Chapter 25 - Comeback Home

1186 Words
Ini pukul tujuh pagi yang mana menjadi landasan lelaki bernama lahir Petter Chevalier itu membuka jendela taxi dan menghirup udara segar dalam dalam. Amish country such a beautiful countryside. Petter tak merasa menyesal sedikitpun untuk menghampiri orang tuanya kemari jika bisa melihat pemandangan seperti ini. Padang rumput hijau disebelah kanan yang berdampingan dengan sebuah rumah yang membuka lapak berjualan buah buahan membuat terkagum kagum. Terlihat labu labu besar ditata dengan rapih dihalaman rumahnya, apel dan persik yang ditata menjulang keatas dan beberapa buah buahan lainnya. Dilingkungan rumahnya, Manhattan, dirinya belum pernah menemukan hal yang sangat tradisional domestik seperti ini. Rumah nenek dan kakeknya pun masih disekitaran Manhattan meskipun bukan dipusat. Saat ia kecil dahulu, orang tuanya lebih sering membawanya ke tempat tempat bersejarah di eropa, namun tidak kedaerah pinggir kota atau pedesaan. Selama ini yang menjadi objek hiburan selama liburan adalah gereja gereja tua terbesar, museum yang menampilkan lukisan lukisan aesthetic atau bangunan bangunan gothic yang terpampang di sepanjang jalan. Tahu dunia sebegini indahnya, Petter pasti akan meminta untuk berlibur ke tempat yang seperti ini. Jauh dari polusi karena minimnya kendaraan, juga memanjakan mata. Sesekali, supir taxi yang bersamanya membunyikan klakson pelan dan menyapa para kusir yang membawa delman. Beberapa dipakai untuk mengangkut orang dan beberapa lagi dipakai untuk membawa berbagai jenis gandum yang sudah kecoklatan. Kuda kuda gagah nan tinggi itupun berhasil menghipnotisnya. Bagaimana elegannya surai yang beterbangan akibat angin yang menyapa, bagaimana halus dan bersihnya tubuh kuda tersebut karena rutin dimandikan membuatnya tersenyum kecil. Mobil semakin lama semakin melaju jauh dari tempatnya memesan taxi awal jam tujuh tadi. Kini mobil yang ditumpanginya melewati sebuah jalan kecil yang merupakan tunnel karena diatasnya terdapat sebuah jembatan. Keluar dari sana, yang terpampang di depan pupil matanya lebih menakjubkan lagi. Didepan matanya, terhampar sebuah padang rumput tinggi yang sudah berwarna kecoklatan. Perkebunan perkebunan jagung yang sudah siap panen menemani detik demi detiknya dengan perasaan membuncah. Terlihat pula beberapa rumah yang Petter tak tahu apa namanya, namun itu terlihat seperti rumah yang dimiliki oleh peternakan jika ia melihat dari beberapa film di televisi. Beberapa meter dari sana, terlihat sebuah padang rumput yang belum menguning dan sedang menjadi pijakan untuk puluhan sapi yang ada disana. Sesekali terdengar gumaman dan seruan kagum yang memancing tertawaan kecil dari pria yang membawanya kemari. Jika diingat ingat, total perjalanan dari Ohio menuju Amish Country berkisar kurang lebih dua jam. Persetan dengan mahalnya argo yang semakin lama semakin naik. Pemandangan ini dan orang tuanya membuat biaya itu worth the pay tho. Pegasus Farm Campground. Disanalah tempat dimana setir mobil digerakan untuk belok menuju sebuah campground yang lebih mirip dengan taman nasional. Baru masuk kedalam gerbangnya saja, semerbak wangi khas bunga yang baru mekar terkuar kemana mana. Membuatnya mendesah nyaman merasakan kedomestikan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Setelah memberikan lembaran uang cukup banyak pada paman yang selama dua jam ini mengantarnya, kakinya yang lelah tetap semangat melangkah lebih jauh. Dari tempatnya berdiri kini, dari parkiran yang lebih mirip seperti lapangan bermain anak atau arena bersepeda ibu kota terpampang jelas sebuah bangunan dengan atap merah yang identik dengan sebuah peternakan. Jika diperhatikan dari beberapa bangunan yang sepertinya dulu adalah sebuah kandang kuda namun kini direnovasi menjadi kafe, sepertinya campground ini dahulunya adalah sebuah peternakan yang cukup besar. Rumah yang tadi dilihatnya sepertinya welcome service yang bagusnya akan memberikan dia informasi kemana ia harus berjalan. “Hai anak manis” sapa seorang kakak perempuan cantik menggunakan rok merah dengan senyum merekah. “ingin mencari apa?” tanyanya antusias. Yang disambut dengan sebegitu riang hanya tersenyum kaku meskipun hatinya ikut membuncah. Sudah lama ia tidak berinteraksi dan dipandangan sebagai mana manusia, anak lelaki pada umumnya. “Bisa tunjukan aku dimana letaknya villa villa pribadi berada?” Perempuan tadi tersenyum manis dan bergegas memberikan sebuah kertas yang sudah terlipat dengan rapih. Disana terdapat sebuah mini peta dimana menunjukkan apa saja yang ada didalam campground ini. Benar gugaan Petter. Campground ini benar benar besar, lebih besar dibanding yang ia bayangkan. Tatapannya tertuju pada sebuah deretan bangunan yang tergambar dengan mungil dan lucu, titik dimana telunjuk kakak tadi menyentuh. “hanya disekitar sana kami menjual villa untuk dibeli secara pribadi, sisanya kami gunakan untuk layanan campground” jelasnya. “Kau tidak kemari bersama orang tuamu?” “ah.. ya aku telat beberapa hari karena harus mengejar remedial quiz di beberapa pelajaran” jawabanya bohong yang untung saja jawaban itu muncul dengan cepat dikepalanya. “Mau kuhubungi orang tuamu?” “Tidak perlu, aku ingin melakukan kejutan” “Such a sweet boy” rambut Petter diusak usak meskipun gadis tadi harus sedikit berjinjit melakukannya. Duh, bocah yang satu ini harus benar benar berhenti bertumbuh. Terkadang ketakutannya akan hidup sebagai manusia dua meter muncul saat diingatkan mengenai tingginya yang kini sudah mencapai seratus delapan puluh empat. Mengucapkan terimakasih, kini dia beranjak pergi mengikuti jalur yang sudah tertera dengan jelas di peta. Ia lelah, namun langkah kakinya sangat ringan. Kini dirinya menyusuri jalanan yang masih terpasang aspal dengan rapih. Disisi kanan jalan ada sebuah lapangan rumput hijau yang menjadi saksi bisu ikatan cinta kedua orang yang sedang diresmikan oleh pastur. Dirinya bisa melihat dengan jelas bagaimana excited seluruh keluarga dan sepertinya teman dari lovebird yang tengah berciuman disana. Gaun dari si pengantin terayun sedikit oleh angin pagi, membuat adegan yang sangat sakral itu menjadi semakin indah dengan ornamen ornamen yang tidak sengaja terbuat. Ikut tersenyum bahagia, Petter meninggalkan jalanan itu dan kini sudah mulai memasuki jalanan dengan tanah. Dari tadi pagi langit tak begitu terik.Hanya matahari yang mengintip malu malu dari balik awan, namun tetap menghangatkan hati dan tubuhnya. Hamparan kebun bunga matahari yang sedang menghadap sang fajar membuatnya otomatis mengeluarkan ponsel untuk memotret keadaan yang sedang indah indahnya itu. Belum lagi bayangan yang tak terlalu nampak, dan biasa sinar matahari yang sedang eksotis membuat seluruh campgorund ini terlihat amat menawan. “Good morning” ucap salah seorang pria dengan rambut yang membentuk sangkar burung baru keluar dari campingcarnya. Disini, selain menyediakan tenda untuk camping, tersedia pula tempat gratis untuk para traveler beristirahat selama perjalanan jauh di camping car. Mereka hanya akan membayar jika menggunakan fasilitas saja seperti mengisi aliran listrik, membuang kotoran atau mengisi air. “Good morning, sir” Petter melambai membalas. Si pria hanya memberikan lambaian singkat dan senyum kemudian berkutat dengan kursi lipatnya untuk menyeduh kopi yang ia buat sendiri. Semakin lama berjalan, semakin rimbun pula pohon pohon yang tertanam secara natural disana. Jika tadi matahari pagi masih bisa menghangatkannya, kini beberapa embun masih terlihat menempel didedaunan. Membuat kilap basah terlihat dengan jelas disana. Kakinya kini memilih untuk menyusuri rel kereta api bekas, dimana jika dipeta, rel itu hanya perlu membuatnya berjalan lurus untuk sampai di villa villa yang dimaksud. Kakak perempuan tadipun menyarankannya untuk berjalan menyusuri rel karena jika memasuki area perhutanan, akan cukup membingungkan karena tak ada penunjuk jalan. Terlihat pula satu buah kereta dengan hanya satu gerbong dibelakangnya. Ini seperti kereta api uap jaman dahulu yang sering Petter lihat di buku sejarah, namun terlihat lebih baik karena sepertinya di cat ulang untuk menambah daya tarik disana. Sekitar sepuluh menit berjalan, senyum indah mekar di bibirnya ketika menemukan tempat yang dimaksud. “Mama, papa, Petter pulang”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD