Chapter 11 - Kawan Lama

1685 Words
“Oh, s**t” “Petter, kurasa umurmu masih terlalu muda untuk mengumpat seperti itu” “Aku tidak tahu paman pembunuh berantai akan sangat memikirkan etika” Michael yang baru saja akan menyahut, harus kembali terdiam saat Petter lagi dan lagi mengumpat dengan suara yang pelan. “Kita tidak bisa mengeluarkan kakak Ainsley tanpa ketahuan” Keluhnya. “Sistem ini dirancang hanya untuknya. Jarum itu sengaja ditanam agar tahu siapa DNA orang yang sedang memakainya” tukasnya sembari menunjung kabel dengan jarum yang kini tertancap di telapak tangannya. Terlihat banyak bekas bekas jarum yang ada di sekujur tubuhnya, baik yang sudah memudar dan menyisakan bekas, maupun bekas bekas baru yang terlihat sedikit membengkak. “Juga jika tubuhnya terangkat dari kursi meskipun hanya 0,5 centimeter saja, berbarengan dengan lepasnya jarum, maka semua alarm dan jebakan yang ada di penjara ini akan aktif” Sedangkan disisi lain, Hans yang alat komunikasinya berhubungan langsung dengan mereka, mendengar semua laporan dari Petter sembari bertarung. Mereka bertiga pun tentu saja mendengar mengenai segala baku hantam yang dilakukan Hans dan Evan entah dari ruangan mana. Cukup membuat Petter meringis ketakutan, namun semakin membulatkan tekadnya untuk berhasil keluar dari sini. Michael yang mendengarnya menghela nafas berat. Ainsley menatap kedua pria dihadapannya dari balik kacamatanya, meskipun tidak terlalu jelas, namun ia tahu ada banyak hal yang sedang berkecimuk di pikiran mereka. “Aku ingin berkata tak usah menghiraukan aku dan kalian pergilah sendiri, namun sejujurnya aku memang ingin keluar dari sini. Atau jika tidak, kalian bisa bunuh aku sekarang juga. Lebih baik mati dibanding harus menjadi manekin di dalam penjara sinting ini” “Aku akan mengusahakannya” balas Petter. “Aku yakin paman misterius itu memiliki rencana dengan kita semua. Tidak mungkin dia mencoba bunuh diri dengan mencoba mengeluarkan kita dari sini tanpa ada maksud dan tujuan. Kau salah satu yang menjadi poin penting, mengingat dia terus mengusahakanmu untuk keluar” Michael yang mendengarnya ikut mengangguk. “Kau bilang dengan cara apapun, kita akan tetap ketahuan kan?” tanyanya yang dibalas anggukan oleh Petter. “Oy pria aneh” maksud panggilannya kepada Hans yang masih sibuk berkelahi. “kami akan melepaskan Ainsley, dan menuju kesana. Semua jebakan akan aktif. Dimana posisi kalian?” “Isolasi” jawabanya dengan pelan, kemudian suara tembakan terdengar. Michael mengangguk kemudian bergegas mencabut jarum dari telapak tangan Ainsley. Petter mengurus sisanya dengan membuka satu persatu besi yang mengukung tubuh gadis itu. Dengan segenap otot yang masih ia miliki akibat berolahraga didalam sel karena bosan, Michael dengan mudah menggendong Ainsley dan pergi dari sana. Alarm yang begitu nyaring berbunyi, mereka bergegas untuk pergi dari ruangan ini sebelum ditemukan para petugas. Ujung matanya terus memperhatikan pergerakan Petter karena bocah itu terus menatap gadgetnya dan beberapa kali memekik seperti lumba lumba. “Code red. Code red. Tahanan pengasingan menghilang dari sel masing masing. Terdapat penyusup di ruang isolasi dan membunuh beberapa petugas. Code red Code red. Semua petugas menyebar menuju tempat masing masing” Michael mengumpat, kemudian menarik kerah belakang kaus usang Petter untuk menyembunyikan diri mereka di salah satu lorong. Petter melongokkan sedikit kepalanya untuk melihat apa yang sedang terjadi di seiap lorong. Ramai. Namun hanya berisikan para petugas yang berseliweran dengan alat komunikasi mereka, saling memberitahukan laporan yang sedang terjadi pada rekannya yang lain. Petter yang melihat hal tersebut sontak saja memiliki lampu imajiner di kepalanya. Dengan sedikit menggembungkan pipinya khas hamster, ia menyeringai seram saat menekan icon ‘open’ yang terpampang jelas di ponselnya. Seketika para petugas tadi semakin ribut saat ternyata kelakuan gila Petter adalah mengeluarkan para tahanan lain dari selnya masing masing. Petter memperhatikan tahanan lain yang seragamnya berbeda dengan mereka. Mereka berempat diberikan kenaan berwarna hitam setiap harinya, sedangkan tahanan yang lain menggunakan pakaian belang hitam putih khas narapidana pada umumnya. Michael yang mengetahui bahwa kejadian ini adalah ulah bocah disampingnya, mengelus kepalanya sembari terkekeh kecil. “ada apa?” ini suara Evan. Sepertinya dia sudah menerima alat komunikasi dari Hans. “Petter mengeluarkan semua tahanan untuk mengecoh sipir” Hans yang mendengarnya terkekeh geli, namun tak lama kemudian, dirinya mendengar pekikan pekikan horror dari sisi ketiga rekannya yang lain. “semua jebakan benar benar aktif, narapidana yang mencoba kabur melewati lorong, hingga lubang udara, mati dengan mengenaskan. Kami masih sembunyi disalah satu sudut lorong yang menjadi titik buta cctv” “posisi kalian dimana?” “Er… lorong?” “Aku tahu Michael. Maksudku lorong yang mana” “Mana aku tahu. Ini lorong yang cukup dekat dengan ruangan sel kami” “Aku tahu” sahut Petter. “Aku telah berhasil menemukan denah bangunan ini dari salah satu ruang kerja pusat disini. Kau benar, kita seperti terkubur dibawah gunung berapi” lanjutnya dengan mendecih. “kita akan keluar lewat mana paman? Aku hanya menemukan satu jalan keluar, dan kurasa jalannya cukup rumit?” “Labirin? Ya. Kita keluar dari sana. Tunggu aku disana, karena kalian bisa terjebak di dalam labirinnya hingga mati mengering tanpa ada satupun yang tahu” instruksi Hans. Ainsley yang sedari tadi hanya menjadi pendengar mengerutkan dahinya bingung. Ingin bertanya mengenai banyak hal, namun semua itu disimpannya rapat rapat sampai keadaan yang memungkinkan. “Ada tiga orang menuju kesini” Ainsley berbisik ditelinga Michael. Siluet merah yang terdeteksi kacamatanya tertangkap saat ia tak sengaja menggerakan kepalanya untuk melirik lorong. Petter sedikit gemetar ketakutan sembari memegang senapan yang diberikan padanya. Ia hanyalah bocah enam belas tahun jenius teknologi, yang sudah mengendap didalam sel selama tiga tahun lamanya. Tidak pernah sekalipun dalam seumur hidup dirinya diberi pegang senapan. Namun kini, demi kehidupannya yang lebih baik, dia setidaknya diharuskan untuk bisa membunuh siapapun yang menghalangi jalan mereka. “Tetap dibelakangku, bocah. Aku yang akan mengurusnya, kau bantu saja Evan dan pria aneh itu untuk kemari” Petter mengangguk ragu, semakin menyelipkan diri dibalik tubuh Michael masih menggendong Ainsley dengan satu tangan membidik para petugas dari balik dinding. Ainsley pun tetap menjaga satu senapannya agar tetap terisi, dan menangkis beberapa peluru nyasar dengan pisau lipatnya. Mendelik kesal saat mengetahui bahwa kemampuannya sedikit menurun ketika Michael tertembak tepat di lengan. Tiba tiba dengingan nyaring muncul dari alat komunikasi yang terdapat di masing masing telinga mereka. Cukup membuat Michael kehilangan keseimbangannya karena pusing yang mendera kepala. “Maafkan aku” celetuk bocah yang bersembunyi di belakangnya. “aku memutasi alat komunikasi kita agar dapat melacak keberadaan kita semua” jelasnya sedikit panik. Titik merah yang berartikan keberadaan dua rekannya itu berada di salah satu bagian bangunan dengan- “hati hati jika ingin menginjak ubin yang ada tepat di hadapan kalian” Hans melirik kebawah. Tak ada yang aneh dengan lantai yang mengkilap bersih itu jika dilihat dengan kasat mata. Namun mendengar betapa ketakutannya suara anak dibawah umur itu, dirinya yakin bahwa lorong ini merupakan salah satu lorong dengan jebakan yang berbahaya. “Lemparkan benda apapun pada lantai itu” titah Petter yang langsung akan dilakukan oleh Evan. Namun, sebelum sempat pria itu melemparkan sehelai kain yang telah diambil dari sobekan celannya, selongsong peluru sudah lebih dahulu menyapa mereka. Beruntung. Sangat. Karena hanya sepersekian detik sebelum timah panas itu masuk dan menancap di otak jeniusnya, Hans telah lebih dahulu menariknya dan membiarkan peluru itu mengarah ke lantai. Bukannya lantai yang hancur, malah peluru itu terpantul beberapa kali hingga akhirnya tergeletak begitu saja diatas lantai. Bukan hanya lantai tersebut kokoh, namun tiba tiba, sepetak ubin menyala, dan mendadak satu lorong hancur lalu jatuh dengan sangat cepat. Benar benar jatuh. Evan dengan merinding melirik sekilas kebawah dimana lapisan ubin tersebut menghilang, namun yang ditemukan hanyalah kegelapan yang amat sangat dalam. Lalu beberapa detik kemudian, lapisan lantai yang baru muncul dari sela dinding yang terdapat dipaling bawah. “Lantainya terjatuh ya? Itu yang kumaksud dengan hati hati dengan lorong itu. Aku menemukan palung darat yang amat sangat dalam dibawahnya. Sensorku mendeteksi bahwa ubin tersebut memiliki pergerakan yang acak dalam setiap lantai yang harus dipijak” jelasnya sembari menatap khawatir kearah Michael. “haruskan kita kesana dan membantu mereka berdua?” tanyanya dengan suara pelan. “Tahanan kelas satu ditemukan. Tahanan kelas satu ditemukan. Sayap kanan nomor empat, bawa semua petugas. Kami mendapati adanya penyusup. Bawa semua petugas” sayup sayup suara laporan dari sebrang sana masuk melalui alat komunikasi mereka bertiga. Dapat dipastikan bahwa kedua rekannya tersebut terpojok antara lorong dengan jebakan lantai yang terjatuh, juga para sipir yang tentu saja siap membasmi mereka tanpa memiliki belas kasih. Ainsley melirik Michael yang meangguk yakin. Mereka kemudian bergegas untuk beranjak dari sana menuju lokasi dua titik yang tertera di ponsel milik Petter. Sedikit bersyukur dan berterimakasih pada belasan mayat narapidana lain bergeletak di lorong yang akan mereka lewati saat ini. Karena merekalah, ketiga cucu adam ini tahu pattern lorong dengan tombak yang muncul dari dalam dinding. Mereka bertiga hanya perlu mentitikan fokus sensor di lorong tersebut, dengan apapun. Yang kini dilakukan Petter adalah menghidupkan senter dari ponselnya yang sudah diatur menjadi warna biru, menggerakannya kesalah satu ujung lorong seakan akan senter tersebut merupakan entitas yang akan bergerak menuju alat sensor. Voila. Alat sensor tersebut berakhir mengeluarkan semua tombaknya dan berakhir menancap tidak berguna di beberapa dinding dan lantai. Pola yang digunakan sama seperti yang mereka lihat pada tahanan lain yang mencoba kabur beberapa menit yang lalu. Setelah memuntahkan banyak tombak, alat tersebut harus menunggu selama satu tiga puluh detik untuk mengisi ulang tombak yang akan digunakan. Waktu sempit itu digunakan mereka untuk lewat dan menuju kearah Hans dan Evan yang kini tengah saling memunggungi dengan senapan ditangan masing masing. Hans berhadapan langsung dengan para petugas yang semakin lama semakin banyak, sedangkan Evan berhadapan dengan lantai yang menyala nyala disetiap kotaknya untuk mengetahui pattern yang digunakan oleh sistem. Senapan ditangannya tetap pada posisi untuk berjaga jaga akan adanya petugas lain yang datang dengan arah berbeda. Salah satu pria dengan jas mahalnya datang sembari menyesap cerutu mahal. Bertepuk tangan sembari terkekeh kecil dengan sorot mata yang menunjukan meremehkan dibalik topeng wajahnya yang seakan akan bangga. “Kalian memang bukan orang biasa” pertama kali suaranya terdengar. “Belum mati dengan segala torture yang diberikan, menunjukan bahwa kau memang bukan orang biasa, tuan Evan Bridgette” kekehnya. Matanya beralih kearah Hans yang menatapnya dengan datar- “lama tidak berjumpa, kawan lama”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD