Chapter 26 - LIE

1793 Words
Sejujurnya jika dikatakan villa, ini lebih mirip rumah kabin luas dengan kesan klasik namun modern di beberapa sisi. Cerobong asap yang terbuat dari bebatuan menjulang keatas dengan indahnya. Belum lagi ornamen yang kebanyakan terbuat dari kayu, disandingkan dengan kaca kaca besar yang membuatnya lebih modern dibandingkan kabin disisi hutan lainnya. Plang nama ‘’Chevalier’s’ yang merupakan nama belakang ayahnya tersemat di kayu yang ada didepan rumah, membuat senyum manis semakin melebar hingga telinga. Petter mengendap endap, berjalan pelan berusaha tak mengeluarkan suara untuk memberi kejutan pada dua orang yang sudah lama tak ia jumpai. Baru saja tangannya akan menggerakan handle pintu, sebuah percakapan yang menghancurkan hatinya terlontar, membuat sendi sendi di kakinya terasa hancur bagaikan jelly. “Bagaimana bisa anak sialan itu keluar dari penjaramu yang gila?” makian adalah hal pertama yang didengar oleh Petter saat tangannya mencoba membuka pintu. Anak sialan katanya. Apakah orang tuanya sebegitu benci dengan dirinya yang melakukan kejahatan dan masuk kedalam penjara? Apakah kelakuannya dahulu mencoreng nama baik keluarga mereka. Jika iya, hukum saja dirinya, tapi tolong jangan usir dia pergi. “tenang- hey, bagaimana maksudmu aku bisa tenang jika uang miliyaran yang sudah kami bayarkan ke hacker terkenal itu sia sia jika b******n itu bisa keluar dengan bebas?” yang menjadi objek pembicaraan hanya mematung didepan pintu sembari mengigit lidahnya keras. Air mata satu persatu mulai turun membasahi pipi tembamnya, rasa aneh khas darah tak sengaja terkecap karena sepertinya dia terlalu kuat menggigit lidah. Bukannya rasa sakit, namun indranya tak merasakan kepedihan apapun selain dihatinya. Dia, yang mati matian bertahan hidup saat melakukan misi bunuh diri ketika keluar dari penjara sinting itu ternyata anak yang tidak diharapkan. Dia, yang rela mengkhianati rekannya yang sudah membantunya untuk keluar, ternyata tak akan diterima. Jadi untuk apa dia meneruskan hidup sejauh ini? Bukankah lebih baik dia mati saja saat di penjara saat itu tanpa mengetahui keadaan asli dari takdir kehidupannya. Mati dengan ekspetasi bahagia jauh lebih mengiurkan saat ini dibanding hidup namun penuh dengan rasa sedih yang berkelanjutan. “Halo? Hey, kau mendengarkan aku, tidak?” ah.. ternyata mereka sedang berbicara melalui telepon. “aku tidak peduli sebanyak apa napi biasa yang mati atau melarikan diri, dan aku sama sekali tak peduli berapa banyak anak buahmu yang mati. Yang menjadi masalah besar adalah kenapa bisa si sialan itu MELARIKAN DIRI” dengan nada yang meninggi dan tekanan disetiap penggalan kata. “Kau pikir mengubah ulang kriteria subjek itu mudah? Sudah bagus bagus kita mendapatkan orang orang yang sesuai kriteria untuk dijadikan objek, dan kau malah menghancurkan rencana kita” “Lalu kau pikir kita harus mencari kemana lagi orang orang kuat dan jenius untuk dijadikan biological weapons hah? Mereka bahkan bukan lagi akan dijadikan percobaan melainkan sudah resmi dicantumkan sebagai media pengubah” nada ibunya terdengar gusar. Tak lama, kepala keluarga itu mengambil alih ponsel demi menengkan istrinya yang dirasa sudah akan meledakkan kepalanya. “kau tahu kan, percobaan kita pada manusia manusia t***l dahulu saja merupakan keberhasilan besar? Apalagi jika kita berhasil mengubah empat orang b******n itu” helaan nafas yang panjang terdengar. “aku tak mau tahu, aku akan beritahukan hal ini kepada presiden, dan kau akan menanggung sendiri akibatnya” lalu sebuah bantingan benda yang Petter tak tahu apa itu terdengar.   Begitu? Jadi sebenarnya jalan hidupnya sudah ditentukan oleh kedua orang tuanya untuk menjadi kelinci percobaan. Jadi semua garis waktu yang dilaluinya bertahun tahun ini merupakan perbuatan kedua orang tuanya. Selama ini, dia hanyalah pupet yang bisa seenaknya dimainkan oleh kedua orang yang menghidupinya semenjak kecil. Apakah karena mereka orang tua, seorang anak tak berhak untuk hidup sebagaimana mereka mau? Pikirannya berkecamuk. Giginya kini beralih mengigiti bibirnya karena dirasa lidahnya sudah terlalu banyak yang sobek dan mengeluarkan darah. Haruskah ia ‘mengejutkan’ kedua orang tuanya saat ini? Kembali kehadapan mereka dan menyeruakkan isi kepalanya. Haruskan ia masuk, menangis lalu membunuh dirinya sendiri didepan orang tuanya? Toh senapan yang ia bawa masih terisi penuh dengan peluru karena belum digunakan semenjak kemarin. Bukankah dirinya objek sempurna untuk yang katanya senjata biologi tadi? Bukankah menyenangkan untuk melihat kedua orang tuanya histeris saat objek percobaan berharga mati dihadapan mereka langsung? Tunggu- Senjata Biologi. Bekerja sama dengan penjara. Jadi kedua orang tuanya merupakan dalang juga dari apa yang disebutkan Hans beberapa hari yang lalu? Namun mengapa pria itu tak berkata apapun padanya? Apakah pria itu merasa bahwa Petter harus mengetahuinya secara langsung dengan bukti nyata yang ada didepan matanya? Untuk apa? Untuk membunuhnya secara langsung dengan segala sakit hati yang menggerogoti dirinya? Dengan segala emosi yang memuncak dikepalanya, ia memilih untuk masuk dan meminta segala penjelasan. Tadinya. Sebelum tangannya ditarik, mulutnya ditutup dan ia diseret entah kemana oleh orang yang tak terlihat.     ---Aldeolos---         The thron from the bush one has planted, nourished and pruned pricks more deeply and draws more blood. Kata pepatah, duri dari semak belukar yang seorang telah tanam, pelihara dan pangkas akan menusuk lebih dalam dan menarik lebih banyak darah. Itu adalah hal yang sering ia dengar semenjak kecil. Mungkin ini maksud dari kedua orang tuanya. Petter hanyalah semak belukar yang dihidupi, bukankah seharusnya ia tak menggigit orang yang memberinya makan? “I’m sorry for hear that, Petter” sosok yang ada disampingnya sedari tadi enggan melepaskan tangannya barang sedetikpun. Elusan elusan pelan di tangannya menggunakan ibu jari terus dilakukan semenjak Petter masuk dan menduduki kursi mobil, tak peduli apakah bocah yang diperlakukan seperti ini mau atau tidak. “kau... mengetahui mengenai kedua orang tuaku?” tanyanya pada pria yang ada dibalik kemudi. Yang ditanya meskipun tidak ditatap, meredupkan matanya. Nyeri disekitar nadinya kembali terasa saat ia mendengar langsung apa yang diucapkan kedua orang tua Petter. Sekitar satu minggu yang lalu. Ya. Hans sudah mengetahui semuanya semenjak berusaha menyelinap kedalam rumah Petter untuk mengambil disk saat itu. “kenapa kau tak mengatakannya padaku” tatapan Petter yang tadinya hanya berfokus pada pemandangan diluar beralih menatap spion. Melirik pria yang paling tua untuk meminta jawaban. “Akan” katanya singkat. “Tadinya aku akan memberitahumu saat perjalanan kita ke Manhattan untuk mengumpulkan bukti. Aku tak sengaja mendengar dari mulut ibumu saat menyelinap ke kamarmu untuk mencuri disk. Aku baru tahu bahwa seluruh petinggi di NYC hingga seluruh amerika serikat, ilmuan hingga pemerintahan yang artinya pun sang presiden merupakan otak dari persenjataan biologi ini” jelasnya dengan perlahan lahan. “Kau... mungkin sudah mendengar perihal kau dan yang lainnya dijadikan... ehm objek-“ dengan tak enak hati Hans mencoba melajutkannya karena tatapan Petter seakan menuntut “tapi akupun tak tahu jelas pihak mana saja yang terlibat secara luas. Karena aku didepak” “Kau bagian dari b******n b******n itu?” Michael bertanya dengan tatapan yang tak terbaca. Nada suaranya terdengar hambar sama seperti dahulu ketika sibuk bertengkar dengan Ainsley dari waktu ke waktu didalam penjara. “I was” jawabnya. “aku tanpa kusadari, ternyata pernah menjadi bagian dari eksperimen sinting ini. Akulah yang membuat penjara rumit kalian. Akupun yang membuat beberapa bangunan yang sulit untuk dimasuki di beberapa titik lainnya yang sampai saat ini aku tak tahu itu untuk apa. Namun jika penjara kalianpun digunakan untuk hal buruk, berarti yang lain pun akan digunakan menjadi tujuan yang sama” “Aku menyadari berbagai macam keanehan saat tak sengaja mendengar pembicaraan para gubernur dengan atasanku. Aku mencoba mencari tahu banyak hal, namun yang baru kutemukan hanyalah perihal pembuatan senjata biologis itu saja. Aku lebih dahulu dilumpuhkan dan sempat diasingkan disuatu negara tropis yang aku tak tahu dimana. Disebuah bangunan terbengkalai dimana aku disiksa habis habisan untuk percobaan serum penghilang ingatan” kekehnya miris ketika mengingat masa masa menyedihkan itu. “Karena aku tahu cukup banyak hal dan sepertinya mereka menyadari bahwa aku dipihak yang kontra. Mereka menjadikanku objek untuk serum itu. Membunuh dua burung dengan satu batu. Membuatku lupa dengan segala informasinya dan memiliki objek percobaan baru. Mereka sangat pintar, bukan?” “Mungkin mereka berpikir aku sudah mati karena aku melemparkan bom bunuh diri didepan mata mereka. Entah sial atau beruntungnya, aku sadar meskipun tertimpah beberapa puing bangunan. Aku sadar, kemudian diam diam mencoba kabur dengan segala cara yang aku bisa hingga aku menemukan kalian. Di penjara yang pernah kubuat” Akhir dari cerita, hanya hening yang terasa di mobil itu. Atmosfer tak dapat didefinisikan. Semuanya memberikan ekspresi dan air wajah yang berbeda beda. “Maafkan aku, Petter. Aku tadinya akan menjelaskan semuanya kepadamu. Namun aku malah menjelaskan saat ini disaat dirimu sedang hancur hancurnya” Ainsley terlihat semakin erat menggenggam remaja disampingnya. Wajah Petter semakin lama semakin memerah dengan air mata yang sudah berhamburan. Direngkuhnya bocah itu kedalam pelukannya. Tersedu sedu menangisi takdir hidupnya yang dirasa bagaikan lelucon. “tak- apa” ucapnya tersendat sendat. “Kau tidak salah. Aku yang salah karena terlahir di dunia ini” Evan yang mendengarnya semakin mengeratkan kepalan tangannya. Manusia manusia b******n itu. Bisa bisanya mereka menghancurkan hidup seorang anak, atau mungkin banyak manusia lainnya demi mendapatkan keserakaan duniawi yang mereka damba dambakan. Michael yang mengapit Ainsey diantara dirinya dan Petter tak membuka mulutnya. Pandangan wajahnya berfokus pada ladang ilalang yang mereka lewati semenjak semenit yang lalu. Matanya berubah, seakan tak memiliki jiwa namun masih memiliki nyawa untuk melakukan apa yang ada dipikirannya. “Haruskan aku kembali kesana? Sepertinya aku memang dilahirkan untuk dijadikan monster itu oleh mereka” suaranya parau. “Setidaknya aku tidak mengkhianati mereka, dan aku merasa dibutuhkan” tangisnya semakin kencang meskipun wajahnya terkubur ditubuh Ainsley. Wanita yang mendengar itu seketika emosi. Ia tahu mungkin anak kecil ini sedang dalam fase hancur sehancur hancurnya, namun bagaimana bisa ia berpikir bahwa ia yang mengkhianati kedua orang tuanya? “Kami membutuhkanmu, Petter. Semua orang baik dan tak tahu apa apa didunia ini membutuhkanmu. Kau pintar, anak baik, anak menyenangkan, anak pemberani, anak kuat. Kau bisa bersama kami untuk melindungi semua orang yang ada didunia dari senjata biologi sialan itu” Evan berucap, mencoba memasuki pikirannya secara pelan pelan. “Bukan kau yang berkhianat, mereka yang mengkhianatimu. Sebelum menjadi anak mereka, kau lebih dahulu diciptakan sebagai manusia. Aku memang tak mengerti konsep Tuhan, tapi ku yakin tuhan menciptakanmu untuk menjadi manusia yang baik, bukan menjadi monster. Bukan kau yang mengkhianati mereka, Petter, tapi mereka yang mengkhianatimu” Ainsley mengangguk sembari menciumi pelipis berkeringat milik Petter berkali kali. Kasihan sekali anak kecil ini, sudah merasakan hancur akibat keluarganya diusia yang masih sangat kecil. Tiba tiba ia merasa sedikit bersyukur, yang mengkhianatinya dahulu adalah orang lain, bukan kedua orang tuanya meskipun keduanya harus tewas. Setidaknya ingatan Ainsley mengenai mereka masih bisa dikenang dengan baik. “Evan benar, Petter” Ainsley ikut bicara. “Ketika seseorang menghancurkan kepercayaanmu, jangan merasa bodoh karena mempercayainya. Kau tidak salah. Kau tidak melakukan kesalahan apapun. Mereka hanya orang yang tidak dapat dipercaya” suaranya mendayu sembari mengusap punggung si bocah. Membuat yang diusap semakin lama semakin mereda tangisnya. “Terimakasih”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD