Chapter 20 - Few Hours Earlier

1136 Words
Keadaan menjadi cukup ricuh saat sepasang suami istri yang tak terlihat kaya raya itu ditarik paksa oleh beberapa orang berbadan besar sembari menghentak dengan sangat kencang. Bisik bisik semakin keras terdengar, bahkan beberapa orang sudah mengeluarkan ponsel edisi terbaru mereka untuk setidaknya merekam hal yang ada dihadapan mereka saat ini. Entah untuk koleksi pribadi atau disebar yang berawal dari grup berisikan empat sampai lima orang hingga biasanya akan meluas ke seantero negara, bahkan dunia. Kebanyakan orang saat ini hanya menggunakan alat elektronik mereka sebagaimana mestinya sesuai dengan apa yang biasa digunakan pada orang pada umumnya. Ah mungkin selain itu, saat ini gadget pun bisa dijadikan sebagai ajang untuk pamer identitas mengenai siapa dirinya yang bahkan sejujurnya tak banyak orang yang ingin tahu jika dirinya memang bukan siapa siapa. Namun berbeda dengan bocah yang kini menatap keributan dengan wajah yang datar. Ekspresi, ucapan, hingga kepanikan yang dipancarkan oleh kedua orang yang berlagak menjadi pasangan itu terlihat sangat natural. Entah dirinya yang mudah dibodohi atau kedua orang itu yang memang pandai mengambil peran. Semua aktingnya yang sedang dilakukan saat itu menyeret bocah satu ini kedalam beberapa jam yang lalu. Fase dimana mereka semua baru saja sampai ke Texas dan memakan sarapan terlalu paginya disebuah pasar tradisional pinggir pantai yang indah. Bukannya enggan untuk menikmati pagi yang indah disertai matahari terbit dari sana, namun puluhan merpati yang menatap roti panggangnya dengan tatapan tajam membuat bocah enam belas tahun itu risih dan berakhir ketakutan hingga mengkerut disamping pria yang paling tua. Keempat manusia lainnya hanya memandang malas pada burung burung yang terbang disekitar mereka tanpa peduli jika paruh paruh itu akan menghantam beberapa bagian wajahnya demi beberapa remah roti. Menyesap kopi pahitnya, Hans sedikit menguap karena menyetir semenjak meninggalkan gereja tua kemarin hingga sampai pagi ini. Merelakan seluruh energi dan waktu tidurnya demi empat –atau tiga- k*****t yang kelihatan tak dapat membuka matanya dengan benar untuk bergantian menyetir. Rasa pahit di kopinya yang tak tersentuh gula sedikitpun seakan akan tak dapat menopang kelopak matanya yang semakin lama semakin memberat, membuatnya mau tak mau harus membicarakan rencana mereka saat ini juga atau dirinya akan masuk kealam mimpi dengan cepat. “Jadi, Petter yang akan mengurusi Slot Machine. Bagaimana dengan yang lain?” bocah yang disebut sebut namanya hampir saja tersedak s**u putihnya, namun hanya mengangguk karena dirinya tahu bahwa tak akan berguna jika menolak untuk dibawa masuk kedalam misi jika sudah sejauh ini. Michael yang juga tengah meminum americanonya hanya memperhatikan tanpa berminat untuk ikut campur dalam pembuatan rencana. Biarlah orang orang pintar dan kelebihan niat itu saja yang berpikir. Untuk saat ini, dia rela rela saja diberlakukan bagaikan pion yang dikendalikan arah dan tujuannya. “Tapi kurasa Petter tetap harus ada yang menjaganya”Ainsley membuka mulut. “Meskipun dia kelebihan kalsium seperti ini, kita tidak bisa mengelak bahwa wajahnya sangatlah minor. Bocah. Bayi” lanjutnya sembari menekan kata per kata. Yang disebut bayi hanya memutar bola matanya sebal sembari mengigiti sedotan s**u kemasannya. A baby indeed. “Michael” ucapan Evan menghentikan niat Petter untuk protes. Si pemilik nama yang sedari tadi hanya memperhatikan tanpa berminat ikut campur mulai menengokkan wajahnya dengan pandangan bertanya. “Kau urus beberapa permainan mudah sembari menjaga Petter” titahnya. “Sejujurnya aku tidak berminat menggunakan keseluruhan Slot Machine untuk meraup koin koin casino itu” suaranya mengecil, sedikit melirik ke kiri dan kanan untuk memastikan tak ada seorang pun yang mendengarkan percakapan mereka saat ini. Ya.. memang sebenarnya tak ada? Pagi pagi buta disalah satu pasar tradisional tentu saja penuh dengan manusia paruh baya untuk berbelanja bahan makanan untuk sarapan. Toh meskipun dekat dengan pantai, pantai yang besebrangan langsung dengan pasar ini tak seperti pantai pantai lain yang lebih terkenal untuk dikunjungi anak muda atau sebagai ajang wisata. “Meskipun kita sangat beruntung dalam berjudi, pihak kasino akan curiga jika kita menukar terlalu banyak koin” lanjutnya yang disetujui oleh Ainsley. Gadis itu dahulu mengingat mengenai anak buah hingga rekan rekannya kerjanya sering iseng bercerita mengenai menggunakan kasino sebagai hal lain. “Ya” timpah gadis itu. “Kurasa seseorang yang ‘bermain’ tak benar benar menukar koin tersebut secara gamblang” “Jadi?” Michael mengerutkan keningnya bingung. Bukankah mereka jauh jauh kemari karena akan merampok kasino? Tentu saja isi dari kasino adalah koin koin kasino yang akan ditukarkan menjadi uang. Tak ada permainan yang langsung ditaruhka dalam bentuk uang tanpa ditukar menjadi koin bernilai mahal sekepingnya. “Petter, bisakah kau membuat identitas atau pengenal apalah itu yang menunjukkan kau anak kaya raya yang bisa dengan mudah menghamburkan uang disana? Kurasa mereka tak akan menolak balita sekalipun jika itu memberikan mereka keuntungan” “akan kucari tahu” gumamnya menyetujui. Evan melirik kearah Michael yang tadi ditugaskan untuk menjaga Petter dengan cara- “kau bisa bermain Gin Rummy?” “Er... tidak?” “Apa maksud dari nada bertanya di akhir kalimatmu?” Michael mengendikkan bahunya bingung. “Aku tak tahu aku bisa atau tidak karena aku tak pernah mencobanya. Tapi jika itu memang permainan yang tak terlalu sulit, kurasa aku bisa melakukannya” lanjutnya lagi. Hans yang dari tadi memperhatikan kini mulai ikut bicara kembali. “Oke, kau jadilah orang biasa yang ingin bermain gambling. Meja Gin Rummy biasanya tak jauh dari Slot Machine karena biasanya satu lawan satu. Perhatikan Petter dengan baik jangan sampai titik utama yang dia pegang hancur karena gangguan orang asing” titahnya dengan nada yang memberat. Pardon him tapi kantung mata dan lingkaran yang menghitam disana lengkap dengan mata memerah menjadi bukti nyata bahwa pria itu memang butuh istirahat. Ainsley sedikit menatapnya kasihan. Jika diingat ingat, selain Evan, Hans lah yang merupakan orang tersibuk diantara mereka karena harus bergantian menyetir dan memenuhi kebutuhan mereka berlima saat dirinya, Michael dan Petter terluka. “Hans, kubilang kau akan memainkan Roulette, bukan?” tanya Evan kembali memastikan. Si penjawab hanya menganggukkan kepalanya pelan sembari memijat pangkal hidungnya. Petter yang ada disampingnya mengelus pelan punggung lebar pria itu sembari menyodorkan s**u kotaknya sebagai isyarat penawaran. Bukannya diterima malah kekehan yang bocah itu terima, membuatnya merengut sebal dan menarik kembali s**u yang tadi ditawarkan. “Aku tak apa, Petter” kekeh Hans meskipun pusing masih merajai kepalanya. “Minumlah s**u yang banyak, tapi jangan bertambah tinggi lagi ya” ucapnya yang mengundang gelak tawa dari keempat manusia dewasa disana. Ya tak bisa menyalahkan Hans, sih. Bocah itu baru berumur enam belas tahun namun tingginya sudah mencapai seratus delapan puluh empat, ditambah lagi dia masih ada didalam usia yang memungkinkan pertumbuhannya. Michael terkadang sedikit sebal karena bocah itu membuatnya terlihat sangat pendek. “Kita akan buat orang lain berpikir bahwa aku dan Ainsley lah yang memegang kunci utama. Nyatanya Petter yang akan memegang kunci dan kau yang akan mengeksekusi” Evan tersenyum misterius. “Kau dan Ainsley?” “Ya- kita akan memerankan pasangan suami istri yang ‘bermain’ blackjack”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD