Chapter 19 - BLANCA!

1691 Words
“Excuse me, ma’am?” Ainsley hanya menatap polos pria yang ada dihadapannya sembari bergumam bingung. Pandangannya beralih, ke sekelilingnya saat indra pendengarannya tak sengaja mendengar seorang anak muda berpakaian mewah yang hanya berjarak beberapa meja terbatuk saat mendengar dan merasakan atmosfer yang ada di sekelilingnya. Evan menggigit pipi dalamnya gugup. Dirinya lupa memberitahu Ainsley mengenai ketidakbolehan menghitung dalam blackjack. Tidak, bukan hanya blackjack. Apapun itu teknik yang dilakukan, jika digunakan untuk meraup untung yang banyak dan merugikan casino, tentu saja akan menjadi boomerang bagi si pemain jika ketahuan oleh mata sang tuhan. Evan berdeham pelan. Mengambil semua keping kasino miliknya, kemudian berbisik untuk mengajak Ainsley bangkit dan pergi dari sana untuk menukar ratusan keping mereka menjadi uang. Ainsley menatapnya tak mengerti. Ditambah lagi, dealer yang tadi memergoki Ainsley berhitung, mendongakkan kepalanya agar bersitatap langsung dengan mata sang tuhan. Sebuah kamera yang ditanam dengan baik di atap yang membawahi setiap meja, dimana dibelakang layar, terdapat kumpulan penjaga yang mengamankan langsung jalannya permainan di casino. Menghitung di blackjack itu legal, tentu saja. Namun pihak kasino tak suka apabila ada seseorang yang mencoba mengacaukan bisnis mereka dengan meraup uang sebanyak banyaknya. Apalagi jika tahu orang tersebut merupakan anggota sebuah komplotan yang disinyalir memiliki cukup banyak anggota dengan keahlian yang sama. Evan menarik Ainsley yang bergeming tak mengerti untuk bangkit dari duduknya. Berlarian kecil menuju tempat penukaran koin setelah telinganya mendengar dealer tadi melaporkan apa yang mereka perbuat. “Evan, ada apa?” ucap panik Ainsley saat mereka berlarian menghindari sembilan orang dengan jas hitam dan kacamata yang muncul dari berbagai sudut casino. Belum sempat mendapatkan jawaban, wajah Ainsley sudah lebih dahulu menabrak seseorang karena terlalu sibuk melihat ke belakang. “Oh, s**t” ----Aldeolos--- “Masih tak ingin mengatakannya?” ucap pria berbadan besar yang kini sibuk menampar pelan pipi Ainsley dengan punggung tangannya. Disisi lain, Evan sudah menghela nafas dengan susah payah karena beberapa saat yang lalu, dirinya mendapatkan tendangan yang cukup kuat tepat di ulu hatinya. Wajahnya penuh dengan luka, beberapa darah mengering terlihat di sekitar mulut dan pelipisnya, membuatnya terkekeh sedikit mengingat keadaannya yang mirip dengan saat Hans menyelamatkannya dahulu. “Apa yang kau tertawakan, sialan” lagi. Satu pukulan mendarat dengan apik di wajahnya. Rambut belakangnya ditaik, membuatnya mendongak kesakitan. “jawab dengan benar atau pacar kesayanganmu itu akan mati saat ini juga” ucapnya yang membuat pria jangkung itu melirik kearah Ainsley yang kedua tangan dan kakinya telah terikat dengan tali, lehernya pun telah terkalungi tali yang cukup tebal. Salah satu pria yang ada di sisi gadis itu memainkan remote control di tangannya dengan ekspresi menyebalkan. Seolah olah mengatakan bahwa dia yang berkuasa atas nyawa gadis itu. Satu jawaban salah, akan membuatnya menghidupkan mesin yang dapat menggantung Ainsley hidup hidup. Belum lagi tombak yang tak jauh dari mereka, yang jika talinya diputuskan, maka akan menewaskan Evan seketika. “Tidak!!! Oh sayangku” ucap Evan berlebihan dengan raut wajah menangis meskipun tak ada satupun air mata yang sudi keluar dari pelupuk matanya. Ainsley yang melihat kejadian itu ingin memutar kedua bola matanya dengan malas. Seriously. Evan harus belajar bagaimana berakting dengan baik. “Aku benar benar tidak tahu apa maksudmu dengan anggota yang lain” ucap Evan sungguh sungguh. “Aku hanya bermain karena kami membutuhkan uang” lanjutnya. “Me-meskipun kami terlihat kaya raya, tapi sejujurnya pakaian ini kami beli di pasar pagi dipinggir trotoar jembatan yang tak jauh dari sini” ucapnya meyakinkan, yang hanya dibalas dengusan remeh oleh pria pria berbadan besar disana. Sejujurnya tak perlu menjelaskan mengenai kenaan mereka, toh apa yang dipakai pasangan mencurigakan ini memang jauh dari kata layak untuk bisa dipakai di casino termegah di Texas. Jika diperhatikan lagi, mereka kini tengah disekap- atau di interogasi- disebuah bangunan tua yang sekat sekatnya terbuat dari dinding berkarat. Terdapat banyak puing puing besi tak terpakai, yang berserakan dimana dimana. Ainsley menduga bahwa tempat ini adalah bekas pabrik tua yang jaraknya lima ratus meter dari kasino, dijalan dimana dirinya dan semua rekannya lalui tadi pagi. “Sekali lagi aku bertanya, kau bekerja untuk siapa?” ketusnya setelah menjotos tulang pipi Evan tiga kali berurut turut. Pria yang ada di samping Ainsley mulai bermain dengan tali yang menjulur di leher gadis itu, menariknya hingga membuatnya berjinjit dan berlinangan air mata palsu sembari memohon ampun- yang tentu saja membuat gadis itu mual karena siapa mereka berani beraninya mencoba membunuhnya-. Ha. Katakan itu pada gadis belasan tahun yang dahulu berhasil membunuh banyak paman pelaku pembunuhan keluarganya. “Clear” Belum sempat Evan menjawab pertanyaan mereka semua, sebuah dengungan kata masuk ke telinganya melalui alat komunikasi yang dirinya pakai saat ini. Ainsley yang tadinya tengah belinangan air mata palsu, merubah wajahnya menjadi tersenyum simpul, membuat pria yang ada dihadapannya mengerutkan dahinya bingung. Gadis itu mengerahkan semua otot kakinya untuk menekuk dan melompat meskipun tak ada tumpuan di bawahnya. Tangannya yang masih terikat di depan dadanya terjulur keatas untuk memegang tali yang mengekang lehernya. Jari tengahnya bergerak untuk mengikis tali tersebut sembari dirinya menendang pria yang mencoba menghampirinya. Tersenyum menyebalkan saat cincin bermata besar murah yang ia beli tadi pagi mampu penahan perekat yang mengelilingi sebilah lempengan tipis namun tajam dibaliknya. Sebenarnya sedari tadi, Ainsley mencoba menahan dirinya untuk tidak menggerakan tangan sebelah kanannya agar bilah tersebut tak menyakiti dirinya. Karena tangannya merupakan aset yang sangat berharga untuk jalan hidupnya selanjutnya. Ainsley ambruk diatas tubuh pria yang sudah tak sadarkan diri berkat tendangan di dagu olehnya tadi. Terlihat potongan gigi yang mencuat dari belah bibirnya bersamaan dengan cukup banyak darah yang keluar dari sana. Sepertinya gadis itu berhasil menghancurkan rahangnya, atau minimal memotong lidahnya hanya dengan satu tendangan kuat. Jemarinya kini mencoba meraih tali yang mengekang lengannya, mencoba untuk memutuskannya sembari kepalanya menghantam kepala pria yang baru saja akan menodongkan senapan padanya. Baru saja tangannya yang terbebas akan membuka paksa tali yang mengikat kakinya, datanglah seorang pria dengan kapak besar bersiap untuk membunuhnya. Gadis itu melompat dengan menggunakan kedua tangannya sebagai tumpuan, berguling sedikit kedepan kemudian melemparkan selongsong besi panjang, memberikannya waktu untuk membebaskan kakinya. Gadis itu terkukung dari belakang. Sepasang lengan besar dan kuat menahan pergerakan atasnya dengan otot yang menonjol. Tangan kanan Ainsley menggenggam erat salah satu tangan itu kemudian memelintirnya kebelakang, membuat pria yang ada dibelakangnya mengerang cukup kuat dan melampiaskan kekesalannya dengan menghatamkan botol kaca yang sedari tadi tengah dipegangnya. Ainsley menendangnya dengan kedua kakinya yang melayang, kemudian jatuh kebelakang dengan punggung yang lebih dahulu mendarat. Kakinya terjulur kebelakang, kedua tangannya tepat berada di samping kepala untuk membantunya bangun dan kembali berlari saat menemukan seseorang yang mencoba memukul Evan dari belakang menggunakan besi. Gadis itu berlari kemudian menumpukan lutut kanannya pada d**a targetnya, kedua tangannya bertumpu pada leher pria itu, lalu Ainsley dengan lincah melingkarkan kaki kirinya untuk melilit leher pria tersebut menggantikan lengannya, berputar kebawah kemudian mematahkan leher pria itu dalam satu kali gerakan, membuatnya jatuh tak sadarkan diri- atau mungkin tewas- seketika. Sedangkan Evan disisi lain tengah mengusur longsongan besi yang diambil dari tangan lawannya setelah tak sadarkan diri berlapiskan darah. Tatapannya menajam, tangannya berayun, menghantamkan longsongan besi itu ke tulang betis pria yang ada dihadapannya sebelum kembali menghantamnya melalui dagu. Dirinya merunduk sedikit, menghindari kapak yang saat itu juga mungkin saja bisa membunuhnya seketika, lalu berbalik untuk menghantam tengkorak pria berkapak tadi. Ekor matanya melirik, mengencangkan otot di kaki kanannya, kemudian memberikan tekanan yang sangat kuat untuk mendorong pria yang kini tengah bertarung dengan Ainsley untuk jatuh. Terpeleset? Tentu saja. Sebenarnya jika dibilang terpeleset, itu tidak terlalu benar karena kakinya yang lain terhantam dengan sangat kencang hanya oleh kepalan tangan pria botak dihadapannya. Bertahun tahun hidup berdampingan dengan kriminal dan beberapa hari bertarung dengan Ainsley membuatnya lupa bahwa dikehidupan sebelumnya, dirinya hanyalah seorang gila kerja yang tak memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Jangankan untuk belajar bela diri, untuk tidur saja susahnya minta ampun. Kejadian beberapa hari ini membuatnya besar kepala mengenai teknik dan kekuatannya, kemudian lupa bahwa lawannya tentu saja orang orang dengan skill bela diri yang tinggi. Melihat Evan terjatuh setelah berusaha menolongnya, Ainsley dengan sigap mengambil besi dari lengan Evan, menghadang tangan bersenjatakan pisau tajam yang akan membunuh rekannya dengan cara memelintirnya menggunakan longsongan besi. Fokus pria itu kini kembali pada Ainsley, mencoba melupakan pria yang dimatanya terlihat seperti orang culun bodoh, lalu mencoba menancapkan bilah tajamnya ke d**a si gadis. Melepaskan senjatanya, Gadis dua puluh sembilan tahun itu lebih memilih menahan tajamnya pisau menggunakan kedua tangannya, membuahkan cairan amis khas darah yang keluar dari telapak tangannya yang tergores. Evan bangkit, kemudian menghantam kepala pria itu dari belakang. Tak membuatnya pingsan, namun cukup untuk membuat dirinya lengah akan Ainsley dan berakhir gadis itu mematahkan lengannya untuk menjauhkan pisau bermata tajam yang siap membunuhnya. Pria tadi menendang Evan tepat di d**a sampai terjatuh, lalu menyikut Ainsley di tulang rusuknya hingga gadis itu sedikit mengerenyit kesakitan. Ainsley kemudian mengalungkan lengannya untuk mematahkan leher pria itu, namun keadaan menjadi terbalik. Pria itu lebih memilih menjatuhkan dirinya, dan memberikan tekanan di seluruh tangannya untuk membalik gadis yang ada di hadapannya hingga terjatuh membentur tembok setelah berguling sekali. Senyum lebar terulas di bibir tipisnya dengan raut wajah yang tak terbaca. Dirinya terlentang setelah kakinya ditarik dan diinjak dengan cukup keras. Menarik. Sudah lama dirinya tak menemukan individu dengan kekuatan yang besar dan susah ditaklukan seperti ini. Pria itu berbalik, menonjok rahang Evan dengan sangat kuat membuat mantan ilmuan muda itu terbatuk dan mengeluarkan darah. Umpatan keluar dari belah bibirnya. Menyesali kenapa dirinya dan rekannya menyepelekan kedua orang ini dan tak membawa senapan yang cukup untuk membunuh mereka berdua. Belum sempat kaki jenjangnya menjejak pria dihadapannya, pria yang tak diketahui namanya itu melemas ketika menemuka telapak tangan yang tadi menyentuh perutnya telah banjir dengan genangan berwarna merah. Dengusan lirih keluar dari bibirnya pelan, sebelum pandangannya menggelap dan jatuh bersamaan dengan sebilah lempengan yang menembus organnya, mematung sebentar sebelum menemui ajalnya yang dijemput oleh sang malaikat. Ainsley pelakunya. Tentu saja. Gadis itu menepuk kedua tangannya pelan dengan maksud membersihkan debu yang memenuhi telapak tangannya. “kurasa untuk sekedar mantan ilmuan kemampuan bela dirimu jauh lebih baik dari dugaanku” kekeh Ainsley menjulurkan tangannya untuk menarik Evan yang terduduk dibawah. Baru sempat pria dewasa itu akan membalas, alat komunikasi di telinga mereka kembali terdengar. “Petter menghilang”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD