Chapter 8 - Pria Misterius Bernama Hans

1868 Words
“Kau pikir aku akan mempercayaimu begitu saja, paman?”   Yang dipanggil paman menggaruk dahinya sedikit, setidaknya berhasil untuk menahan rasa kesalnya saat ia dipanggil dengan sebutan untuk orang tua seperti itu. Ayolah, dirinya tahu bahwa umurnya dengan bocah sialan itu memang cukup jauh, tapi tak harus memanggilnya dengan sebutan sialan itu kan.   “Dengarkan aku, Petter. Waktu ku tidak banyak untuk terus berceloteh disini. Biarkan aku mengetahui dimana semua perangkatmu, lalu aku akan membantu kalian semua bebas”   “Aku rasa kau tak memiliki pendengaran yang buruk, paman. Kubilang semua perangkatku pasti disita polisi”   “Dengarkan aku, aku hanya memiliki waktu kurang dari sepuluh menit sampai semua sipir sialan itu kembali kesini untuk mengawasi kalian. Aku butuh kepintaranmu, Petter. Untuk mengeluarkan kalian semua”   “Lalu kenapa kau hanya akan mengeluarkan paman ilmuan itu saja hari ini?” Evan yang sedari tadi hanya menjadi saksi perdebatan, langsung mendelik saat mendengar panggilan yang disematkkan kepada dirinya.   “Baik, aku akan berbicara dengan cepat, jadi kalian semua dengarkan aku baik baik, dan jangan menghadapku jika kalian ingin ini berhasil. Aku ada di titik buta kamera. Mereka akan curiga jika kalian semua terlihat berbicara ke satu arah yang sama” Menurut, satu persatu dari mereka menyamankan posisinya. Seakan akan mereka hanya berkutat dengan kegiatannya masing masing.   “Kau harus tetap berada disini, Petter, hingga aku bisa mengeluarkan kalian semua nantinya. Aku amat sangat membutuhkan kejeniusanmu. Aku tidak bisa membawa Michael keluar saat ini karena dia tak akan membantuku menemukan jalan keluar dari kotak besi b******n ini, dan Ainsley sama sekali tak bisa apa apa” celotehnya dengan cepat. Matanya terus memperhatikan detik yang bergerak di jam tangan mewahnya.   “Apa maksudmu dengan tak bisa apa apa? Aku dengar dia cukup bisa membunuh orang lain” Suara Michael tak terdengar kasar seperti biasanya. “Dan jika kau butuh kejeniusan Petter, bukankah artinya kau harus mengeluarkannya terlebih dahulu” Ya.. baiklah. Dirinya memang mengakui bahwa ia tak memiliki kepintaran apapun untuk membantu mereka semua dalam melarikan diri.   “Penjara ini lebih rumit dari bayangan kalian. Bahkan kalian akan sangat terkejut ketika tahu dimana penjara ini berada. Petter akan membantuku mengenai sistem disini, sedangkan Evan akan keluar bersamaku kali ini dengan mencari jalan keluar baru yang manual. Aku membutuhkan kemampuannya dalam membuat bom dengan bahan seadanya” hembus napasnya terasa penuh dengan beban. “Namaku Hans, dan aku akan dengan sangat yakin bisa mengeluarkan kalian semua jika kalian mau bekerja sama. Jadi tolong, Petter. Tunjukan dimana perangkatmu berada. Aku tahu kau tak bodoh untuk menyimpan semua perangkat penting di satu tempat”   Yang didesak menelan air liurnya susah payah. Jangan salahkan dia. Dirinya hanya berusia enam belas tahun saat ini, namun sudah diberikan pilihan yang begitu ambigu. Dirinya ingin keluar dengan bebas dari sini. Ia ingin kembali bertemu dengan orang tuanya, dengan kakek neneknya yang amat sangat ia rindukan. Namun disisi lain, ia tak tahu apa maksud pria ini. Mengapa ia mati matian berusaha mengeluarkan mereka dari sini. Toh sependengaran Petter, tak ada satupun dari narapidana di ruang itu mengenali pria yang menyebut dirinya sebagai Hans itu.   “Kumohon, Petter”   Petter menghela nafas ragu- “Ada di grand piano di kamarku. Semua perangkatnya terinstal dibalik keyboard. Ada sebuah disk berwarna biru yang kusembunyikan disana. Cukup tancapkan disk itu perangkatnya, maka semua data milikku akan tercopy dengan sempurna” gumamnya. “Lalu dibawah grand piano, ada ponsel milikku. Bawa itu, karena perangkat yang lain cukup repot dipindahkan”   “Kau tak memiliki laptop?”   “Kurasa semuanya disita”   “Oke, hanya disk dan ponsel, kan? Aku akan kembali lagi nanti, Petter” Kemudian dengan sigap dirinya menaruh sebuah lempengan plastik yang bersikan sidik jari entah milik siapa, menekannya ke alat khusus kemudian penutup stekker yang merupakan awal dari arus listrik jeruji keluar mulai terbuka. Dirinya mematikan stekker tersebut, membuat listrik yang awalnya memenuhi lempengan besi di sel, kini menjadi menghilang. Ia dengan cepat memasukan bantalan kecil, yang membuat stekker tersebut tak akan naik dengan maksimal walaupun nantinya kembali dihidupkan, membuat listrik listrik tak akan kembali apabila stekker sudah dalam keadaan hidup.   “Para sipir tak akan ada yang menyadari jika jeruji kalian sudah tak berlistrik, karena tak terlihat. Tapi pastikan kalian bersandiwara apabila tak sengaja menyentuh selnya” Hans kemudian mengeluarkan sebuah lempengan panjang berwarna kekuningan, menyelipkannya di alat dimana para sipir biasa memasukan angka sandi. Asap tipis mulai mengepul dari balik mesin, tak lama kemudian menggelap, kemudian sel milik Evan terbuka secara otomatis. Menimbulkan ringisan dari Hans karena suara besi tua menghasilkan bunyi yang cukup nyaring, ketakutan akan ketahuan sedikit melingkupi dirinya.   “Aku akan kembali, Petter” katanya sebagai ucapan pamit terakhir kali sebelum menarik Evan keluar dan mengendap endap, menyisakan tiga cucu adam dengan pikiran berkecamuk tentang kejadian yang mereka alami hari ini.   Disisi lain, Evan terkesiap saat melihat tiga orang sipir sedang berbincang dan berjalan menuju mereka. Hans menariknya kemudian sama sama bersembunyi dibalik lorong, sebelum kepalan tangannya menghantam dengan keras wajah si sipir. Evan dengan sigap membekap dua orang lagi dari belakang, untuk meminimalisir kegaduhan yang mereka buat. Menendang salah satu rusuknya, kemudian memelintir leher salah satu sipir hingga tak sadarkan diri.   Satu lagi sipir yang mencoba menembakan senapannya, namun gagal karena Hans menyuntikkan sesuatu di sekitar pundaknya, yang tak lama kemudian membuatnya tak dapat menggerakan sendi sendinya, atau berbicara. Nafasnya terasa sesak, lalu tak sadarkan diri.   Mereka kemudian bergerak susah payah, mencoba menyeret pria pria tadi untuk disembunyikan meskipun mereka sedikit kesulitan karena titik buta kamera yang tak banyak. Belum lagi orang orang di operator akan menyadari apabila para sipir tadi tak kembali dalam waktu yang cepat.   Mereka yang awalnya hanya mencoba menyembunyikan sipir sipir tadi, kini berubah rencana menjadi menyamar setelah mengetahui bahwa wajah dibalik topeng yang selama ini Evan lihat dari para sipir adalah palsu. Hans yang tidak sengaja menarik wajah sang sipir, cukup terkejut saat tangannya ternyata menarik sebuah silcon berbentuk wajah. Ditambah dengan fakta bahwa wajah asli para sipir ternyata berbeda jauh dengan silicon silicon yang dipakai. Jadi, dibalik wajah aslinya, para sipir menggunakan silicon wajah palsu yang berbeda beda setiap orangnya, kemudian melapisinya lagi dengan topeng yang sama pada setiap sipir.   Mereka bergegas melucuti beberapa lapis pakaiannya, kemudian memakai seragam si sipir, tak lupa dengan siliconnya. Mengambil senjata yang tadi tergeletak sembarangan, kemudian bersikap seakan akan dirinya memanglah sipir biasa.   Perubahan rencana besar besaran dimulai.   Mereka berdua yang awalnya akan mencari jalan keluar sendiri, kini memiliki ide untuk keluar dengan cara para sipir itu keluar dari sana. Hans memperkuat ide tersebut dengan fakta bahwa sejujurnya tempat mereka tinggal saat ini merupakan tempat tergila yang pernah Hans tahu. Dan mencari jalan keluar baru merupakan hal yang cukup sulit.   Mengingat Hans mengendap endap masuk kesini dengan cara mengkhianati seseorang.   Mereka berdua kemudian beralih menuju ruang operator, dengan tak banyak berbaur, mereka duduk di kursi masing masing. Puji tuhan tentang seragam yang memiliki label nama didalamnya, setidaknya mereka tak perlu bingung untuk menipu tentang mereka yang melupakan nama dan letak meja kerja mereka sendiri.   “Kenapa kalian berdua ada disini? Dimana Joshua?” Pria asing yang tentu saja tak dikenali oleh mereka berucap   “Tak ada yang perlu diperhatikan lagi dengan para narapidana. Mereka sibuk dengan urusannya masing masing” Hans dengan sedikit terbatuk, alibi rendahan tentang perubahan suaranya- menjawab. Berkomat kamit dalam hati semoga pria tadi tak berlajut menanyakan segala macam hal kepada mereka.   Pria tadi hanya menangguk angguk tak peduli. Ia mengeluarkan cerutu mahalnya, kemudian berlalu pergi dari ruangan. Hans langsung mengomandoi rekannya itu untuk mencari tahu bagaimana denah bangungan, serta prosedur dalam pembebasan Ainsley. Yang tentu saja membuat Evan mengerenyitkan dahinya dibalik topeng silicon. Kenapa pria tinggi dihadapannya itu selalu menyebutkan ‘cara mengeluarkan Ainsley’ dalam setiap misinya.   Bukankah hanya tinggal melakukan hal yang sama seperti pada dirinya tadi?   Decakan penuh rasa geram masuk ke indra pendengaran Evan. Dirinya dengan jelas dapat melihat bahwa pria itu bergumam sebal mengenai komputer yang harus diakses oleh retina dan sidik jari dari operator atau sipir.       “Dengarkan aku, Evan” suaranya mengecil, bahkan lebih menyerupai dengan berbisik.  “Kita akan keluar dengan cara sipir biasa keluar, dengan rute yang biasa mereka tempuh. Kita berada di kedalaman yang cukup jauh, hanya perlu keatas, kemudian kita bisa kabur sembari memikirkan rencana selanjutnya untuk menolong yang lain”   “Tunggu sebentar” Evan curiga. Tentu saja. Itu hal yang amat sangat wajar. “Kau…” katanya sembari memberi jeda. “dari mana kau tahu tentang jalur yang biasa dipakai para sipir? Siapa kau sebenarnya?”   “Demi tuhan, Evan. Akan kujelaskan saat kita keluar nanti. Waktu kita tidak banyak”   Hans dengan mudah menyeretnya menuju lorong lorong yang ia tak mengerti. Hingga sampai disebuah pintu dengan kode akses retina dan sidik jari yang harus dimasukkan. Evan melihat seorang sipir datang untuk menyapa, sebelum akhirnya ia bergeletak tak berdaya dengan darah yang mengujur dari mulut dan hidung akibat hantaman benda tumpul.   Evan mengarahkan jarinya untuk masuk ke sensor sidik jari, membuka matanya, kemudian pintu tadi terbuka. Mereka menyeret masuk sipir tadi atas arahan dari Hans yang berkata bahwa ruangan gelap itu tak memiliki cctv didalamnya.   Memang tak ada kamera pengintai, namun ruangan yang tidak memiliki setitikpun cahaya tidak memudahkan mereka.   “Tetap disampingku, Evan. Jika kukatakan berjalan lima langkah, maka kau akan berjalan lima langkah, mengerti?” Evan hanya mengangguk walau banyak tanda tanya bermunculan di kepalanya. Ia terus mengikuti petunjuk Hans hingga tangannya menyentuh benda lebar yang terasa dingin.   “Ini sudah dipojok ruangan, kita hanya tinggal berjalan empat langkah ke arah serong kanan”   Sembari berjalan mengikuti arahan Hans untuk tetap disampingnya, Evan bersuara- “Jika kau tahu rutenya, kenapa kau tidak berjalan biasa saja? Maksudku jika instingmu tak baik, kau bisa meraba raba, bukan?” Mereka kini sudah membuka pintu ruangan tersebut. Sebuah elevator dengan lampu yang redup muncul di hadapan mereka.   “Ya, jika ruangan tadi hanya berisi labirin biasa” Angka angka di elevator menunjukan bahwa mereka ada di lantai tiga puluh tujuh. Tiga puluh tujuh lantai lagi menuju keatas untuk bisa keluar dari sana. “Labirin tersebut memiliki sistem sensor gerak yang baik. Apabila kau melangkah lima langkah, sedangkan seharusnya empat langkah. Atau misalnya langkah kakimu terlalu lebar, dinding labirin tersebut akan bergerak sendiri. Apabila sudah tersesat, maka akan sulit untuk menemukan jalan keluar karena keadaan gelap gulita dan dinding yang terus bergerak”   “Bagaimana kau bisa tahu?”   Hans hanya melirik sendikit. Beranjak keluar saat pintu lift sudah terbuka di lantainya, melepas topeng silicon mereka kemudian menarik Evan untuk mengendap endap pergi dari sana.   Ilmuan pintar itu sedikit tersandung. Terjatuh, lalu secara tak sengaja berbalik untuk mengetahui dimana sebenarnya mereka berada selama ini. Ternyata bangunan yang mengurungnya selama dua tahun kebelakang, terletak tepat di bawah gunung api yang sudah tidak aktif. Baru saja pria itu akan berbalik untuk kembali berlari, namun sebuah moncong dingin dari senapan Hans menyapa pelipisnya.   Belum sempat Evan memproses, Hans sudah menancapkan alat injeksi yang cukup besar hingga membuatnya berteriak kesakitan. Refleks yang cukup kuat karena ia bahkan seketika lupa bahwa dirinya mungkin sudah diketahui telah melarikan diri, dan kini sedang dalam masa pengejaran.   Pandangannya menghitam, dan hal terakhir yang bisa ia lihat sebelum jatuh pingsan adalah- “Evan, i’m really sorry” Hans yang berlari menjauhi dirinya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD