Chapter 22 - Petter

1092 Words
Memakai maskernya yang dibeli dari minimarket, lelaki tinggi yang kini memakai topinya itu merengkuh erat tas gendong yang kini dipeluknya. Menghembuskan nafas berat dengan degup jantung yang tak henti hentinya mengganggu penjernihan pikirannya. Mobil besar beroda banyak yang kini ditumpanginya melaju dengan kecepatan sedang. Matanya yang tadinya tak fokus karena sibuk masuk kedalam segala rumit pikirannya mulai bisa memperhatikan jernih air yang turun dari atas sana membasahi rerumputan di jalanan yang kini sedang dipandangnya. Bocah itu, Petter, menarik pelan resleting ranselnya untuk mengeluarkan air mineral kemasan botol yang sebelumnya ia beli diminimarket dekat terminal. Terburu buru sembari mengambil beberapa roti yang entah terasa enak atau tidak kemudian pergi ke loket untuk memesan tiket bus keluar kota, dimanapun itu. Yang jadi tujuannya saat ini hanyalah pergi sejauh jauhnya dari keempat orang yang sejujurnya berjasa besar untuk hidupnya. Jika tak ada mereka, dipastikan bocah itu masih mengendap didalam penjara yang kemungkinan akan merubah mereka menjadi monster menurut ucapan Hans. Hans. Pikirannya mengawang sekitar enam jam yang lalu dimana setelah menyelesaikan tugasnya dan memastikan pria yang paling tua berhasil meraup tujuan mereka, Petter lebih memilih mengambil semua uang sisa rampokan mereka dimobil kemudian berjalan cepat untuk pergi sejauh jauhnya meninggalkan mereka. Bocah itupun mengambil laptop dan satu buah pisau dan senapan beserta pelurunya untuk berjaga jaga jika ia akan balik dirampok jika seseorang menemukan bocah berkeliaran sendirian membawa bawa uang yang cukup banyak. Saat itu, anak lelaki berusia belasan tahun itu berjalan tak tahu arah sekitar satu jam lamanya. Dirinya kemudian berhenti dan terengah engah karena hawa dingin tengah malam yang menusuk kulit dan segala ketakutannya karena ditatap banyak orang. Tak dapat dipungkiri, keadaannya saat ini yang berkenakan suit mewah dan menenteng tas laptop merupakan tanda bahwa dirinya bisa menjadi sasaran empuk korban kejahatan. Karena itulah dia memilih untuk memasuki mini market dua puluh empat jam yang puji Tuhan memiliki barang dagangan cukup lengkap didalamnya. Ia mengambil beberapa buah sandwich, sebuah tas ransel cukup besar dan kaus khas tempat wisata yang terlipat tak beraturan disalah satu bak baju. Sekian menit menunggu untuk membayar dikasir, ujung matanya melihat keberadaan topi dan masker yang sepertinya akan membantunya selama perjalanan kabur nanti. Tak ayal kaki jenjangnya kembali kearea perbelanjaan untuk mengambil topi dan beberapa buah masker. Membelokkan arah jalannya bocah itu memilih untuk mengambil beberapa botol air mineral dan beberapa jenis makanan berat lagi untuk dia bayar. Air liurnya diteguk dengan susah payah saat sang kasir menatapnya aneh karena membeli barang terlalu banyak dan... terlalu random? Mencoba untuk bersikap fierce dan tak peduli, Petter menampakan raut wajah yang tak bersahabat. Selesai dengan dua kantung besar belanjaannya. Ia menenteng dua kantung beserta tas laptop tadi dengan susah payah sembari memanggil taxi. “Bisa tolong antar aku ke terminal terdekat?” ucapnya setelah seluruh tubuhnya telah terduduk dengan sempurna didalam taxi yang argonya semakin lama semakin naik dengan melonjak. Si supir hanya melirik sebentar dari kaca spion kemudian mengangguk mengiyakan. Yang menjadi penumpang tengah sibuk sendiri dengan barang belanjaannya. Petter mengeluarkan ransel barunya dan memasukkan laptop beserta tas tasnya langsung kedalam ranselnya. Tak ingin mengeluarkannya terlebih dahulu karena akan bahaya jika si supir menyadari bahwa dirinya membawa beberapa gepok uang nominal paling besar dalam tas laptopnya. Sama halnya dengan jas yang ia pakai. Petter melepaskan jas tadi lalu tergesa gesa melipat dan memasukkannya kedalam ransel karena didalam kantung jasnya tersimpan beberapa gepok uang dan senapan. Selesai dengan hal paling kruisial, bocah itu sedikit menghela nafas lega kemudian menyusun satu persatu makanan dan minumannya kedalam tas. Tanpa perduli jika dilihat oleh sang supir, Petter lebih memilih membuka satu persatu kancing kemejanya dan menggantinya dengan kaus bertuliskan ‘ I LOVE TEXAS’ yang baru saja ia beli. Mendecih sebal, kini dirinya terlihat seperti bocah yang baru saja pulang dari study tour bersama teman temannya. Merasa selesai dengan segala barangnya, Petter melipat dua kantung plastik belanjaan tadi untuk disimpannya disalah satu kantung ransel, siapa tahu akan berguna suatu saat nanti. Sembari menaruh plastik, ia diam diam mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar taxi dan membeli beberapa keperluannya. Sudah cukup kasir minimarket tadi yang memandangnya terkejut karena mengeluarkan uang dari gepokan yang dibawanya hanya untuk membeli ‘jajanan’. Sembari mengeluarkan bungkus sandwich tuna dari dalam kemasannya, bocah yang satu itu baru menyadari bahwa sepertinya dia berjalan cukup jauh dari kasino selama satu jam tadi. Dirinya menyadari bahwa ia sudah ada dikawasat pantai dan wisata dimana sedang mengadakan festifal besar besaran. Inilah alasan mengapa masih banyak supir taxi berlalu lalang dan banyak orang menatapnya aneh selama berjalan disana. Baik pakaian dan sikapnya sangat tak cocok dan berbanding terbalik dengan suasana festifal. “Kau kabur?” Suara si supir taksi menghancurkan fokusnya pada pemandangan lampu lampu jalanan. Matanya bergerak tak tentu arah, tangan kanannya diam diam mencubiti lengan kirinya yang tertutupi ransel –kebiasannya saat gugup- memaki dirinya sendiri yang tak bisa mengontrol ekspresi. “Aku hanya bertanya” kekeh si supir melihat penumpangnya kali ini terdiam kaku namun gelisah disaat yang bersamaan. “Aku sering menemukan anak seumuran mu yang kabur dengan berbagai alasan” jelasnya. “Jadi, apa alasanmu?” Tertawa awkward, ia menahan sandwich yang belum sempat dikunyah di sisi kanan pipinya. Membuat bulatan empuk itu semakin membulat layaknya hamster yang tak makan berhari hari. “aku ingin pergi kerumah nenek” jawabannya sekenanya yang syukurnya hanya dibalas kekehan tak peduli dari si penanya. Sepertinya pertanyaan tadi hanya tanda basa basi untuk membunuh waktu selama perjalanan menuju terminal yang ternyata cukup jauh. Sesampainya diterminal, bocah itu memberikan tiga lembar uang pecahan paling besar dan berlalu begitu saja tanpa mempedulikan pria tiga puluhan tadi bicara mengenai kembalian. Ia hanya pergi kesebuah toko kecil yang disertai temaram lampu kekuningan untuk membeli lagi sebotol air mineral dan mengambil beberapa roti karena kembalian yang tak cukup. Sisa uangnya digunakan untuk membeli tiket perjalanan yang cukup jauh dan terduduk dikursi untuk menunggu bus akan dikemudikan beberapa jam lagi. Dan disinilah dia, didalam bus memperhatikan jalanan sembari mengotak atik ponselnya untuk mencari keberadaan orang tuanya. Ya, bocah itu kabur dan berniat kembali ke pelukan keluarganya. Persetan dengan dirinya saat ini di cap sebagai buronan. Mengingat dia merupakan anak satu satunya, sudah pasti orang tuanya akan melakukan berbagai cara untuk menyembunyikan atau mengubah identitasnya. Layar sentuh diponselnya bergulir. Tak berani menghubungi kedua orang tuanya saat ini juga melalui nomor telepon yang ia ingat secara pasti meskipun sudah bertahun tahun –sedikit banyaknya berharap nomornya tidak berubah- ataupun memalui email. Dia sedikit takut seseorang mengetahui keberadaannya. Yang dilakukannya sekarang hanya memperhatikan aktifitas kedua orang tuanya dari media sosial untuk melacak keberadaan mereka. Sepertinya menemui mereka langsung adalah jalan terbaik untuk saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD