JARAK (PART 1)

2163 Words
Jakarta, 26 Januari 2020             Hai Gar! Kamu apa kabar?                                                                                                               Udah lama banget ya kita ga ketemu. Untuk sekedar berkabar pun juga sulit. Ngomong-ngomong udah banyak lho pesanku yang belum bisa kamu balas, tapi ini wajar ko. Aku tahu kamu sibuk banget. Oiya, kamu ingat ga? Dulu kamu pernah bilang sama aku kalau sejauh apapun jarak di antara kita, kita harus selalu berkabar. Dan sekarang, aku udah melakukan itu semua. Gar, pintaku cuma satu, jaga diri kamu baik-baik ya di sana. Kalau ada waktu, kamu bisa balas pesanku. Aku kangen kamu, Dinar.             Dinar menutup kembali laptopnya setelah selesai mengirim pesan melalui e-mail untuk sahabat kecilnya, Margara Alterio Savian. “Ka Dinar, apa kaka lihat tali sepatu Audrey di jemuran?” tanya seorang anak kecil dengan seragam sekolah dasarnya yang terlihat kebesaran.             Dinar menautkan alisnya, mencoba berpikir untuk mengingat apakah dirinya tahu di mana tali sepatu yang Audrey tanyakan itu berada.             “Oh iya, ka Dinar udah angkat semua jemuran kemarin sore. Mmm ..., bentar ya, kaka mau cari di lemari dulu.” Dinar bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menuju lemari kayu dua pintu milik anak-anak panti. Setelah pintu lemari terbuka, ia cari tali sepatu yang akan dipakai oleh adiknya hari ini.             “Nah, ini ketemu.” Dinar memberikan tali sepatu berwarna putih itu pada Audrey dan dibalas senyuman lebar hingga terlihat gigi kelincinya yang menurut Dinar terlihat begitu lucu.             “Dinar,” panggil seseorang dari luar kamar Dinar.             Audrey menoleh pada Dinar, matanya seakan menyiratkan jawaban bahwa Dinar boleh keluar sekarang untuk menemui seseorang yang telah memanggilnya. Baiklah, kalau begitu langsung saja Dnar keluar dan membiarkan Audrey memasang tali sepatunya sendiri.             “Iya, Bu, ada apa ya?” tanya Dinar sopan dengan tubuh yang sedikit ia bungkukkan.             “Nanti, setelah anak-anak berangkat ke sekolah, boleh tolong bantu ibu ke pasar ga, Nar? “             Dinar mengangguk cepat menangapi pertanyaan Bu Lasmi, seoarang wanita paruh baya berusia 55 tahun yang selama ini telah membesarkannya di sebuah panti kecil yang penuh dengan kebahagian ini.             “Iya, Bu, Dinar bisa ko.”             Bu Lasmi menyunggingkan senyumnya, ia memberi Dinar nampan berisi roti sebanyak dua belas lembar yang telah diolesi selai cokelat.             “Tolong bagikan ke adik-adikmu ya, Nar.” “Baik, Bu.”  Dinar mengambil nampan tersebut dengan senang hati. Ia beranjak melangkah ke ruangan yang biasa adik-adiknya gunakan sebagai tempat berkumpul mereka. “Wah ..., Ka Dinar datang,” pekik seorang perempuan kecil berkepang dua. Dinar mengulum senyum seraya duduk bersama mereka, membagikan satu persatu roti yang Bu Lasmi beri untuk sarapan adik-adiknya. Mereka pun makan bersama dengan penuh nikmat, walaupun setiap orang hanya dibagi satu lembar roti saja. Asal bersama-sama, tentunya tidak masalah. Salah satu prinsip yang selalu mereka simpan di memori. “Kalian udah siap buat berangkat sekolah?” Audrey bangkit dari duduknya sambil mengacungkan tangannya dengan begitu semangat. Seakan tak mau kalah, adiknya yang lain pun mengikuti Audrey. “Audrey udah, Ka.” “Nadin juga udah, Ka.” “Rena juga udah.” Begitu pun seterusnya sampai si bungsu Naila yang masih berusia empat tahun ikut mengeluarkan suaranya yang membuat gelak tawa mereka seketika pecah. Senyum Dinar selalu mengembang setiap harinya, suasana panti, tempat tinggal dari  dia dilahirkan kini semakin ramai dengan kehadiran mereka yang memiliki nasib sama seperti dirinya. Terbuang dan tak diharapkan kehadirannya. Ironi sekali, namun itu kenyataanya.             “Ya, udah, kalau begitu kita langsung berangkat sekolah, ya.”             Dengan sopannya mereka menyalami tangan Dinar dan mencari Bu Lasmi ke dapur untuk sekedar mengucap salam dan berpamitan.             “Ka Dinar, kami berangkat sekolah dulu, assalamualaikum,” ucap mereka serentak sambil melambai-lambaikan tangannya.             “Iya, hati–hati. Mawar dan Arum jaga selalu adik-adiknya, ya,” pesan Dinar, karena di antara kesepuluh adiknya, hanya Mawar dan Arum yang usianya sudah menginjak di angka sebelas tahun. Selain itu, sikap tanggung jawab Mawar dan Arum pun sudah bisa Dinar lihat dari diri mereka. Jadi, itu sebabnya Dinar percayakan itu semua pada mereka.             “Bu, anak-anak udah berangkat sekolah.”             “Ibu bereskan dapur dulu, ya. Kamu dan Naila tunggu saja di teras, kalau sudah  selesai Ibu akan langsung ke luar.”             Dinar mengangguk patuh, segera ia raih tangan Naila dan menuntunnya untuk bisa mengikutinya.      “Ka Dinal, kita mau ke pacal, ya?” Suara khas anak kecil yang cadel membuat Dinar tak kuasa untuk mencolek pipi tembamnya.             “Iya, Naila yang pandai.”             Naila terkekeh pelan, dia duduk di samping Dinar sambil terus memegangi tangan Dinar.             “Nar, ayo, Ibu udah siap nih.” Dinar dan Naila berdiri, lalu mengikuti ibu berjalan. Jarak dari rumahnya ke pasar tidak begitu jauh, jadi hanya berjalan pun mereka sanggup, apalagi berjalan bersama.             “Bu, hari ini kita beli daging ayam?” tanya Dinar, saat dirinya membaca tulisan di selembar kertas putih tertulis kata daging ayam. Sebenarnya, Dinar hanya memastikan bahwa tulisan yang ia baca itu benar karena sekarang itu masih tengah bulan, biasanya donatur yang rutin memberi bantuan kepada panti itu berkisar disetiap awal bulan.             “Iya, Nar. Dua kilo ya.”             Segera Dinar pesan apa yang ibu perintahkan pada si penjual.             “Makasih, Pak.” Dinar menerima plastik hitam berisi daging ayam.             Mereka melanjutkan kembali perjalanan, menjajahi pasar untuk menemukan bahan makanan yang dicari. Setelah 30 menit berlalu, akhirnya mereka sudah selesai dengan membawa dua plastik cukup besar yang Dinar jinjing seorang diri. Meskipun tadi ibu meminta satu plastik untuk dia bawa, namun Dinar menolaknya dengan cepat karena dia tak mau jika ibu kelelahan menjinjing plastik berisi bahan makanan yang cukup berat.             “Yey, kita sampai,” Naila memekik girang.             “Yaudah, Naila ke kamar mandi dulu gih, cuci tangan dan kakinya,” perintah ibu.             Naila mengangguk patuh, ia berlari kecil menuju kamar mandi dekat dapur sehingga Dinar masih bisa mengawasinya tanpa harus mengantarnya langsung ke kamar mandi.             “Kamu masuk kuliah jam berapa, Nar?”             Dinar menoleh padanya. “Dinar masuk siang, Bu. Oiya, menu hari ini Dinar yang masak ya, Bu?”             “Tidak merepotkan kamu?”             Dinar menggeleng pelan. Merepotkan seperti apa? Justru aku yang seharusnya bertanya seperti itu pada Ibu. “Engga sama sekali, Bu.”             Sudut bibir ibu terangkat begitu manis, tangannya memegang pundak Dinar seraya berkata, “Makasih banyak ya, Nar. Oiya, daging ayamnya mau kamu masak bumbu apa, Nar?”             Dinar mengetuk-ngetukkan jari telunjuk ke dagunya dengan mimik layaknya rang yang sedang berpikir keras. “Mmm ..., kayanya Dinar mau masak bumbu opor aja deh, Bu. Soalnya dari jauh hari anak-anak  udah pernah bilang ke Dinar.”             “Ya, udah, atur sama kamu. Ibu mau lihat tanaman di belakang dulu.”             “Siap, Bu.” Dinar berdiri tegak dan mengangkat tangan kanannya, memasang gaya hormat seraya terkekeh pelan yang membuat ibu menatapnya dengan gemas.             Daging ayam sudah Dinar cuci, semua bumbu yang akan digunakan juga sudah dia gerus tak lupa juga dengan peralatan masak yang sudah disiapkan.             Hari ini adalah hari kamis, biasanya Audrey, Nadin, Rena, Salsa, Tiara dan Ayu pulang sekolah sekitar jam sebelas karena mereka masih duduk di bangku kelas tiga dan empat sekolah dasar. Sementara sekarang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan, masih ada sisa waktu tiga jam lagi untuknya masak dan mempersiapkan diri untuk pergi ke kampus.             “Ka Dinal masak apa?” tanya Naila yang tiba-tiba sudah ada di samping Dinar, menengadahkan kepalanya agar bisa melihat Dinar.             Dinar menundukkan kepala agar bisa melihat Naila yang lebih pendek darinya. “Ka Dinar lagi masak opor ayam, nih.”             “Naila mau lihat, boleh?” pintanya dengan sorot mata memohon yang ia kedipkan. Dinar yakin, siapapun orang yang melihat mata bulat cokelat milik Naila ini tak akan bisa menolak dengan apa yang dipintanya. Seakan tersihir, dengan senang hati Dinar menggendong Naila untuk bisa melihat masakannya. Naila seolah menatap masakan Dinar dengan takjub, ia terlihat seperti sedang berusaha menahan air liurnya agar tak menetes ke luar.             Hanya sebentar Dinar menggendong Naila, setelah itu ia turunkan Naila lagi karena harus mengangkat masakan yang sudah matang.             “Akhirnya,” gumamnya sambil menghela napas lega melihat masakan yang sudah tersaji di meja makan dengan rapi. Dinar melihat jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 10.30, waktunya membersihkan diri dan bersiap untuk pergi ke kampus.             “Semangat, Dinar, kamu bisa lalui ini semua.” Ucapnya yang menyemangati diri sendiri sambil menatap pantulan dirinya di kaca lemari kamar.             Dinar sudah menggendong tas yang sudah biasa dia pakai semenjak duduk di bangku kelas 2 SMA. Meskipun ada sedikit bagian yang sudah robek, untungnya tas itu masih layak digunakan hingga sekarang.             “Bu, Dinar pamit, ya.” Dinar menyalami tangan bu Lasmi yang sudah mengeriput.             “Iya, Nar, hati-hati.” Bu Lasmi mengecup singkat puncak kepalanya. Kecupan hangat yang selalu Dinar rasakan dikala dirinya berangkat kuliah.             “Naila, ga boleh nakal, ya.”             Naila mengangguk cepat seraya mengacungkan jari jempolnya. “Siap ka Dinal.”             Sejenak Dinar melihat Naila dan Bu Lasmi dengan hangat, lalu berenjak ke luar untuk berangkat kuliah. *** Tin ... tin ...             Dinar menoleh ke samping, di sana sudah ada Arya dengan moge hitam yang biasa ia kendarai ke kampus.             Arya menurunkan kaca helmnya “Nar, buruan naik,” ujarnya, namun Dinar masih tetap diam bergeming di tempat sambil memasang wajah bodoh.             “Yeuh, malah diam aja.”             Dinar merasakan ada sebuah tangan yang mernarik pergelangan tangannya sehingga dia agak sedikit terhuyung ke samping kanan tepat di mana Arya berada. Dinar mengerjapkan matanya berkali-kali saat posisi dirinya dengan Arya sangatlah dekat. Saat kesadarannya sudah mengumpul, langsung saja Dinar menjauhkan dirinya dari Arya.             “Nar, kamu kebiasaan banget si,” ujar Arya setengah kesal.             “Maaf, habisnya kamu ngagetin aku.”             “Selalu kaya gitu, udah jelas- jelas aku tadi klaksonin kamu.”             Memang benar yang dikatakan Arya, Dinar memang selalu bersikap seolah kaget. Padahal hampir setiap hari saat Dinar sedang berjalan menuju jalan raya untuk mencari angkot, Arya selalu membunyikan klaksonnya dan memanggil Dinar.             “Udah yuk, naik,” ajaknya lagi.             Dinar mengangguk pelan, ia memegang kedua pundak Arya agar bisa naik ke jok motor yang tinggi itu. “Peluk, biar ga jatuh.” Dinar berdecak kesal sambil mencubit pinggang Arya yang sontak saja membuat Arya memekik kesakitan. Dasar modus.             “Iya, iya, ga usah dipeluk juga ga apa-apa. Asal jangan dicubit.”             Dinar hanya diam, menahan senyumannya yang tak boleh dia keluarkan karena Dinar tahu Arya pasti akan melihat senyum itu lewat kaca spion yang memang sengaja ia arahkan pada Dinar.             Motor yang Dinar tumpangi sudah melaju dengan kecepatan rata-rata. Biasanya, ketika memboncengi teman-temannya Arya selalu melaju dengan kecapatan tinggi. Namun, kali ini berbeda, Dinar selalu memarahinya apabila dia ketahuan mengendarai motor secara ugal-ugalan. Selain membahayakan dirinya, perbuatan itu juga akan membahayakan nyawa orang lain yang tidak bersalah.             Mereka sudah sampai di kampus, Arya juga sudah memarkirkan motornya.             “Selesai kelas, jam biasa kan?”             Tanpa berniat untuk mengeluarkan suara, Dinar hanya menganguk pelan sebagai balasan.             “Oke, aku juga sama.”             Dinar kembali mengangguk dan melanjutkan langkahnya yang beriringan dengan Arya.             “O iya, Nar.”             Ucapan Arya membuat Dinar menoleh padanya seraya menautkan kedua alisku. “Kenapa?”             “Selesai kelas, aku mau ke panti, ga apa-apa?”             Dinar mengulum senyum meskipun tipis. “Ga apa-apa, hari ini aku masak opor.”             “Wah ..., kamu suudzon aja, aku bukan mau numpang makan ko.”             “Aku cuma ngasih tahu, bukan su.u.dzon.” Dinar menekankan kata terakhir yang ia ucapkan barusan.  Arya ini sepertinya salah pengertian, biasanya pun setiap Arya mau berkunjung ke panti dia selalu menanyakan pada Dinar perihal masakan apa yang dia buat. Jadi, tadi itu Dinar hanya berinisiatif untuk memberitahunya sendiri sebelum Arya bertanya. “Ya! Buruan, dosen udah datang katanya.” ujar seorang lelaki sambil menepuk pundak Arya dari belakang dengan tampang lelah serta napas yang memburu. “Buset, gila aja, masih ada 20 menit lho padahal.” “Buruan b**o,” umpat lelaki itu.             Arya menoleh pada Dinar sekilas, Dinar pun mengangguk mempersilakan dirinya untuk duluan meninggalkan Dinar. “Dasar.” Cicit Dinar pelan menatap punggung Arya yang berlari tergopoh-gopoh bersama temannya yang Dinar tahu bernama Bayu.             Duk             Dinar terhuyung saat seseorang menabraknya “Duh,” Beruntung saja aku tak terjatuh.             “Eh, sorry gue ga sengaja.”             “Sorry banget ya, anak haram,” ucapnya dengan nada meledek. Lihatlah, kedua temannya bukannya menolong, mereka malah sama-sama menertawai  seakan mendukung perbuatan Agnes.             Dinar hanya diam membisu padahal batinnya berteriak memerintah agar dirinya bisa membalas setiap pebuatan semena-mena yang telah Agnes dan teman-temannya lakukan padanya.             “Aduh ..., bisu, ya? Jadi ga bisa balas apa-apa?”              Dinar tetap tak mengeluarkan suara, ia memalingkan wajahnya saat tangan Agnes menyentuh dagunya dengan menampilkan senyumamn miring.             “Udah yu, kita cabut.”             Helaan napas berat Dinar keluarkan kala Agnes dan kedua temannya itu meninggalkannya. Sungguh, ingin sekali Dinar melawan mereka yang sudah berani mencerca dirinya dengan sebutan ‘anak haram’. Namun Dinar sadar, Dinar tak punya kuasa untuk melakukan itu. Dia hanya mahasiswa penerima bantuan yang bisa berkuliah di kampus ini. Sedangkan Agnes, dia adalah anak dari orang tua yang menyumbang dana terbesar di kampus. Masalah finansial pun sudah jelas Dinar kalah jauh darinya. ***      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD