar menatap lekat tulisannya, sudut bibirnya terangkat sambil membaca kembali meski hanya dalam hati.
Yang aku tahu dia masih berdetak,
tapi entah sampai kapan.
Meski menilik hanya dengan mata hati,
tak membuatku ragu sedikit pun meski dirinya pergi.
Bertahun sudah kubertaut dengan cinta yang tak kunjung mati.
Meski raga sudah mengajakku tuk berhenti,
tetapi hati tak dapat dibohongi.
Sehingga aku masih tetap di sini,
menunggumu yang entah kapan akan kembali.
Dinar menutup kembali bukunya saat dia sudah berhasil membaca tulisannya sampai kalimat terakhir. Tangannya beralih memegang ujung bingkai foto yang di dalamnya terdapat gambar dirinya sewaktu berusia tujuh tahun dengan seorang lelaki. “Aku bakalan terus nunggu kamu, Gar.”
Diturunkannya kembali tangannya secara perlahan, pandangannya beralih pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10.00 malam, waktu yang sudah bisa Dinar pastikan bahwa ibu dan adik-adiknya sudah berada dalam alam mimpinya masing-masing.
***