Chapter 32 - Nostalgia

1126 Words
Beberapa sisi gedung sepi, tentu saja. Ini masih di pagi hari buta dan tak semua yang ada didalam sana merupakan pekerja yang mengiblatkan diri mereka pada pekerjaan. Pun tak semua yang ada didalam sana merupakan ilmuan dan deretan orang dengan kepentingan lainnya. Pekerja administrasi, staff, jasa pembersih dan lainnya yang bisa mencapai ratusan tentu saja tak ada disana karena bukan jam kerja mereka. Omong omong, terimakasih pada para penjaga yang tak sadarkan diri tadi dan satu buah komputer untuk mengawasi cctv halaman depan. Setidaknya memuluskan jalan mereka karena membantu Petter secara tidak langsung untuk masuk ke jaringan dengan memasang kloningan chip yang baru saja ia buat semalam. Dengan mengendap endap, setelah melewati penjaga di gerbang tadi, mereka masih berjalan di salah satu gedung di sayap kanan dengan keadaan kosong melompong. Tangan Hans memegang lengan Petter erat, sedangkan si empunya lengan sibuk dengan kedua tangannya dan mata yang berfokus pada ponselnya untuk bermain dengan kamera pengawas yang ada di setiap lorong. Bocah itu hanya membuat kamera pause sekitar satu menit ketika mereka melewati lorong, tak akan ada yang mengetahui karena gambar yang tercapture saat di pause memang lah hanya lorong kosong sewajarnya. Evan berjalan mengomandoi di paling depan. Seluruh bangunan hingga aksen terkecil yang dahulunya penuh dengan dinding berwarna putih, kini dirombak menjadi dipenuhi keramik dinding berwarna amat putih dan disandingkan dengan beberapa kaca besar yang membatasi ruangan antar ruangan. Kesan pertama yang ia dapat mengenai perubahan yang cukup drastis ini adalah maniak. Seolah olah orang yang mengomandoi perubahan ini sangat menyukai bagaimana tidak terdapatnya debu di seluruh bagian bangunan karena keramik ini benar benar memperlihatkan setitik partikel debu. Tiba tiba teringat dengan para pembersih bangunan yang digaji tak seberapa namun harus membersihkan seisi gedung dengan setiap sudut yang harus mengkilat. Pandangannya menyipit, sakit. Lampu lampu terang disepanjang lorong dipantulkan kembali oleh keramik membuat siapapun yang ada disana akan merasa risih berlama lama. Namun jika dilihat tak adanya perubahan disana, mungkin kebanyakan karyawan telah terbiasa, atau kemungkinan paling nyatanya adalah terlalu takut untuk mengutarakan pendapat. Toh siapa mereka berani beraninya menitah untuk mengganti ornamen seisi gedung. “Selesai” gumam Petter dengan mata yang masih menatap gadget keluaran terbaru itu. Hans yang melirik dari sampingnya mengerutkan dahi ketika menyadari bahwa bocah enam belas tahun itu repot repot masuk ke area operator untuk memasuki jaringan agar mereka mengetahui denah bahkan jalan keluar yang merupakan taman tadi dengan total seluas sepuluh koma tiga kilometer persegi dan total tinggi bangunan mencapai delapan puluh tujuh lantai. Sebuah proyek yang bangunan besar mengingat Manhattan merupakan bagian terkecil dari New York yang hanya berluaskan lima puluh sembilan koma satu kilo meter persegi. Jika dihitung, seluruh area bangunan ini memenuhi sekitar satu banding enam dari total daratan di Manhattan. Baru saja akan bertanya mengapa dirinya susah payah mencari denah karena mereka memiliki Evan, namun mulutnya dengan mudah dibungkam dengan banyaknya titik titik yang bergerombol di beberapa sudut yang terlihat dari ponsel Petter. Bocah yang satu itu menggunakan kamera pengawas di setiap lorong dan ruangan untuk menjadikan area bermainnya terawasi bukan oleh penjaga, melainkan oleh dirinya. Petter memanfaatkan kamera kamera itu untuk mendeteksi berapa banyak wajah yang ada disetiap titik kamera. “Semua sisi bangunan ini diperbaharui” gumam Evan setelah mengingat ingat. Dirinya memang jarang bermain ke sayap bagian administrasi selama bekerja disana. Terkurung dua puluh empat jam dikantornya membuat ia lebih tahu berapa banyak lubang yang ada di dinding kantornya dibandingkan seluruh isi bangunan. Namun bukan berarti ia benar benar tak tahu seluk beluk laboratorium ini. Beberapa kali rapat bersama para sponsor dan atasan dalam bahasan ciptaan teamnya, membuat ia sempat beberapa kali berada di gedung ini. Tempat para ilmuan bekerja dan kantor para staff memang berbeda gedung untuk meminimalisir operasional kantor jika tak diperlukan. “Ruangan arsip ada di lantai delapan puluh enam. Delapan puluh lima menjadi ruangan khusus berkumpulnya penjaga yang akan memeriksa siapa saja yang naik ke lantai delapan puluh enam dan tujuh. Karena yang bisa memasuki akses arsip hanyalah orang tertentu, juga lantai delapan puluh tujuh merupakan kantor petinggi utama disini” jelas Evan sembari berbisik. “Petter, berapa banyak orang yang ada dari lantai ini hingga delapan puluh empat?” “Tak banyak” jawabnya singkat. Sedari tadi, perhatiannya terbagi dengan memperhatikan denah dan titik titik yang bergerak juga memainkan kamera pengawas untuk menutupi keberadaan mereka dari orang orang dibalik komputer operator. Belum lagi teriakan dan suara suara berisik dari sisi Ainsley dan Michael yang tentu saja terdengar oleh mereka karena masuk ke alat komunikasi yang menempel di telinga masing masing. “Tak banyak orang, dan kurasa mereka pun bukanlah penjaga atau semacamnya. Mungkin hanya sekedar staff biasa atau ilmuan sepertimu. Aku tidak mendeteksi keberadaan logam berbahaya pada diri mereka selain kumpulan orang di lantai delapan puluh lima. Sisanya hanya satu atau dua disetiap lantai yang kurasa juga penjaga” jelasnya sembari memperhatikan keterangan yang tertera di layar ponselnya. Hah.. jika kali ini mereka berhasil keluar hidup hidup, ingatkan Petter untuk merengek pada pria yang lebih dewasa untuk mensupportnya dengan membelikan tablet. Melakukan semua hal menggunakan ponsel kecil harus membuatnya menghadapi rentetan algoritma dan kode yang kecil. Lama kelamaan matanya terasa lelah karena tanpa sengaja terus di picingkan. “apakah seluruh staff disini diharuskan memakai... kau tahu.. pakaian formal yang sering kita lihat dikenakan orang banyak” Hans memperhatikan pakaian yang dikenakan mereka bertiga. Tak terlalu berantakan meskipun memang tak bisa dibilang pakaian semi formal sekalipun. Ketiganya memakai jeans, bahkan dirinya memakai jeans dengan keadaan yang sobek dibagian lutut. Kaus dipadukan dengan jaket –selain Petter karena dia memilih untuk membeli dan tengah memakai sweater cokelat-. Evan ikut memperhatikan sembari melambatkan jalannya. “Seingatku staff memang diharuskan memakai pakaian yang formal. Bisa sedikit tidak formal namun tetap rapih, dan itu hanya berlaku untuk staff yang sudah berada di jejeran atas” jelasnya. “Jika kau berpikir agar kita menyamar sebagai staff biasa, tentu saja tak akan berhasil. Namun jika menyamar sebagai ilmuan kurasa bisa bisa saja” “Bagaimana???” “Aku dan rekanku dahulu tak peduli apa yang kami kenakan. Lagi pula tidak ada yang protes. Aku bahkan pernah memakai satu kaus yang sama berhari hari karena tak sempat pulang untuk membawa baju ganti” “ew” “Memangnya ruangan yang ada disini bisa diakses tanpa kartu ya?” Petter memberhentikan perdebatan tak berguna kedua pria yang jelas jelas sudah kepala tiga. Sedari tadi ia hanya diseret kesana kemari untuk menghindari orang orang yang hampir bersinggungan dengan mereka disana. “Tidak, namun akan bisa karena ada kau, Petter” entahlah. Kalimat tersebut terdengar sebagai sebuah beban di pundaknya karena mereka terlalu mempercayakan hidup mereka pada bocah yang iseng iseng belajar teknologi. Baru saja yang lebih muda akan mengeluarkan protesnya, hidungnya malah menabrak punggung Evan yang berhanti tiba tiba dengan cukup keras. “aku punya ide”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD