Intermezzo - Tujuh Tahun Yang Lalu

2194 Words
“Kau yang mencuri uang dari kasir kan, sialan” sosok pemuda dua puluh tahun yang menjadi objek tuduhan akhirnya hanya menunduk diam setelah menghabiskan waktu hampir dua puluh menit untuk mengelak, namun tak didengar. Jam kerjanya memang habis sekitar setengah jam yang lalu, namun pria itu baru berminat untuk keluar dari minimarket tempatnya bekerja part time setelah menghabiskan sepuluh menit di kamar mandi akibat mulas yang tak tertahankan. Sekembalinya ia dari kamar mandi, sudah ada pemilik minimarket yang menuduhnya mencuri uang di kasir meskipun ia baru saja datang. Rekan yang menggantikan shiftnya pun mencoba membelanya, bicara bahwa Michael tak pernah sekalipun memberikan uang pergantian shift dalam keadaan kurang barang sepeserpun, namun pemuda malang itu malah dituduh menjadi sekongkolan bersama Michael. “Kau pikir aku tak tahu berapa kali dan seberapa banyak kau mencuri makanan dari sini, hah???” pipinya di tampar pelan menggunakan punggung tangan, namun setelahnya ia terjatuh karena diberi bogem keras sebanyak dua kali. “Yang aku ambil makanan kadaluarsa. Toh kau akan membuangnya, kurasa itu sama saja dengan aku mengambil di tempat sampah” dengan sedikit meringis, Michael mencoba menjelaskan kembali alibi alibi dari tuduhan yang di dapatkannya. Namun semua kejadian yang ditonton pengunjung minimarket ini, hanya berakhir dengan pemotongan gaji pria itu selama sebulan, jika menolak maka ia akan dikeluarkan. Rekannya hanya menatap miris dan menggumamkan maaf karena tak bisa membantunya banyak. Hidup kesusahan hingga para siswa bekerja paruh waktu menandakan memang keadaan ekonomi mereka tak memungkinkan untuk membantu sesamanya. Michael hanya mengangguk mengerti, mengulas senyum tipis kemudian keluar dari minimarket setelah meminta maaf pada pengunjung atas keributan yang terjadi. Kakinya menapak aspal, langkah demi langkah dengan pelan. Menatap pantulan air dari genangan yang tercipta akibat bolong bolong di beberapa sudut jalan, membuatnya menatap wajahnya sendiri yang sudah tidak karuan rautnya. Ia mengusap pelan leher belakangnya, dingin semakin merasuki tulangnya. Ini hampir tengah malam, para penghuni jalanan kebanyakan orang yang baru selesai kerja sepertinya, atau memang pedagang malam yang menjajakan makanan untuk orang orang yang ingin menghangatkan diri dan meminum alkohol. Musim panas namun hujan yang tak berhenti henti sejak kemarin membuat kepalanya memang sedikit berat dan hidung yang memerah. Jaket usangnya tak mampu menahan angin dingin yang meskipun berdansa dengan sepoi sepoi, namun tetap menghantarkan hawa yang membuat tangannya terasa beku. Ia mempercepat laju langkahnya, membuatnya bisa menghela nafas nyaman setelah punggungnya menyentuh sandaran kursi di busway. Tatapannya menatap lurus ke sebrang, dimana terdapat banyak gedung gedung tinggi dengan lampu menyala terang meskipun seluruh karyawan mungkin sudah bergelung dengan nyaman di kamar masing masing dengan selimut tebal mereka. Berbanding terbalik dengan dirinya yang dalam beberapa kurun waktu, hanya hidup bermodalkan makanan basi hasil curiannya dari minimarket dan lilin sebagai penerangan karena belum mampu membayar iuran listrik. Uang sewa rumah kecilnya memang belum termasuk dengan uang listrik yang menggunakan token sebagai penyalurnya. Tangannya saling menggesek pelan, membawanya kedepan mulut kemudian meniupkan hawa panas yang keluar dari mulutnya. Berpikir kembali bahwa hidupnya seakan berubah seratus delapan puluh derajat setelah keluar dari panti asuhan. Tidak. Ia tidak mengutuk kenapa sistem tersebut masih ada. Sistem dimana seseorang yang telah selesai sekolah menengah atas kan keluar dari panti untuk menghidupi dirinya sendiri. Sistem itu sangat wajar, tentu saja. Ia hanya berpikir bagaimana caranya para pengelola panti bisa memberi mereka semua makan dan beberapa pakaian meskipun bekas namun masih layak pakai untuk digunakan. Kamar yang nyaman meskipun sempit, lingkungan yang sangat menyenangkan. Ia mengutuk dirinya sendiri mengapa ia tak bisa menemukan pekerjaan yang setidaknya gajinya lebih besar sedikit. Atau minimal kerjaan penuh waktu agar ia tak susah susah berpindah tempat kerja di setiap beberapa jam sekali. Jikapun ditawari menjadi tukang bangunan di sebuah proyek, Michael merasa ia akan menerimanya dengan senang hati. Bus yang ia tunggu tunggu sejak tadi baru sampai. Pintu yang otomatis terbuka membuatnya masuk kedalam dan menyodorkan beberapa uang koin sebagai ongkos. Lagi dan lagi meminta maaf karena memberikan si supir uang yang berupa koin, yang hanya dibalas senyuman mengerti dari pria yang menrupakan pensiunan karyawan kantor itu. Michael duduk di ujung belakang, selalu disana setiap harinya hingga supir bus tersebut mengenalinya meskipun tak setiap hari Michael menaiki bus nya. Kadang pria itu berjalan kaki, kadang menaiki bus dengan supir yang lain. Bus yang menuju arah rumah sewanya ini memang memakan waktu lama untuk sampai di subway, dan tidak setiap hari seluruh supir berminat untuk mengemudi sampai tengah malam. Sedangkan rumah si pemuda cukup jauh jaraknya dari restaurant atau minimarket tempat ia bekerja. Mencari rumah sewaan di pusat atau sekeliling kota tentu saja memakan biaya sewa yang mahal. Oleh karena itu, ia memilih rumah sewaan di ujung kota, lebih dekat dengan pedesaan yang rumah sewaannya relatif lebih murah meskipun beberapa kali ia harus berjalan selama dua jam untuk sampai dirumah karena tidak ada bus yang lewat. Masih ada sekitar dua puluh lima menit lagi sebelum ia sampai di pintu desa yang merupakan titik turunnya ia dari bus. Mencoba memejamkan matanya untuk mengambil tidur sebentar, namun bayang bayang dari bos nya yang menuduhnya malah masuk di setiap sel otaknya. Memaksanya tetap bangun karena emosi yang semakin lama semakin menumpuk di d**a. Dalam setengah tahun ini, bisa terhitung sudah dua kali ia dituduh melakukan sesuatu yang sama sekali tak memiliki bukti. Dahulu ia dituduh memacari anak si bos, yang berujung dengan babak belurnya ia karena dipukuli ber jam jam. Belum lagi masalah masalah yang dibuat oleh rekan rekannya di restaurant. Menyenggolnya hingga ia memecahkan piring dan menghamburkan makanan didepan pelanggan, membuatnya dimaki habis habisan dibelakang dapur dan pemotongan uang gaji, belum lagi mereka yang bergunjing dibelakangnya. Hahh entahlah. Biasanya, jika seluruh emosi sudah menumpuk begini, ia hanya akan pulang, lalu tersadar di pagi harinya dengan keadaan lega dan seakan tak mengingat apa apa. Tidur memang merupakan obat mujarab bagi dirinya. Rem diinjak, laju mobil besar itu perlahan memelan dan berhenti. Setelah mengucapkan terimakasih dengan seadanya, karena sakit kepala yang semakin memberatkan kepalanya dan memang pria itu sedang tidak mood untuk beramah tamah, ia akhirnya menuruni bus untuk berjalan sekitar lima hingga sepuluh menit lagi melewati jalanan sepi yang diapit ladang dan persawahan. Ditatapnya seorang gadis yang sepertinya sama seperti dirinya. Baru saja pulang sehabis bekerja. Jarak mereka memang tak begitu jauh, hanya terhalang sekitar tiga meter, namun Michael mengerutkan dahinya ketika menemukan bahwa gadis itu berlari kecil dengan tergesa. Berniat untuk menolong karena dikirnya gadis itu tengah kesusahan, namun si gadis malah berbalik dan menodongkan pisau kecil kearahnya. “kau mau apa!?” sentaknya kecil. Mencoba untuk bersikap keras namun ketakutan lebih banyak memasuki relung nadinya. Michael, dengan kepala yang berat dan emosi yang menumpuk, terlihat mendatarkan raut wajahnya yang beberapa detik kemudian tersenyum lebar. Tatapannya berubah, kini ia malah terbahak kencang melihat si gadis mengeluarkan air seninya dan berlari menjauh karena semakin ketakutan dengannya. Apalagi kini. Memangnya dia se sampah itu ya hingga terus terusan dituduh hal yang macam macam. Dengan bola mata yang menajam, ia menggerakkan lehernya yang kaku, kemudian ikut berlari mengejar gadis di hadapannya. Ia menarik rambut panjang gadis itu hingga kedua tersungkur, yang menjadi korban mencoba melepaskan diri, namun kedua pipinya di tampar berkali kali hingga ia kesakitan dan suaranya mengecil meskipun hanya ingin berteriak meminta tolong. Michael meraih stocking yang digunakan oleh gadis tadi, menariknya keras keras untuk memperketat ikatan di tangan korbannya yang sudah ada di posisi atas. Menyingkap roknya kemudian menarik celana dalam gadis itu untuk disumpalkan ke mulut si pemilik, membuatnya tak bisa melakukan apapun selain menangis meratapi dirinya. “Kau pikir...” dengan perlahan, Michael membuka satu persatu kancing bajunya, mengambil alih pisau yang dibawa gadis tadi hingga berada dalam genggamannya. “Kau pikir kau siapa hah berani menuduhku seperti itu” Michael kembali melayangkan tamparan selama beberapa kali. Kulit bersih putih si gadis berakhir menjadi kanvas dari lukisan atas sayatan yang dibuat Michael menggunakan pisau tadi. Puas dengan hasilnya, ia mulai mencekik gadis itu hingga urat urat di sekitar pelipis korbannya mulai kelihatan. Menikmati bagaimana gadis itu bersusah payah meminta untuknya menghirup barang sedetik oksigen untuk paru parunya. Namun sayang, tak lama, gadis itu terkulai lemas seakan sudah tak memiliki nyawa. Yang menjadi pelaku hanya terkikik selama beberapa menit, melihat gadis itu terkulai dengan badan penuh karya seninya membuat ia merasa amat bahagia. Namun, belum sempat ia kembali mengukir, gadis itu nyatanya belum mati! Ia terbangun dan memberontak, membuat pisau tadi malah berbalik dan menusuk Michael. Murka dengan apa yang dibuat oleh korbannya, Michael dengan membabi buta menusuk segala sisi dari tubuh korbannya. Berdiri untuk beranjak pulang, namun belum sampai ke flat kecilnya, ia sudah tergeletak tak sadarkan diri karena darah yang terus keluar dari perutnya. Esoknya, entah bagaimana kejadiannya, ia terbangun di sebuah ranjang yang menurutnya cukup empuk dan bersih- berbeda jauh dengan ranjang yang ada di kamarnya-, dilengkapi dengan infus yang ternyata menyambung dengan jarum yang menusuk punggung tangannya. Ini rumah sakit, dan ia tak sadar mengapa bisa berakhir ada disana. Bau khas obat obatan memenuhi indra penciumannya. Matanya bergerak tak nyaman saat mencoba beradaptasi dengan cahaya yang tiba tiba menyakiti retinanya saat ia membuka mata. Mencoba mendudukan dirinya namun rasa nyeri langsung menghampirinya. Ia terengah. Mensugesti dirinya akan baik baik saja dengan bernapas teratur. Sekali lagi mencoba mendudukan dirinya walau nyeri kembali menghantamnya hingga ke urat urat di punggung. Tangannya meraba pelan sumber sakitnya tadi. Perutnya dilapisi balutan, mengelilingi hingga punggung, berlapis lapis. Ia menyibak baju pasien yang dikenakannya kemudian melihat ada sejumlah rona merah yang menembus balutan lukanya. Apakah ia terluka saat perjalanan pulang? Ia pun tak sadar. Yang ia pusingkan saat ini adalah mengapa ia bisa berada disana, apa penyebab dirinya ada disana, dan bagaimana caranya ia membayar semua perawatan yang tentu saja bisa dipastikan sangat mahal ini. Kenapa orang orang tak membiarkannya mati begitu saja? Apakah tampilannya tak cukup miskin untuk membuktikan bahwa ia tak punya uang? Matanya melirik kearah sofa disamping ranjangnya kini. Baju bajunya ada disana. Lengkap dengan sebuah dompet usang yang hanya berisikan kartu pengenal dan uang receh beberapa lembar. Setidaknya cukup untuknya menaiki bus dan makan mie instan atau nasi yang dibuat encer hingga akhirnya ia mendapat gaji bulanannya kembali. Ia beranjak bangun, menyambar barang barangnya kemudian tertatih keluar dari area rumah sakit secara diam diam. Sepertinya beruntung baginya untuk mencuri pakaian rumah sakit. Setidaknya lebih tebal dari pakaian pakaiannya dan akan nyaman untuk dipakai tidur. Ia menaiki bus yang telah ditunggunya selama delapan menit, menyandarkan kepalanya ke kaca karena mengingat bahwa dari tempat pemberhentian busnya ini nanti, ia harus melewati ladang yang amat sangat luas milik salah satu orang kaya disana, dengan jalan setapak yang hanya dilengkapi dengan lampu jalan yang sudah redup. Tidak, Michael sama sekali tak takut hantu atau iblis atau setan atau apapun sebutan yang biasa disebutkan orang orang. Ia takut pada manusia. Entah kenapa sejak kecil, ia lebih ketakutan bertemu dengan manusia walaupun sifatnya bisa dibilang amat sangat friendly. Ia hanya membuat personanya mudah didekati agar ia pun mudah untuk meminta pertolongan orang lain disaat ia benar benar membutuhkannya. Lalu ketakutan ketakutannya itu terjadi hari ini. Tuhan, maafkan Michael apabila ia banyak melakukan dosa dan mengumpat belakangan ini, tapi ia lebih memilih mati kelaparan atau mati ditabrak bus daripada mati ditangan psikopat. Ia mengumpati dirinya sendiri kenapa kabur dari rumah sakit saat tengah malam seperti ini. Maafkan dirinya tapi ia pun mengumpati gadis yang mengapa pulang ke daerah sepi pada tengah malam seperti ini hingga berakhir ia harus menjadi korban dari psikopat sinting. Ini aneh. Ia biasanya memiliki kelebihan sikap patriotik di dalam dirinya, mungkin karena tumbuh dalam lingkungan damai panti, jadi ia tak tahan apabila melihat orang dilecehkan atau menjadi korban bully. Namun sepertinya ketakutannya mengalahkan sikap patriotiknya saat ini. Ia hanya berdiri dibalik pohon besar, karena takut ketahuan oleh psikopat gila itu. Ia dengan jelas bisa melihat bagaimana psikopat itu mengikat tangan korbannya keatas, menyumpal mulutnya dengan celana dalam milik gadis itu sendiri, membuka paksa baju bajunya, bukan untuk dilecehkan, namun untuk disayat pelan pelan, seakan menikmati bagaimana jeritan kecil tertahan gadis itu, menikmati bagaimana rasa takut disertai bulir air mata terpancar dari mata korbannya. Michael bisa melihat dengan jelas bahwa psikopat tadi berakhir mencekik korbannya itu hingga ia tergeletak lemas. Michael bisa dengan jelas mendeskripsikan saat psikopat itu sudah siap untuk memotong motong badan korbannya, si korban sadar kembali. Entah kekuatan dari mana, ia mendorong psikopat itu, lalu secara tak sengaja pisau milik si psikopat malah berbalik ke dirinya sendiri, menyakitinya. Tak terima dengan perlakuan korbannya, ia dengan membabi buta menyerang gadis malang itu. Menusukkan pisaunya berkali kali di berbagai tempat hingga korbannya itu benar benar menarik nafas terakhirnya di tangan manusia b******n itu. Michael tak sanggup lagi. Ia mengendap endap, sedikit berlari kembali ke daerah hunian kumuhnya yang tak jauh lagi dari sana. Ujung ladang sudah nampak, ia akan sampai di rumahnya yang walaupun kecil, namun ia rasa aman untuknya bersembunyi. Ia dengan cepat masuk ke rumahnya. Mendorong meja tua yang disediakan pemiliknya untuk mengahalau pintu. Ia benar benar ketakutan akan ketahuan oleh psikopat itu dan berakhir menjadi korban juga. Sudah bermenit menit berlalu. Dengusan napas kasarnya sudah kembali menghalus. Ia mengerang pelan memegangi perutnya yang ia rasa kembali sakit. Merebahkan dirinya di kasurnya, lalu masuk ke alam mimpi.               Adalah hal lumrah bagi pembunuh untuk berdiam, atau setidaknya hanya berdiri dan merasa tidak asing dengan tempat dimana ia berhasil membunuh. Baik dirinya ingat atau tidak.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD