Chapter 14 - The Reason

1465 Words
Kau tahu apa yang harus selalu mengalir selain darah dan nafas? Bensin. Namun jika kau bertanya tanya apa rumusan dari semua masalah yang saat ini terjadi, jawabannya adalah asap yang mengepul dan suara aneh yang terdengar dari mesin kendaraan beroda banyak yang kini tengah mereka tumpangi. Michael mengerang dalam lelapnya. Terbangun dengan keadaan sekarat dan tubuh memerah karena panas bukanlah pilihan yang baik, mengingat saat ini mereka berlima terdampar di daratan antah berantah dengan tidak memiliki amunisi untuk tubuh sedikit pun. Petter dan Ainsley yang terlelap di samping tubuh lemas Michael ikut terbangun saat terjadi lonjakan yang mendadak. Gadis itu mengusak kelopak matanya pelan, bersyukur penerangan di dalam box cukup gelap untuk penyesuaian matanya, tapi tidak membuatnya merasa seperti orang yang telah kehilangan pengelihatan. Setidaknya gadis dua puluh sembilan tahun itu dapat melihat dengan jelas bagaimana Michael meringis sembari menekan luka di bahu dan tangannya yang telah mereka balut dengan asal menggunakan pakaian Hans. “Ada apa?” suara Petter yang terdengar serak menyadarkan Hans dalam lamunannya dibalik kemudi. Pria yang menjadi alasan mengenai keberadaan mereka semua saat ini itu mengusak wajahnya kasar kemudian turun dan berjalan pelan menuju ketiga rekannya yang terperangkap dalam box hitam berhawa panas. Tangannya menggapai ujung tuas, membuka pengait yang menahan box tersebut terbuka dari samping. Angin segar sedikit demi sedikit mulai menerpa wajah Petter, membuat bocah itu mengela nafas lega setelah sekian lama seakan terkukus bagai udang yang dulu sering dimasak ibunya. Wajahnya yang memerah dan penuh peluh diusak pelan oleh Evan yang menyusul Hans, lalu menyeret ketiga rekannya untuk turun dari sana. “Paman, apakah mobil ini akan meledak?” tanya yang paling muda saat melihat kepulan asap dari bawah dan depan mobil. Evan menggeleng tak mengerti. Berbulan bulan sibuk dengan hal mustahil di ruang kerjanya membuatnya melupakan eksistensi mobil pribadinya yang mungkin kini telah dicuri orang atau hancur begitu saja dimakan usia. Dirinya penasaran apakah saat penangkapan mendadak saat itu, semua harta bendanya disita atau dibiarkan begitu saja oleh kepolisian. Ainsley memakai kembali kacamatanya kemudian turun untuk mengikuti Hans memasuki bangunan tua gothic yang kini halamannya terparkir mobil curian mereka. Visinya mengedar, melihat segala sudut yang dirasanya menarik untuk membawanya masuk kedalam berbagai kilas balik singkat yang membuatnya merasa hidup kembali. Bau khas polusi yang berasal dari debu atau tanah yang bertebaran, ditambah hawa panas dari matahari yang sedang terik teriknya tidak membuat gadis itu merengut sebal. Alih alih menghancurkan suasana hatinya, yang dia rasakan adalah perasaan lega karena seakan telah kembali merasakan dunia yang sesungguhnya. Dunia penuh adrenalin yang selalu ia rasakan semenjak kanak kanak. Dahinya mengerut saat indra penglihatannya melihat genangan air yang dibawa Hans menggunakan ember tua berkarat menuju kendaraan yang kini mereka tumpangi. Pria itu menyiramkan cukup banyak air ke bagian bagian yang dia rasa overheat, meskipun tak mengalami perbedaan karena bagian mesin tidak tersiram, namun cukup untuk membuatnya mendingin dengan memarkirkannya dibawah pohon yang tak jauh dari sana, bersamaan dengan Michael yang dipapah oleh Evan dan Petter untuk masuk kedalam bangunan tua ini dengan perlahan. Semakin lama Ainsley diam disana, semakin ia menyadari bahwa bangunan tua ini adalah bekas gereja yang mungkin akan dimodifikasi menjadi bangunan lain, tapi projeknya tak dilanjutkan. Membuat bangunan yang masih memiliki hawa gotchic- ditambah keberadaannya ditengah tengah padang rumput kering yang hanya memiliki satu jalur panjang dan tidak berpenghuni- semakin mencekam dengan daun daun kering yang berjatuhan dan sarang laba laba yang mengisi setiap sudut. “Ponselku hilang” gumaman kaget dari Petter membuatnya perlahan tersadar dari lamunannya, dan berjalan perlahan ke perapian terbengkalai di salah satu sudut gereja. Tangannya menjulur, menggapai sebuah benda hitam yang disinyalir kotor karena debu bertahun tahun. “Programmu?” tanya Hans yang baru saja kembali setelah mengambil seember air untuk yang kesekian kalinya. Keadaan tubuhnya yang hanya mengenakan celana penuh noda- karena satu satunya fabric yang dia punya itu digunakan untuk menutupi luka Michael yang cukup besar akibat berkali kali memimpin jalan- membuat Ainsley menyadari keberadaan beberapa tattoo yang tergambar rapih di tubuhnya. Perhatiannya beralih. Tak dapat dipungkiri, Michael lah yang menjadi korban paling parah dari adegan pelarian diri mereka. Tergopoh gopoh berlari sembari menggendong satu nyawa, juga berada di posisi depan karena kacamata Ainsley yang menjadi penunjuk target mereka disaat gelap. Keempat orang lainnya pun terluka, tentu saja. Bahkan Petter sekalipun yang selalu berada ditengah dan diusahakan untuk baik baik saja pun, tetap memiliki beberapa bekas luka dengan darah yang sudah mengering. “Programku masih tersimpan di chip” bocah itu menjawab tanpa menolehkan kepalanya pada yang lebih tua. “Chipku masih ada, namun kurasa ponselku hilang saat baku tembak di dekat kipas raksasa atau sekitar tempat dimana kita mencuri mobil” lugasnya. “Omong omong, mobilnya disimpan dimana? Dan apakah kita akan bermalam disini?” tanyanya bertubi tubi. “Kurasa” jawab Hans dengan ambigu. “Kita tidak mungkin meneruskan perjalanan dengan pakaian koyak dan darah dimana mana. Michael pun harus diistirahatkan dengan baik, lukanya harus dibersihkan apabila tidak ingin mengalami infeksi” “Kurasa aku bisa menutup luka koyak yang besar” Ainsley menghampiri dengan membawa benda kotor yang ia temukan di perapian tadi. “tapi sedikit sadis, dan akan sangat sakit” lanjutnya lagi. “Lakukan saja” putus Evan. “Setidaknya manusia yang satu ini tak akan mati karena infeksi” Ainsley mengangguk mengerti, “Aku membutuhkan api”. ---Aldeolos--- “ARGHH!!!” Persetan dengan segala rasa sabar yang menumpuk di diri Michael. Kini lelaki itu tengah terlihat sibuk beradu mulut kembali dengan Ainsley- jangan lupakan jemarinya menggenggam dengan erat surai halus sang gadis, yang menimbulkan ringisan sakit dan kata kata kasar. “Kau ini mau mati ya?” “Kau yang akan membuatku mati, sialan” “Jangan merengek” “INI SAKIT BODOH” Ya.. sejujurnya siapa yang bisa menahan umpatan jika kulitnya disatukan dengan paksa menggunakan sendok yang telah dipanaskan. Rapat memang, tapi sepertinya kulit kulit yang meleleh dan tertarik itu menimbulkan tremor di sekujur tubuh korbannya. Petter menatapnya dengan kasihan. Kedua lengannya ditahan oleh Hans dan Evan, jangan lupakan Ainsley yang dengan tidak sabaran kembali memanaskan besi tersebut untuk menyatukan beberapa luka yang masih terlihat menganga. Dirinya hanya mengulum bibirnya panik. Berdoa kepada tuhan semoga dirinya tak harus mengalami luka dan treatment yang sama. Bergidik, Petter bahkan lebih memilih untuk melihat dari jauh setelah mengelap luka luka Michael dengan air yang dibawa Hans beberapa saat yang lalu. Perut Michael mengejang. Tarikan nafas susah payahnya terdengar, sesekali terbatuk karena dirinya tidak bisa mengontrol nafas dengan baik. Gadis berdarah campuran disampingnya menatap hasil karyanya dengan senyum puas. Berkebalikan dengan si korban yang mendelik tajam kemudian menghempaskan kedua tangan yang sebelumnya mengukung lengannya agar tak bergerak. Ia menyodorkan pakaian yang sebelumnya digunakan untuk membalut bahunya, menggumamkan terimakasih kepada Hans kemudian berlalu begitu saja untuk duduk menyandar di salah satu dinding. “kau tahu, Hans?” ujarnya dengan mata terpejam dan nafas yang masih tersenggal. “aku berterima kasih, tentu saja. Tapi sejujurnya ucapan teman anehmu di penjara sialan itu dan panggilan Hansel membuat rasa curigaku semakin besar padamu” “Karena namaku Hans?” “Karena kau memang mencurigakan, bodoh” umpatnya. Apakah ucapannya terlalu bertele tele hingga pria jangkung itu menjawab pertanyaannya dengan bodoh jika dibandingkan dengan wajah seriusnya. “kau pikir orang sinting mana yang akan bunuh diri demi mengeluarkan narapidana tingkat satu seperti kami?” Petter mengangguk polos sedangkan Evan dan Ainsley saling bertatapan dengan air wajah yang tidak tertebak. “Hm… bagaimana ya aku menjelaskannya” gumam Hans sembari meluruskan otot ototnya yang kaku. “Singkatnya begini, pemerintah bekerja sama dengan ilmuan dan pihak berwenang yang bisa menjebloskan kalian ke penjara untuk menciptakan entitas baru dengan tujuan kepentingan pribadi” pria yang satu itu ikut beringsut mendekati tembok terdekat agar punggung lelahnya setidaknya memiliki penopang setelah perjuangan yang cukup panjang. “Mereka akan menciptakan senjata biologis” “Senjata biologis itu apa?” jangan hakimi Petter jika kalian pikir mengapa bocah jenius yang satu ini tak mengerti apa yang dimaksud oleh Hans. Umurnya sebelum masuk kedalam lubang sialan itu hanya tiga belas tahun. Pun anak umur tiga belas tahun mana yang berminat untuk mengerti hal hal seperti itu. Setidaknya untuk Petter. “Hm… pembuatan senjata yang menggunakan pathogen, kurasa? Aku bingung bagaimana penjelasannya, tapi intinya senjata biologis bukanhanya berupa organisme pathogen, melainkan juga toksin berbahaya yang dihasilkan suatu organisme untuk melumpuhkan siapa saja” “Seperti di film zombie? Zombie virus menyerang manusia dan membuat manusia menjadi monster?” “Kurang lebih seperti itu” jawab Hans dengan lembut. “Aku akan menjelaskannya lebih lanjut, setelah kita beristirahat” tukasnya setelah melihat Evan yang terlihat jelas ingin menyeruakan banyak pertanyaan. “tapi satu hal yang ingin aku tanyakan pada kalian” lanjutnya lagi sebelum ia merebahkan diri di ubin kotor dan dingin disana. “Kalian ingin menjadi buron yang terus dikejar dimanapun, atau buron yang bersembunyi dan mati kelaparan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD