Chapter 34 - Bomb

1127 Words
“Kau seharusnya berterimakasih padaku, jalang” dengan senyum lebar namun tak sejalan dengan mata dan cara pandangnya, Michael berlari menjauhi gedung. Tertawa sekeras kerasnya seraya menembakkan tiga buah peluru secara beruntun untuk memancing semua orang pergi ke arahnya. Yang menjadi lawan obrolannya hanya bisa mengeraskan rahangnya kemudian berbalik arah memutar menuju utara gedung B sayap kanan, tepat dimana tergeletaknya banyak pecahan kaca yang tak lain tak bukan adalah jendela lantai delapan puluh enam yang dihancurkan dengan sengaja. “Kurasa kau tahu bagaimana caranya memanjat hanya menggunakan satu buah tali, kan, nona mafia?” Hans melemparkan sebuah tali panjang yang beruntungnya ia beli beberapa saat lalu.Wanita dua puluh sembilan tahun yang diajaknya bicara hanya memutar bola matanya malas dan mendecih sebal. Sejujurnya, setelah bertahun tahun dipasung, ia sendiri tak yakin apakah tulang, otot, hingga sendinya bisa diajak berkompromi saat ini. Namun ketika sadar tubuhnya masih handal dalam mengingat teknik bela diri dan mengatur kekuatan, dirasa gadis itu masih bisa survive untuk kegiatan yang tidak terlalu ekstrim menghancurkan masa ototnya. Evan yang baru selesai membungkam diam penjaga dilantai sana, bergabung dengan Petter yang memberhentikan total seluruh kamera di lantai itu seakan akan masih dalam keadaan saat mereka belum sampai lima menit yang lalu. Meskipun tentu saja akan mengundang cukup banyak kecurigaan karena sosok penjaga yang terlihat di komputer operator nampak sedang terduduk kaku tak bergerak. “Ini benar benar analog? Tak bisa kau retas?” tanya Evan yang melihat kerutan di dahi bocah itu semakin membanyak. Sebal ketika sadar bahwa dia memang belum bisa menaklukan segala hal. “Tadi apa kata Hansel, papan tombol RNG? Random Number Generator? Bukankah kau berhasil bermain dengan slot machine karena sukses memecahkan algoritma RNG mesin? Kurasa saat ini juga akan bisa, bukan? Cecarnya. “Ini RGB, bukan RNG” “hah?” “Red Green Blue” “haaahhh??” Ini masih pagi, namun rasanya Petter sudah benar benar lelah dan ingin berhibernasi seharian. “Papan tombol merah hijau biru. Jika kau memiliki teman gamer, kurasa kau sering melihat keyboard gaming yang berwarna warni, itu keyboard RGB” jelasnya sembari menunjukan bulatan bersar berwarna warni dengan banyak angka yang keluar dari layar ponselnya. “Merah Biru dan Hijau jika disatukan akan membentuk warna lain, warna lain tersebut jika disatukan akan membentuk warna lain. Kode yang tersimpan di dalamnya akan sulit ditemukan akibat terlalu banyaknya kode acak yang disimpan di setiap lapisan warna” “Masalahnya, sistemku tak bisa masuk kedalam brangkas ini karena ternyata memiliki operator yang berbeda. Dan aku tak tahu dititik mana harus memasuki operator tersebut karena tak mengetahui lokasi mana saja yang terhubung. Satu satunya cara, kita membuka brangkas secara manual dengan tuas raksasa itu” tunjuknya pada benda yang lebih mirip bentuknya dengan handle kapal layar, namun dengan versi puluhan kali lipat. “jika memang sensor panas tak dapat mendeteksi hair spray saat kita memegang tuas dan nanti menyemprotkan ke alat sensor, bagaimana cara kita mengetahui sandinya?” Petter menahan pekik. “ini bukan brangkas kecil yang suara tautannya bisa terdengar hanya menggunakan stetoskop dokter seperti di film film. “Coba kau pakai ini” Ainsley berjalan kearah mereka setelah memastikan Hans turun dengan selamat, meskipun tak mulus. Menunjuk alat komunikasi mikro mereka yang tertempel di bagian dalam telinga. Saking kecilnya. Gadis itu menempelkan alat miliknya ke tengah brangkas. Evan memainkan bulatan pengatur sandinya dan Petter mendengarkan dengan seksama. Namun alih alih mendengar dengingan kecl khas tautan yang terlepas, mereka malah mendengar dengan jelas bagaimana Hans meneriaki Michael untuk berhenti membunuh yang lainnya. Ah.. omong omong, Evan jadi mengingat gumaman Ainsley beberapa saat yang lalu mengenai lelaki dua puluh tujuh tahun itu. Ainsley yang tak menggunakan alat komunikasi memilih untuk ada disekitar lift, jaga jaga jika ada penjaga dari lantai lain masuk untuk menggagalkan rencana mereka. Keributan yang mereka buat sedari tadi, seperti menghancurkan kaca dan memukuli penjaga yang berteriak dilakukan saat Michael berteriak riak dan menembakkan peluru dengan keras.Setidaknya cukup keras untuk menyamarkan suara yang ada di lantai itu. “Sial. Ini benar benar berguna” kekeh Evan ketika menemukan delapan kode acak yang cukup rumit. Delapan kaitan terbuka yang ditemukan dari 36 kaitan. Sepertinya, jika dilakukan menggunakan RGB, kode tersebut memang akan berisikan huruf dan angka acak dengan berjuta miliyar kemungkinan didalamnya. Ingatkan Evan untuk bertanya kepada Hans dimana ia membeli alat seberguna ini dan siapa penemunya. Ainsley melangkah maju. Menyemprotkan kedua tangannya menggunakan Hairspray, kemudian memegang tuas dan memutarnya secara kencang. Terbuka, tentu saja. Sandinya telah dipecahkan. Tangannya yang sudah terbalut haispary menjulur pelan pada sensor panas yang ada di dinding brangkas sisi kiri, menyemprotkan hairspray sebanyak banyaknya untuk memicu tanda dingin meskipun ada panas tubuh manusia di dalamnya. Kini tujuan gadis itu bukanlah arsip, melaikan kotak besi yang ada di ujung belakang brangkas. Tempat dimana sensor seismik berada, yang akan hidup jika ada pijakan di lantai, kemudian memicu alat kabut untuk mengeluarkan asap. Mengambil nafas bersiap siap, ia meloncat dan menggantungkan diri di atas besi yang menopang lemari lemari arsip di tingkat kedua. Menggantungkan tangannya satu persatu ke besi di hadapannya, bak bermain di palang hingga mencapai kotak yang dimaksud. Kini kakinya yang beralih fungsi. Menggantungkan dirinya hanya dengan betis dan paha yang mengapit palang, Ainlsey terlentang terbalik dengan tangan yang sibuk membuka kotak. Selesai mematikan fungsi dari semua alat jebakan yang ada di dalamnya, Ainsley menjatuhkan diri ke lantai dengan mulus, diikuti pekikan kagum Petter yang bergerak masuk bersama dengan Evan. Ainsley kada berpikir banyak hal jika memandang bocah dibawah umur itu. Jika berbicara biasa, suaranya cukup berat karena mungkin sudah melewati fase pubertasnya. Suara cempreng yang ia dengar di penjara ketika pertama kali Petter datang, disertai tangis ber jam jam, sudah hilang ditelan waktu. Namun disaat saat tertentu, seperti sedang excited, ketakutan, atau stress, bocah itu akan memekik sangat keras hingga mengeluarkan suara lumba lumbanya dahulu. Ainsley juga terkadang berpikir, apa yang dimasukkan oleh orang tua Petter, ajaran apa, ilmu apa yang diberikan hingga bocah itu bisa tumbuh sebegini jeniusnya. Gadis itu yakin, jika hidup Petter baik baik saja, tak melewati kejadian kejadian macam ini, sudah dipastikan ia akan muncul di televisi karena kejeniusannya masuk universitas terbaik dengan umur paling muda, sepertinya. Petter membuka tasnya, mengeluarkan laptop dan memasukkan chip yang kali ini berwarna hitam untuk masuk ke adaptor yang akan dimasukkan kedalam mesin dihadapannya. Sebuah kabel sengaja disambungkan dari laptop menuju mesin tersebut untuk menunjukkan seberapa banyak dan sudah berapa persen data yang selesai tercopy. “Kau yang pilih filenya” ujar Petter karena bingung harus memilih file yang mana. Nama nama ilmiah yang tertera di laptopnya membuatnya pusing seketika. “copykan saja semua. Mungkin yang lainnya akan berguna” titahnya pelan. Petter mencoba mengatur agar selain tercopy pada laptop, juga tercopy pada disknya. Jaga jaga jika salah satu diantara benda kesayangannya itu harus musnah karena suatu kejadian. Seperti-   DUUAARRRRRR!!     Bom.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD