Chapter 9 - Kembali ke Titik Awal

2351 Words
“Uhuk uhuk!!!”   Pria itu terbatuk dengan keras, kemudian terengah engah sembari menjatuhkan dirinya di lantai yang basah. Ada apa ini? Mengapa dirinya kini menjadi pusat perhatian pria pria berbadan besar yang beberapa diantaranya memiliki air seember penuh.   “Katakan dimana pria yang tadi bersamamu!” Rambut bagian belakangnya ditarik. Evan dengan paksa ditenggelamkan kedalam bak mandi yang ada di kamarnya. Kepalanya diinjak dengan keras oleh salah satu diantara mereka. Kedua tangannya dijegal agar Evan tak dapat membela dirinya. “KATAKAN DIMANA DIA”   Beberapa porsi air sudah masuk melalui hidungnya. Pandangannya berkunang kunang, ia bahkan memuntahkan banyak air saat kepalanya ditarik keluar untuk dipukuli berkali kali.   “Aku tidak tahu”   “Kau pikir kau siapa berani menipuku, hah?”   “AKU TIDAK TAHU” Suaranya meninggi. “Kau pikir jika aku tahu dimana ia sekarang, aku akan kembali masuk kedalam sini, hah? Orang orang sinting ” Kepalanya lagi dan lagi menjadi sasaran empuk untuk dihantam. Pria itu bahkan sudah tak bisa merasakan beberapa bagian tubuhnya karena hantaman yang terlalu keras.   “Kita pindahkan saja orang sialan ini” Salah satu sipir membuka suara. Sedangkan pria yang menjadi lawannya menggerakkan kepala dengan gesture meminta penjelasan. “Kita pindahkan dia ke sel lain. Kita tak tahu sudah apa saja yang ia lakukan di sel ini. Jika si b*****t ini berhasil lolos lagi, kita yang akan mati, kau tau itu kan?”   Pria pria yang lain mengangguk menyetujui. Tubuh Evan diseret begitu saja layaknya sampah. Michael dan Petter yang selama ini belum pernah melihat wajahnya- karena sel dia berada di paling luar- sedikit tercengang kaget melihat banyaknya luka dan darah yang ada di tubuh dan pakaiannya.   Begitupun Evan. Dirinya yang belum pernah melihat tahanan lain, dikejutkan dengan bagaimana cara Ainsley hidup selama di kurungan ini. Tak heran mengapa Hans menyebutkan bahwa gadis itu tak bisa apa apa walau kemampuannya jauh diatas rata rata.   Kini ia dilemparkan begitu saja di sel yang baru. Berada paling dalam jika dibandingkan dengan tahanan tahanan lainnya yang ada di ruangan tersebut. Ia mengerang kesakitan. Merayap menuju tempat tidur, lalu terlelap begitu saja, tanpa peduli dengan darah darah yang akan mengering di pakaian dan tubuhnya.     ---Aldeolos---       Kini penjagaan ruangan mereka semakin diperketat. Biasanya para sipir hanya akan bolak balik masuk ruangan untuk memberikan keperluan makan dan pakaian, karena berpikir bahwa ruangan mereka diawas ketat oleh kamera, kini menjadi full dijaga selama dua puluh empat jam, dengan tiga sipir yang mengawas secara bergantian.   Petter terlihat mengigiti kuku ibu jarinya. Menatap tak nyaman pada sudut yang ia yakini berisi para sipil. Seakan akan hidupnya yang selama ini sudah terkurung, menjadi semakin terkurung.   Ini entah sudah jam keberapa, atau hari keberapa semenjak acara pelarian diri Evan dengan pria misterius bernama Hans waktu itu. Petter yang mencoba mengetahui jam dengan cara menghitung detik tiap detiknya, digagalkan dengan kantuk yang mendera amat sangat parah, hingga dirinya sendiri tak sadar bahwa ia tertidur.   “Halo?? Apakah seseorang mendengarku??”   Tak ada jawaban.   “Kumohon.. kepalaku sangat sakit. Aku membutuhkan obat” Lagi dan lagi tak ada jawaban. Satu satunya manusia dibawah umur disana sedikit bergemetar, takut apabila ia membuka suara, mengucapkan apa yang ada di dalam kepalanya, semuanya akan menjadi lebih berantakan.   “Kurasa mereka tidak ada disini, Petter” suara Michael terdengar serak. Sepertinya pria itu terbangun tiba tiba saat mendengar suara Petter yang cukup keras saat memanggil para sipir tadi.   “Kau yakin?”   “Ya. Aku belum mendengar suara pintu terbuka semenjak mereka meninggalkan ruangan ini dua puluh menit yang lalu”   “Tapikan kau tertidur”   “Aku sensitif terhadap suara”   “Benarkah?”   “Petter” suaranya mendatar. Baiklah, terimakasih pada rasa sabarnya yang terlatih selama ia hidup di panti. Setidaknya pria itu tak akan mencaci bocah menyebalkan seperti Petter. Sedangkan yang menjadi subjek malah terkekeh geli sembari mendekatkan dirinya ke jeruji di selnya.   “Pssttt psstt paman ilmuan”   “Berisik, bocah”   “Kakak diam saja!!”   “Hey, kenapa wanita jalang itu kau panggil kakak, sedangkan aku dipanggil paman!?”   “Kau mau mati ya, b******k???”   “Bisakah kalian tenang? Kurasa kepalaku semakin hancur setelah mendengar keributan kalian” Suara sahut sahutan milik Micha dan Ainsley memang cukup keras untuk membuat Evan terbangun dari tidur -atau mungkin pingsan-nya, dan membuat Petter tersenyum simpul karena semakin yakin dengan ketidakberadaan para sipir di ruangan mereka.   “Paman ilmuan, aku akan berbicara dengan pelan, jadi tolong dengarkan baik baik”   “Hey, cara bicaramu kenapa mengikuti si b******n itu?” Hans adalah b******n yang dimaksud oleh Evan. “Ughh.. bukan itu intinya. Sepertinya paman yang kemarin benar benar mencoba membantu kita keluar” lanjutnya lagi masih dengan suara berbisik.   Ruangan menghening selama beberapa sekon. Yang lain mencoba memasang telinganya baik baik, sembari antisipasi jika mereka terlalu ribut, akan dengan mudah diketahui oleh para penjaga.   “Apa maksudmu, bocah?”   “Coba pegang lehermu, paman. Sepertinya aku melihat chip buatanku tertanam di lehermu” Evan menuruti. Ia meraba beberapa bagian lehernya, kemudian berhenti di titik dimana rasa ngilu masih menjalar hingga ke urat urat di kakinya. Titik luka hasil injeksi yang diberikan Hans saat itu.   “Bisakah kau mengeluarkan chip itu lalu memberikannya padaku?” Petter kembali bersuara setelah beberapa menit tak ada tanggapan dari pria yang diajaknya bicara. “Kau bisa lapisi chip itu dengan apapun, tidak boleh kotor atau itu akan tidak berfungsi dengan semestinya. Lalu lemparkan ke sel kakak mafia. Nanti kakak perempuan itu akan melemparkan pada paman pembunuh berantai, lalu paman itu akan melemparkannya padaku”   Baiklah. Lupakan soal Michael akan bersikap sabar, karena kini sepertinya perempatan imajiner telah muncul di dahi pemuda tampan itu. “jaga bicaramu, anak kecil”   Petter dan Michael saling menggerutu dengan suara kecil. Suara bariton milik Michael beradu dengan suara serak khas anak puber milik Petter. Belum lagi apabila Petter meninggikan nada suaranya, itu lebih terdengar seperti lumba lumba yang sedang berkomunikasi.   “Bagaimana caranya aku mengeluarkan chip ini? Dan gadis itu tak akan bisa melakukan apa yang kau suruh, bocah” suara Evan kembali terdengar. Kini dirinya sibuk mencari cara bagaimana melukai dirinya sendiri demi mengeluarkan chip tadi. “Hey, bukankah jika chip ini telah masuk tubuhku, itu artinya chip ini sudah kotor”   “Tidak masalah apabila tidak tergores. Jika hanya terlumuri darah, bagian metalnya tidak akan damage. Apabila saat dioper nanti bagian metalnya tergores karena tidak dilapisi, itu hanya akan menjadi hal yang sia sia” Jawabnya. “Lagi pula kenapa kakak mafia tidak bisa mengoper chipnya? Apakah kakak sudah lumpuh?”   “….”   “Mungkin bisa dibilang ini lebih parah dari lumpuh selama aku masih berada disini” Ainsley menjawab setelah jeda sekian lama. Sepertinya tak berguna juga apabila ia marah marah pada bocah yang satu itu. Toh ia hanya menanyakan segala sesuatu yang menjadi ujung rasa penasarannya, khas pikiran para bocah.   “Siapa namamu?”   “Hm? Aku? Petter” lugasnya sembari menunjuk diri sendiri.   “Apakah chip ini bisa membuat kita keluar dari sini?”   “Tidak, tapi bisa membantu cukup banyak. Chip ini akan kumasukan ke mesin sialan itu” tunjuknya pada mesin yang mengatur sandi jeruji mereka. Mesin sialan pembuat angka acak sebanyak delapan angka, yang akan terganti dengan acak pula setiap sepuluh menit sekali. “Jika paman yang kemarin benar benar datang membawa disk dan ponsel yang kusuruh, kurasa itu akan menjadi game over untuk penjara ini. Cukup sulit, namun bukan berarti aku tak bisa”   Evan mengangguk dalam diam. Dirinya bergegas mengitari ruangan ini meskipun tertatih. Mencoba mencari hal apapun yang bisa membantunya mengeluarkan chip dilehernya, meskipun ringisan selalu muncul dari bibirnya.   “Kuharap kau tidak melupakanku, Petter”     ---Aldeolos---   Jika ada orang yang akan menjadi korban pembunuhan pertama oleh si Fisikawan muda yang menjadi momok bagi pikiran kusutnya, maka jawabannya adalah dirinya sendiri. Sebut saja dirinya impulsif- nyatanya kejadian dimana ia meninggalkan Evan beberapa jam yang lalu setelah melakukan injeksi, merupakan hal yang dampaknya tidak ia pikirkan terlebih dahulu. Dirinya entah kenapa berpikir bahwa dengan memasukkan chip itu lebih cepat kedalam penjara itu, maka semakin cepat pula bocah jenius yang ada di sana membuat beberapa skenario pembobolan. Meskipun banyak situasi yang dirinya belum tahu, setidaknya Petter dapat dengan mudah mengeluarkan dirinya sendiri dari dalam sel. Namun sebut Hans kelewat bodoh, karenanya nyatanya dirinya kini hanya termenung di sebuah café mahal dengan likuid hitam pahit di tangan kanannya sembari mengacak acak rambutnya gusar. Ia lupa perihal niat awal mengeluarkan Evan, selain menjadi ‘kurir’ untuk chip itu, dirinya juga merupakan orang yang akan bertanggung jawab dengannya dalam misi mencuri disk dan ponsel pintar milik Petter dari rumahnya sendiri. Setidaknya membantunya berpikir bagaimana menyelinap kedalam sana tanpa membuat keributan. Ia mengigit pelan makarun warna warni yang dibelinya beberapa saat yang lalu- mengunyah hanya menggunakan gigi depannya seperti tupai sembari mengulur waktu untuk berpikir. Dirinya memang tidak bisa bila disuruh berpikir keras tanpa melakukan apapun. Biasanya pulpen atau pensil di meja kerjanya yang akan menjadi korban. Jika dirinya akan membobol begitu saja, sebenarnya bisa saja. Dirinya tak peduli akan kembali ke penjara sana dengan title baru yaitu sebagai buronan dengan kejahatan mencuri ponsel, namun demi Tuhan- inilah kali pertamanya melakukan aksi aksi diluar lingkungan nyamannya. Sepertinya panggilan sok heroik dari dalam dirinya membuat pria itu lagi dan lagi bertindak impulsif. Potongan kolase tercipta secara imajiner di kepalanya. Berbagai macam adegan tersetel di pikirannya, mencoba membuat lakon yang sekiranya bisa dilakukan untuk masuk ke salah satu ruangan di apartemen mahal sebrang café ini. Kini kaki jenjangnya melangkah keluar. Merapihkan jas semi casualnya juga memasang senyum simpul untuk setidaknya menciptakan citra bahwa dirinya bukan orang miskin yang untuk apa masuk ke dalam kawasan apartement mahal seperti ini. Tubuhnya bergerak dibawa otak menuju pos dimana para penjaga sedang melahap sarapannya sembari bercanda tawa. “Pagi pak, apakah ada paket untuk saya?” “Sepertinya kami baru pertama kali melihatmu. Nomor apart berapa?” “606” baiklah. Doakan bahwa otaknya bisa berkerja secara cepat untuk mencari banyaknya jawaban diantara peluang yang mungkin saja bisa menyebabkan kesalahan fatal nantinya. Ekspresi para pria dihadapannya ini tertebak. Bahwa sepertinya kamar no 606 memiliki penghuni. Dirinya sedari awal bertanya hanya untuk berjaga jaga. Namun sepertinya itu kesalahan yang cukup fatal. “Apakah dirimu salah mengenali nomor? Nomor 606 sudah diisi sepasang suami istri sejak lama, kami mengenalnya” “Ah, saya tidak tinggal disitu. Saya dan suaminya merupakan rekan kerja. Dirinya berkata bahwa paket untuk saya sudah dititipkan di sini. Apakah benar?” “Ah.. anda rekan kerja tuan James ternyata. Tapi beliau tidak menitipkan apapun tiga hari yang lalu” “Ahahaha baiklah. Sepertinya saya akan bertanya langsung saja, terimakasih” Hans membungkukkan sedikit badannya kemudian bergerak natural memasuki elevator yang membawanya ke lantai enam. Terimakasih pada salah satu diantara pria tadi yang menyebutkan nama pemilik kamar bernomor 606- setidaknya membawa sepasang kaki ini dengan mudah terduduk di ruang tamu hanya bermodalkan kalimat rekanan kerja. Jika ada yang akan menertawainya dengan puas saat ini, itu adalah malaikat juga setan atau mungkin para dewa- entahlah apa itu, dirinya tak cukup baik untuk mengerti hal hal mengenai keagamaan yang tidak terlalu dipercayainya- tentang bagaimana dirinya kembali merutuki kebodohannya mengenai tidak membawa Evan- baiklah, atau mungkin Petter. Dirinya tak mempunyai banyak alasan untuk membuat wanita paruh baya ini menghilang sebentar dari ruang tamu dan memudahkannya untuk menyelinap ke kamar 607 melalui balkon. Otaknya bekerja dengan keras. Kini Hans mengumpat sembari menyerukan dimana sifat impulsifnya yang terkadang menguntungkan itu. Dia butuh suatu ide untuk membu- ah.. Kini senyum manis bisa dengan mudah terpatri di bibir menawannya. “Maam, bukankah itu anakmu?” tangannya terjulur untuk menunjuk sebingkai foto besar dengan telapak tangannya. Such a good manner. “ Betul sekali” jawabnya dengan lembut. Jika diperhatikan, wanita ini benar benar bak putri rendah hati dari keluarga bangsawan, atau mungkin keluarga kerajaan. Bagaimana dirinya tersenyum, bagaimana tutur katanya yang teratur dan lembut, bagaimana cara beliau menatap. Setidaknya ada beberapa titik dari diri Hans yang sedikit menyesali perbuatannya menipu manusia baik hati ini. “Suamiku jarang membicarakannya, ya? Dia memang sedikit pemalu kepada orang lain” lanjutnya lagi. Hans terperangah, terkekeh kecil kemudian menyesap teh bunga berwarna cantik yang telah disajikan “ya, kurasa beliau memang cukup pemalu” jawabnya. Pria itu baru menyadari bahwa pria bernama James yang menjadi sosok tumpuannya kini merupakan pria yang sudah cukup tua. Sekiranya tujuh sampai sepuluh tahun lebih tua dari dirinya. “Maam, apakah kau tidak khawatir? Kudengar ada kasus penembakan di Universitas tempat anakmu belajar” yang sontak saja membuat air muka dari wanita di hadapannya ini berubah. Sudah setahun ini memang terjadi tiga penembakan di tiga instansi pendidikan berbeda. Satu diantaranya dilakukan oleh muridnya sendiri akibat pembulian, disusul dua diantaranya merupakan orang b******n yang merasa bahwa kejadian tersebut patut dilanjutkan. Wajar saja apabila ibu satu anak itu langsung percaya begitu saja. Dirinya tergopoh pergi dari sana menuju kamarnya untuk menghubungi putrinya setelah sebentar pamit kepada Hans, yang tentu saja diangguki dengan senang hati. Lima menit. Hanya lima menit yang dirinya perlukan untuk mencuri disk tersebut. Ia dengan hati hati membuka pintu kaca yang menghubungkannya dengan beranda, sembari berdoa semoga aksi lima menitnya ini tak terpantau oleh siapapun dari beranda yang lain. Toh ini hari kerja dan masih pukul sebelas pagi. Orang orang masih sibuk di tempat kerjanya masing masing dan belum masuk ke jam makan siang. Jarak antar satu balkon dengan balkonnya yang lain cukup jauh baginya. Jarak yang harus dilompatinya cukup membuatnya meneguk air liur dengan susah payah. Namun waktu tak ingin bersahabat dengannya juga dewi keberuntungan yang belum tentu singgah di pundaknya. Dirinya melompat sekuat tenaga, sedikit terpeleset karena kakinya terlalu panjang ketika ingin menapaki pinggiran balkon, namun syukurlah tangannya mampu untuk menahan beban tubuhnya, setidaknya tak membuatnya mati terjatuh dari lantai enam, namun tetap membuat sedikit keributan. Ia memperhatikan kunci balkon yang ternyata masih terpasang apik di balik pintu. Tersenyum sumringah lalu melepaskan kalung yang dipakainya. Memasukkan ke lubang pintu hingga bandulnya mengait ke kunci, lalu dengan mudahlah ia bisa membuka pintu tersebut. Kakinya mencoba melangkah dengan pelan, tak membuat suara apapun sembari mencari disk dan ponsel yang Petter maksud. Namun, sebuah suara khas perempuan tiba tiba terdengar, dan membuat tubuhnya membeku untuk sejenak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD