Chapter 24 - Ohio

1039 Words
Puji tuhan, perjalanan dia seorang diri dari Texas menuju Wichita hingga kini menapakan kaki jenjangnya di Ohio tak membuat bocah seratus delapan puluh tiga centi itu kesulitan. Ya mungkin memang ada namun hanya sebatas kepanikan semata akan ketakutan akan dibuntuti atau tertangkap oleh aparat aparat yang sedang mencarinya. Ia sampai di Ohio pukul enam pagi, dimana matahari baru saja muncul dengan malu malu. Seingatnya, bus kepergiannya dari texas pun berangkat pukul enam pagi kemarin, berarti perjalanan yang ia tempuh dari Texas menuju Wichita lalu Ohio, memakan waktu dua puluh empat jam. Pantas saja ringisan selalu keluar dari bibirnya karena merasa bokongnya sudah mati rasa dan punggungnya seakan berteriak kesakitan. Ini pukul enam dan seluruh makanan juga minuman miliknya telah habis, tersisa sampah sampahnya saja. Bahkan sisa makanan yang ada diperutnya sepertinya tak ada karena selama perjalanan ia banyak keluar masuk kamar mandi. Pak supir bus, maafkan Petter jika saat nanti dirinya ada di dump station, maka mungkin lebih dari lima puluh persen sampahnya adalah milik bocah gembil itu. Setelah kakinya sudah benar benar menapak pada jalanan, bocah itu melepas sebelah kaitan maskernya untuk setidaknya menghirup udara pagi di Ohio. Sembari berjalan keluar dari stasiun bus, tangannya tak henti untuk bergerak mencari posisi orang tuanya dengan menggunakan kemampuan meretasnya tentu saja. Orang tuanya tak sebodoh itu blak blakan berbicara mengenai dimana mereka. Yang terliput di sosial medianya hanya keadaan keduanya yang tengah berlibur disebuah vila dengan lokasi Ohio. Jangan katakan Petter jenius jika bocah itu akan pusing sendiri dimana villa itu berada karena Ohio tentu saja daratan yang luas. Petter mencari tau dimana keberadaan orang tuanya hingga menemukan bahwa mereka kini masih berada disebuah tempat bernam Amish Country. Dirinya tak tahu itu dimana dan sejujurnya kedua orang tuanya tak pernah membawanya kemari, namun untuk saat ini, perutnya yang keroncongan akan lebih dahulu ia pikirkan. Menaruh ponselnya di saku celana, bocah itu bergerak menuju gerobak berkaca bening yang terliat tengah memanggang roti diatas tungku berapi dan asap kecil. Hm.. roti asap. Berpikir untuk memakan makanan berat beberapa saat lagi, dia hanya membeli satu buah roti kecil berlapiskan selai cokelat. Menggendong ranselnya kemudian berjalan sembari melahap dengan semangat roti yang sudah ia beli. Petter bergerak kearah utara, menuju sebuah persimpangan jalan dimana ia bisa melihat dengan jelas mengenai bangunan bangunan yang berdiri secara simetris. Beberapa toko sudah buka dengan kursi dan meja kecil yang memenuhi halaman depannya. Satu dua toko sudah terlihat memiliki pengunjung yang memakan sarapannya atau sekedar meminum kopi pagi dan menelan beberapa potong kue. Muak dengan kue dan roti yang berkali kali ia makan semenjak kemarin, bocah itu berbelok menuju sebuah restaurant bergaya italia yang menawarkan sejumlah sarapan pagi untuk perut kosongnya. Pasta, dan meatball dan soup mejadi pilihan yang pas untuk mengisi perut sekaligus menghangatkan tubuhnya. Sembari menunggu pesanan diantarkan ke mejanya, ia berkali kali melirik dirinya sendiri kearah cermin yang ada di samping kirinya. Petter merasa bau, kusam dan kotor karena seharian diperjalanan dan tidak mandi. Belum lagi bajunya sudah kotor dan berbau menyengat. Bahkan saat ia didalam penjara pun, ia belum pernah merasa sekotor ini karena memiliki jadwal mandi setiap hari. Ugh.. dirinya merasa ia sudah didalam tahap menjijikan. Makanannya yang masih panas satu persatu dihidangkan ke mejanya beserta s**u putih karena ternyata yang ada didalam menu hanyalah kopi dan berbagai macam racikan koktail. Bocah itu tak pernah menyukai kopi seumur hidupnya. Sembari menyeruput sup setelah ia menelan beberapa potong bola daging, yang masuk kedalam pikirannya bagaimana caranya membersihkan diri. Jika ingin memesan kamar dihotel, ia perlu kartu identitas tentu saja. Yang menyebalkan dari Ohio adalah tidak adanya tempat pemandian umum disini. Hah.. sepertinya Petter akan masuk kedalam mall untuk berbelanja beberapa potong baju saja. Setidaknya ia harus mengganti pakaiannya dan mencuci muka di wastafel. Ia tak ingin dalam keadaan paling terburuk saat bertemu kedua orang tuanya. Melahap pastanya dengan semangat, setidaknya harapan baru masih ada didalam jiwanya. Perjalanan menuju mall hanya berjarak sekitar sepuluh sampai lima belas menit dari gerai yang dimasukinya untuk sarapan tadi. Bisa lebih cepat jika berjalan cepat, tak lambat seperti apa yang bocah ini lakukan. Entah mengapa energinya seakan terkuras habis padahal yang dia lakukan hanyalah tidur, makan dan melamun selama berjam jam didalam bus. Menghiraukan tatapan curiga dari si penjaga mall karena untuk apa bocah kumal berkenaan kaus texas masuk kedalam mall dua puluh empat jam yang cukup mewah ini. Ah, sejujurnya ia tadi Petter memilih akan bermain di taman kota saja dahulu demi membunuh waktu sembari menunggu mall mall yang ada disana untuk buka. Namun saat mencari tahu, ada satu mall yang saat itu sedang buka dua puluh empat jam karena sedang high season. Sepertinya dewi keberuntungan tengah berpihak padanya. ..atau tidak? Memasuki kawasan pakaian dengan range harga cukup mahal, ia mengambil dua baju yang ia ukur asal asalan untuk langsung diserahkan kepada kasir dan melakukan pembayaran. Selesai dengan semua prosesnya, kini dirinya memasuki kamar mandi dan berganti baju. Mencuci mukanya untuk setidaknya membersihkan sisa sisa bermimpi, dan merapihkan rambutnya sedikit. Lagi dan lagi dirinya masuk ke alam lamunan, kini serta menatap wajahnya sendiri yang masih basah karena air basuhan. Banyak pikiran berkecamuk di kepalanya. Bagaimana jika orang tuanya terkena masalah saat dia ketahuan bersembunyi bersama orang tuanya? Apakah lebih baik dirinya bersembunyi sendiri saja berbulan bulan sampai para aparat itu lelah dalam mencarinya? Tapi sepertinya tidak mungkin. Dirinya tahu bahwa statusnya sebagai buronan tingkat satu yang bisa saja wajahnya tersebar dimana mana dengan pamflet siapapun yang menemukannya hidup hidup akan diberikan sejumlah uang yang cukup besar. Sesekali pikiran mengenai keempat orang yang sejak awal bersamanya itu lewat dalam benaknya. Apakah mereka akan menyumpahi Petter yang membuat karma secara langsung menhampiri padanya. Atau apakah mereka tak akan peduli karena Petter memang tak dapat membantu banyak. Apa yang bisa dilakukan bocah cengeng yang tidak bisa bertengkar dan maniak laptop? Menggelengkan kepalanya beberapa kali, Petter langsung keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang kalut dan terasa memberatkan pundaknya. Keluar dari area pembelanjaan sembari sibuk memainkan ponselnya. Lalu lalang belum banyak terlihat, toh kota ini sepertinya bukanlah kota yang sangat padat sehingga para pekerja kantoran tak perlu berangkat bekerja satu hingga dua jam lebih awal. Tak adanya taxi yang berlalu lalang membuat Petter memutuskan untuk membuat identitas palsu dan memesan taksi melalui aplikasi online. “Tolong antar aku ke Amish Country”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD