Chapter 33 - Brankas

1151 Words
Sempit. Demi tuhan ini sangat sempit. Jika salah satu diantara mereka memiliki claustrophobia, dipastikan phobianya itu akan kambuh disini karena ugh- demi Tuhan! Ruang gerak sesempit ini diisi oleh tiga orang berbadan besar tentu saja menyesakkan. Petter yang merangkak ditengah tengah yang lebih tua hanya berdoa semoga kaki panjangnya tak sengaja menyentuh wajah Hans, atau justru wajahnya yang tertendang oleh Evan. Mereka ada di lorong ventilasi. Merangkak bagaikan tikus untuk mencapai ujung yang terhubung dengan tali tali kuat yang menggantung elevator dibawahnya. Evan memutuskan agar mereka pergi menuju atas dengan menumpang atap elevator. Tak ada kamera pengawas dan penjaga, tentu saja. Namun cukup mengerikan jika mereka tak sengaja tersengat listrik dan berakhir jatuh di entah ketinggian berapa dan mayatnya tak kunjung juga ditemukan selama beberapa hari. “Kanan” ujar Petter memberikan arah. Disana gelap gulita. Satu satunya sumber cahaya jika mereka melewati celah ventilasi berongga yang sedikit menampakkan jalur dibawahnya. Melegakan karena memiliki sumber pencahayaan, namun menegangkan pula jika seseorang menyadari ada anak manusia yang merangkak diatas sana. Ketika sampai, yang ditemukan setelah membuka paksa dinding ventilasi- karena tentu saja tak akan ada pintu ventilasi menuju dibalik elevator- menggunakan laser mini yang untungnya bisa digunakan untuk besi yang tak terlalu tebal ini, mereka hanya menemukan tangga panjang dari lantai paling bawah dan sepertinya sampai di ujung paling atas elevator. "Kita harus minimal memanjat satu lantai. Karena jikapun elevator sudah sampai dibawah, kita hanya akan berhadap hadapan dengan badan lift, bukan atapnya” Evan melirik kearah belakang meminta persetujuan, yang tentu saja mau tak mau disetujui. Mereka akhirnya mengeluarkan keringat bahkan saat matahari masih tertidur lelap dengan background suara tawa mengerikan milik Ainsley dan Michael. Entah apa yang dilakukan kedua tom dan jerry yang jika bersatu bisa menjadi pasangan paling klop itu. Cukup membuat bulu kuduk Petter berdiri mendengarnya. “Kita harus minimal memanjat satu lantai. Karena jikapun elevator sudah sampai dibawah, kita hanya akan berhadap hadapan dengan badan lift, bukan atapnya” Evan melirik kearah belakang meminta persetujuan, yang tentu saja mau tak mau disetujui. Mereka akhirnya mengeluarkan keringat bahkan saat matahari masih tertidur lelap dengan background suara tawa mengerikan milik Ainsley dan Michael. Entah apa yang dilakukan kedua tom dan jerry yang jika bersatu bisa menjadi pasangan paling klop itu. Cukup membuat bulu kuduk Petter berdiri mendengarnya. Tunggu sebentar. Petter baru teringat sesuatu. “memangnya dipagi buta ini akan ada ya yang memakai lift? Kurasa dari tadi orang orang tetap di lantainya masing masing” Holy crap. Maafkan Evan yang baru mengingat hal kruisial itu saat ini. “..bagaimana jika kau menggerakkan liftnya agar kebawah?” “Memangnya tidak mencurigakan ya?” “Bukannya orang hanya akan berpikir ada seseorang yang sedang turun?” “tapikan paman paman penjaga di lantai yang dua akan merasa aneh jika lift turun ke lantai satu namun saat pintu terbuka, tak ada siapa siapa” Hening. Benar juga.            “Pikirkan saja nanti, sekarang turunkan saja dahulu liftnya” yang dititah hanya melakukan tugasnya dalam diam. Toh mengangguk pun terlalu malas karena dirasanya ia lelah meskipun baru menaiki beberapa anak tangga. Sembari menunggu lift untuk turun sampai kebawah, Petter kembali membuka buka denahnya, mengerutkan dahi ketika menemukan bahwa badan yang tergambar hanya dengan garis garis terlihat memiliki ketebalan yang benar benar tebal jika dibandingkan apa yang dirinya pikirkan selama ini. Evan yang ada dipaling atas melompat lebih dahulu keatas lift, memegang tangan Petter untuk membantu menarik, kemudian Hans ikut melompat dengan ringan karena lift mulai berjalan naik kembali. “Ruangan arsip itu ruangan di dalam ruangan?” tanyanya sembari menatap mata Evan. Pria jangkung itu hanya mengerutkan dahinya kemudian mengendikkan bahunya turut kebingungan. “Aku tak tahu. Aku tak punya hak untuk masuk ruang arsip dahulu, jadi aku memang belum pernah kesana” jawabnya sembari berbisik bisi. Antisipasi jika ada orang lain didalam lift yang bisa mendengar percakapan mereka. Petter menunjukan ponselnya. Di lantai delapan puluh enam, tepatnya dilantai dimana semua arsip disimpan, terdapat seorang penjaga yang sejujurnya jika keadaan berjalan lancar, dia akan menjadi satu satunya penjaga yang useless dan memakan gaji buta karena semua orang yang mencurigakan telah melewati lantai delapan puluh lima, dimana siapapun yang naik lebih dari lantai itu, liftnya akan berhenti secara otomatis dahulu untuk dilakukan pengecheckan di lantai tersebut. Bersyukurnya mereka karena hanya perlu melumpuhkan satu penjaga, namun ucapan Hans selanjutnya membuat mereka memejamkan matanya lelah. “Ini bukan ruangan didalam ruangan, Petter” ucapnya dengan tercekat. “s**t. Ini dahulu merupakan project teamku. Kami disuruh membuat brangkas yang susah diakses, namun aku yang sudah mengetahui segalanya, memilih untuk keluar sebelum seluruh project kami selesai” jelasnya. “Seingatku, pintu brangkas itu dibuat dari baja tiga belas ton yang tidak mungkin dilubangi dan sistemnya sengaja dibuat manual agar tidak bisa diakses oleh pengguna teknologi manapun. Kode brangkas terdiri atas kombinasi huruf dan angka yang mencapai sepuluh buah, berarti ada berjuta juta kemungkinan, yang setiap ditutup pintu, maka kode akan berubah. Kamu harus memasukkan kode sandi dengan papan tombol RGB yang mustahil untuk diretas” ungkapnya. “Brangkas memiliki sistem analog dan didalamnya lantainya dapat mendeteksi tekanan, sensor panas dan gerakan. Tentu saja bisa dimatikan, namun tombolnya ada di ujung dalam brangkas yang artinya... siapapun yang berhasil membobol dengan cara biasa, yaitu memutar tuas raksasa, tetap akan memicu alarm karena panas tubuh dan gerakan akan terdeteksi sebelum bisa sampai untuk mematikannya lewat tombol” “Ada pula ala pendeteksi seismik. Alat tersebut akan memicu alarm begitu mendengar suara orang lain yang tak memiliki akses kedala brangkas. Dan terakhir, yaitu sistem kabut. Kabutnya akan sangat tebal dan membuat siapapun yang menyusup aku merasa buta” Menghela nafas frustasi, Petter mengacak acak rambut tebalnya. Nyaris memekik sebal seperti lumba lumba namun dengan cepat dibekap oleh Hans. Lift yang mereka tumpangi kini sudah masuk di sekitar lantai lima puluh sampai enam puluh. Hanya beberapa menit lagi sebelum mereka sampai di lantai arsip dan harus bergegas melakukan semuanya sesuai rencana Sedangkan Evan malah terdiam memperhatikan satu titik, kebiasaannya jika ia berusaha mengingat ingat hal yang tersimpan jauh di dalam memorinya. “Hairspray” lirihnya. “Ainsley, kau dengar aku Ainsley? Sudahi permainanmu, susul kami kesini. Kau membawa hairspray, kan?” bukannya menjawab, pria itu malah mendapatkan berondongan pertanyaan yang sama dari kedua rekan yang sedang bersamanya. “Hairspray jika disemprotkan pada alat pendeteksi panas, membuat alat tersebut tidak bekerja” jelasnya yang dibalas decakan kagum oleh Petter. “Sensor kabutnya terjadi saat mendeteksi pijakan dan hawa panas. Berarti satu satunya jalan adalah jangan pernah menapaki lantai” lanjutnya lagi. “Ainsley” ujarnya lagi mencoba memanggil. Kini mereka sedang tak mendengar apapun dari kedua rekannya yang lain. “Ainsley? Michael?” Tidak ada jawaban. Aneh. Dari segala keributan yang terjadi, perdebatan yang tak terelakan, tiba tiba hilang dan hanya diisi dengan nafas yang bersahut sahutan membuat ketiga rekannya yang lain mengerutkan dahi. Baru saja akan memanggil kembali. Ujaran Ainsley diujung sana membuat mereka bertiga mematung tak mengerti. “Kau.. kau bukan Michael”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD