Chapter 12 - Escape Plan

1628 Words
Evan kehilangan fokusnya sejenak, begitu pula ketiga orang lainnya yang ternyata sudah bersembunyi dibalik dinding yang tak jauh dari sana. Mereka bertiga melihat dengan jelas bagaimana kilatan mata Hans kepada pria necis yang kini terbahak bahak karena melihat ekspresinya. “Santai saja, Hansel” tegurnya. “kau tak perlu seketus ini dengan teman lama mu, kan?” Evan mengendikkan bahunya tak peduli. Ia kembali menatap cahaya di lantai yang berpindah pindah setelah mengetahui keberadaan Michael, Ainsley, dan Petter. Setidaknya kedua orang dewasa disana bisa menjaganya disaat dia dan Petter mencoba membongkar sistem agar bisa melewati lorong yang cukup panjang itu. Derap langkah kembali terdengar menggema dibarengi dengan kedatangan banyak petugas dengan seragam dan topeng yang sama. Selongsong timah panas meluncur dengan kecepatan tinggi saat Ainsley melihat sesosok panas dari kacamatanya bergerak menuju mereka. Dibalik kacamatanya yang amat sangat menyerap cahaya, gadis itu menatap mereka dengan tajam dan tangan yang mengepal. Ternyata mereka. Merekalah yang selama ini menjadi orang yang memperlakukan dirinya bagaikan boneka pupet yang bisa digerakan semaunya hanya karena ia tidak punya kuasa akan tubuhnya. Petter yang melirik gadis itu sontak sedikit mengelus pundaknya perlahan, iris matanya akan kembali fokus pada perangkatnya, namun kacamata hitam milik Ainsley menghilangkan fokusnya tiba tiba. Kedua belah bibirnya mengatup. Laki laki enam belas tahun itu kembali berkutat dengan gadgetnya setelah melirik kedua pria yang tengah bersitegang tak jauh dari sana. “siapkan senjata kalian masing masing” bisiknya dengan tenang, membuat Hans yang baru saja akan berkoar tiba tiba melirik kearah samping dengan maksud untuk memperjelas dan memproses suara yang masuk ke indra pendengarannya. Belum sempat bertanya, ruangan seketika benar benar menggelap tanpa adanya setitik cahaya apapun. Hansel menembak asal segala sisi yang ada dihadapannya, berjalan mundur sembari sebelah tangannya meraba dinding agar tidak kehilangan arah. Evan menarik belakang bajunya agar pria jangkung itu tertuntun meskipun masih menembakan senapannya secara buta. Ainsley menyeringai dalam keadaan nirsirna, ia menggerakan sedikit tubuhnya dengan gesture agar Michael tak lagi berlindung dari dinding. Dirinya mengenali kedua sosok yang kini berwarna merah berbentuk aneh tengah saling berpengangan tak jauh dari mereka. Yang kini ia lakukan adalah menembak penggalan penggalan merah lainnya yang disinyalir merupakan b******n b******n arogan itu. Hans mengumpat. Lagi. Kalau tahu bahwa Petter memiliki ide secemerlang ini, dirinya akan membawa kacamata pendeteksi panas lebih banyak untuk mereka semua. Setidaknya dia tidak perlu meraba raba dan kesusahan sendiri untuk kabur. Geraman muak terdengar di telinganya. Pria itu tahu pasti suara serak khas yang dimiliki oleh si kawan lama. Dengan membabi buta, dia kembali menembak asal longsongan peluru yang masih tersisa dikedua senapan yang dipegangnya. Tentu saja hal itupun dilakukan oleh puluhan sipir yang mungkin saja masih hidup dalam keadaan seperti ini. Ringisan nyeri dari Petter merupakan sebuah bukti bahwa b******n b******n itu benar benar melontarkan serangannya kepada siapapun, sepertinya tak peduli jika targetnya telah menghilang dan menyisakan anak buahnya sendiri yang menjadi korban. Mereka berlima mencoba berlari dalam diam setelah saling berpegangan dan mengikuti arahan Ainsley tentang sesosok manusia yang terlihat dari kacamatanya, juga Petter yang berkicau mengenai batere ponselnya yang hampir mati. Maafkan Hans yang tidak terpikirkan mengenai mengisi ulang terlebih dahulu daya alat elektronik yang satu itu. Sifat impulsifnya yang satu ini benar benar harus dihilangkan. Belum sempat mereka berlari terlalu jauh, listrik kembali menyala, dibarengi dengan umpatan Petter yang ternyata algoritma dari ponselnya berbalik diretas oleh mereka. Bocah yang satu itu harus menghilangkan parasit b******n itu lebih dulu dari programnya sebelum dia kembali membuka bagian lainnya. Terlalu sibuk dengan dunia teknologinya, Petter terlonjak kaget saat baju bagian belakangnya ditarik layaknya anak kucing yang diseret oleh sang induk. Sinar kebiruan yang sangat ia kenal dari film bisa memotong siapapun yang melewatinya, kini tersaji langsung dihadapannya. Ia tak pernah mengira bahwa hidupnya akan terjun dalam adegan yang dahulu ia rasa tak mungkin bisa ia lakukan jika dirinya tengah menonton film action. Laser pertama lewat penuh dari atas hingga setinggi lutut, membuat mereka semua harus merangkak, bahkan Michael harus menyeret Ainsley dengan keadaan yang seperti itu. Namun Petter telat memahami semuanya. Disaat semua orang sudah sampai di ujung lorong, Petter baru merunduk ditempatnya yang lama. Laser pertama lewat begitu saja seakan menertawakan bocah cupu itu atas ketidakbergunaan otaknya disaat yang krusial. Laser selanjutnya melaju dengan cepat. Semua bagian tertutupi laser dengan celah yang amat kecil. Hanya ada satu bagian yang terbuka cukup lebar, yaitu lubang yang berada persis ditengah tengah. Petter meneguk ludahnya susah payah, tiba tiba meringis kala mengingat guru olahraganya dahulu selalu mengomel karena dirinya sulit diajak berolahraga, kini dirinya diharuskan melakukan lompatan- yang sebelumnya bahkan dia tidak bisa melakukan roll depan- dan kini dengan tambahan nyawa sebagai ancaman. “Lompat dengan ringan dan luruskan badanmu. Sebelum melewati laser itu, jangan dulu menekuk tubuhmu untuk mendarat” titah Ainsley. Bulir matanya bergetar, dirinya menghela nafas sedalam dalamnya, lalu- Hup- Berhasil! Tapi maafkan Petter karena kebiasaan kecilnya yang berteriak seperti lumba lumba saat sedang excited membuat keberadaan mereka kembali diketahui oleh para sipir yang tersisa. Mereka kembali berlari dengan Petter yang masih berusaha mengeluarkan parasit sialan itu dari programnya. Dia perlu denah lengkap dan masuk kedalam operator bangunan ini. Keringat bercucuran dari pelipis Michael. Tak berbohong jika bobot yang kini dipanggulnya cukup membuat pria itu terengah engah kesulitan mengambil nafas. Ainsley yang mendengar tarikan nafas cukup kuat dari sosok yang menggendongnya ini tanpa sadar ingin mengumpat. Dia rasa tubuhnya tidak sebesar itu untuk bisa menjadi penyebab pria yang sering adu mulut dengannya ini kelelahan. Ingin mengeluarkan kata kasar dan hantaman yang selama bertahun tahun telah ditahannya, namun tak jadi mengingat mereka tak bisa ribut saat ini dan dirinya masih membutuhkan b******n itu untuk menggendongnya kemana mana. “Angkat tangan!!!” Terkepung. Kedua sisi lorong tampak dipenuhi belasan orang yang menggunakan seragam anti pelurunya masing masing. Petter menyusup dibalik tubuh tinggi Hans dan Evan. Michael yang menggendong Ainsley disampingnya nampak menatap mereka dengan awas sembari terlihat sedikit mengumpat. “Beri aku waktu” Petter berbisik kepada kedua pria yang menghalanginya dari depan dan belakang. Bocah yang satu itu tengah mencari celah untuk mereka mengeluarkan diri dari keadaan saat ini, sekaligus mencari jalan keluar yang bisa dicapai selain Labirin yang dimaksud tadi. Titik titik merah yang menandakan banyaknya orang disekitar jalan masuk labirin menjadi tanda bahwa cukup sulit untuk mereka melalui jalur yang satu itu. Mulutnya mendesis sebal. Beberapa kali dirinya mencoba melihat dengan jelas akses denah yang telah diretasnya. Namun parasit sialan itu terus mengganggunya. Kini penggalan kalimat yang dibubuhi beberapa angka muncul dari layar smartphonenya. Petter berbalik menyerang dengan mematikan kembali listrik yang merambati setiap bagian bangunan ini. Keadaan kembali menggelap. Namun tidak sericuh beberapa menit yang lalu. Kedua pihak terlihat siap mengenai baku tembak yang sepertinya sudah menjadi ancang ancang mereka. Evan dan Ainsley yang dengan waspada memperhatikan lorong bagian selatan memunggungi Hans yang tadinya tengah bertatapan dengan kumpulan sipir di lorong bagian utara. Michael tetap pada posisinya meskipun gadis yang dalam gendongannya nampak memutar tubuhnya kearah belakang. “Sudah kubilang, santai saja, Hansel” suara yang cukup memuakkan kembali terdengar. Jika diingat ingat, keempat orang disana tak pernah ingat sekalipun Hans menyebut dirinya sebagai Hansel. Pada saat kejadian di lorong sebelumnya pun, pria itu seakan enggan dipanggil dengan nama Hansel. “Untuk apa kau repot repot membangun tempat ini jika kau pun yang akan menghancurkan tempatnya?” ucapnya lagi. Petter mendelik dalam kegelapan, kenapa paman yang satu ini repot repot mencari jalan keluar selain labirin jika dirinya menjadi salah satu yang membangun bangunan sialan ini. Lalu yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, apa tujuan pria yang satu itu mengeluarkan mereka? Petter meneguk air liurnya susah payah karena berbagai skenario mengenai pria misterius itu menghampiri kepalanya. “Jangan sok suci. Kau yang lebih dulu setuju mengenai hal ini” pria itu kembali bersuara saat Hans terihat enggan membuka mulutnya. Alih alih membalas, pria itu malah tetap menatapnya tajam dengan posisi tangan yang siap untuk menembak kepalanya. Michael meliriknya sekilas. Meskipun gelap, pria itu dengan jelas melihat air muka sosok disampingnya itu benar benar tidak terbaca, seakan akan tidak ada satupun hal yang saat ini tengah dipikirkannya. “Aku menemukannya” Evan berdesis lirih. “Aku menemukan cara kita keluar dari situasi ini, jadi cepatnya cari jalan keluar, bocah” bisiknya dengan cepat. Yang diberi komando hanya mengangguk singkat. Terkutuklah baterai ponselnya yang menunjukkan tanda tanda akan mati. “Ya, sebelum aku tahu bahwa kau akan menjadikan mereka monster” Hans akhirnya bersuara, memancing kekehan berat dari sosok dihadapannya. Mereka semua bergerak maju, menggeser inci demi inci yang membuat kelima cucu adam disana sedikit terdesak karena terkepung. Michael sudah siap dengan senapan ditangannya saat Petter bergumam gembira dan menyuarakan kata berhasil. Alih alih menembaki musuhnya, Evan dengan sigap menarik kedua rekannya dan mentitah Michael untuk bergerak mundur. Ainsley dengan kacamatanya sibuk menghabiskan isi senapan demi membunuh bentuk bentuk merah yang terlihat dari kacamatanya. Mereka tertembak, tentu saja. Dalam keadaan yang gelap gulita sekalipun, gerombolan pria yang tadi berhadapan dengan Hans tadi sudah pasti mengeluarkan pelurunya dengan membabi buta. Namun jangan katakan Evan seorang fisikawan muda yang berbakat jika dia lupa hal sepele seperti yang satu ini- Evan yang sudah bertelanjang kaki, tersenyum menyeramkan saat telapak kakinya menyentuh lapisan keramik yang dingin, lalu dirinya dengan sigap melemparkan bola besi yang sebelumnya dicuri dari kantung kantung sipir yang sudah tewas. Kekehannya semakin terdengar saat ia mendengar teriakan kesakitan gerombolan pria yang menggelepar tersetrum di lorong sana. Evan sebelumnya nampak memperhatikan mengapa lorong yang mereka pijaki lebih gelap dibandingkan lorong lainnya dengan kapasitas penerangan yang sama. Ia baru menyadari bahwa lorong tersebut dipenuhi besi besi berkarat yang tentu saja dapat menghantarkan listrik dengan mudah. Terimakasih pada siapapun pencipta granat listrik yang kini menjadi boomerang bagi kaum mereka. Kelima cucu adam itu saling berpegangan satu sama lain. Dikomandoi oleh Petter yang mengikuti arahan dari ponsel pintarnya menuju sebuah kipas angin raksasa, yang bisa menjadi jalan keluar mereka saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD