Chapter 4 - Malaikat Dari Panti Asuhan Bernama Michael

2326 Words
“Kak Micha, kak Micha!!”   Begitulah sapaan khusus dari para penghuni panti asuhan itu untuknya. Mereka yang keluar masuk setiap tahunnya, perkembangan umurnya, hingga cara mereka dididik turut menjadi pantauan Michael, atau yang sering disebut Micha hingga umurnya beranjak dua puluh tahun. Ia yang sedari kecil melihat teman temannya satu persatu menemui keluarga barunya sempat sedikit kecewa karena tak banyak yang memberikannya perhatian. Jikalau pun ada, mereka semua tak ada yang jadi untuk mengadopsinya, membuatnya tetap berada di panti ini hingga umurnya yang sudah dewasa.   “Kak Micha, apakah benar kakak akan meninggalkan kita?”   “Kak Micha, kak Micha. Itu bohong kan?”   “Kak Micha!! Lalu bagaimana janji mu untuk mengajari aku bermain piano?”   Segerombolan anak kecil yang sudah ia kenal dengan baik menggerubunginya seperti lalat. Dua diantaranya memanjat kakinya, dan salah satunya sibuk naik keatas kursi untuk bisa naik ke punggungnya.   Yang diberondongi pertanyaan hanya tertawa kecil sembari berusaha melangkah menuju halaman belakangan dengan menyeret kakinya yang ditaiki dua balita. Belum lagi tangannya yang kesusahan membawa ember besar yang penuh dengan pakaian basah. Hari ini adalah jadwalnya untuk mencuci, yang seharusnya dibantu oleh adik adiknya, namun semuanya malah sibuk membuatnya pusing.   Seorang remaja ikut menghampirinya. Rambutnya panjang diikat kuncir kuda, dengan pipi berlubang yang menambah kadar kemanisan di senyumnya ikut membantunya untuk memeras air dari tumpukan baju yang ada disanya.   “Kak Michael, benarkah yang kudengar dari ibu, tentang kakak yang akan keluar dari panti senin nanti?”   Ah… lagi lagi hal itu dibahas saat pria itu sendiri enggan mengigatnya. Sebenarnya sebuah hal yang amat sangat wajar jika semua orang bertanya padanya. Namun seharusnya mereka memang sudah mengetahuinya dengan jelas, karena peraturan panti memang mengharuskan semua anak yang sudah berusia diatas dua puluh tahun harus meninggalkan panti dan mau tidak mau harus hidup mandiri.   Panti tidak mungkin terus menampung mereka disaat yang bersamaan semakin banyak anak yang dibuang atau sekedar ‘dititipkan’ ke panti. Orang orang yang sudah dewasa lah yang harus dituntut keluar, lagi pula mereka harus belajar untuk menghidupi dirinya sendiri dan mulai membangun relasi. Entah itu untuk urusan pekerjaan atau romansa.   “Tentu saja.. bukankah kalian tahu peraturan di panti, hm?” jawabanya setelah terdiam cukup lama.   “Ahhh aku benci menjadi dewasa” bocah perempuan yang tadi menggelayuti kakinya terlihat nampak memajukan bibirnya. “Apakah ibu tidak sayang ya pada kita? Makanya kita akan dibuang kembali saat sudah dewasa” tuturnya yang cukup membuat Michael kaget.   “Hey sweety. Kau dengar dari mana, hm, kata kata jahat seperti itu?”   “Bukankah itu benar, kak? Kita anak yang tidak diinginkan bukan, makanya kita dibuang ke panti. Lalu saat sudah besar, kita kembali dibuang oleh ibu” Ibu. Sebutan dari semua anak untuk ibu panti yang mengurus mereka hingga ‘menyodor’kan mereka kepada para calon keluarga baru.   “Hey, dengarkan aku, manis” Micha menangkup pipi gembul milik adiknya itu. Ia memang sudah menganggap semua orang yang pernah ada disana sebagai adik atau kakaknya, tak peduli jika mereka sudah memiliki keluarga baru suatu saat nanti dan melupakannya.   “Ibu merawat kita dari kecil.. hingga kita bertemu dengan keluarga baru. Apakah menurutmu ibu tak akan sedih mendengar ucapanmu itu, hm?” Michael berujar dengan senyum lembut yang tetap menyertai. “Lagipula, bagi kami para kakak yang sudah dewasa, keluar dari panti itu diharuskan, karena kita harus belajar untuk mencari uang, sayang. Lalu nanti kami akan kaya, dan membelikan adik adik mainan dan buku baru?”   “Mainan???” “Tentu saja. Kamu suka mainan kan?“ yang dijawab anggukan ragu disertai penyesalan di mata cantiknya. “Cuci tanganmu lalu bergegaslah mencari ibu, peluk lalu minta maaf padanya. Mengerti?” yang lagi dan lagi hanya disambut oleh anggukan ragu dari gadis kecil dengan poni rata itu.     ---------------------       Deras air hujan tak membuatnya berhenti untuk terus berlari. Sedikit mengumpat karena telat sampai ke halte bus, membuatnya harus berlarian menuju tujuannya saat ini. Jadwal kedatangan bus ke tujuannya berkisar tiga puluh menit untuk setiap bus yang datang. Ia yang sudah tahu bahwa ia telat tak mungkin menunggu setengah jam untuk naik bus berikutnya, juga tak mungkin memesan taksi yang hanya membuang buang uang makannya untuk dua minggu. Ia berakhir memacu kakinya untuk berlari, menyelipkan diri diantara kerumunan orang, tak peduli dengan makian orang yang hampir saja membunuhnya karena tertabrak, juga menghiraukan hujan deras yang membasahi dirinya. Dua puluh lima menit ia menjahati paru parunya sendiri, hingga kemudian dia sampai di pintu belakang sebuah restourant mewah dengan pelayanan yang katanya memiliki sistem terbaik. Masuk kedalam dengan tergesa, menaruh tasnya yang sudah basah ke dalam loker setelah mengeluarkan seragam yang selalu tersimpan rapih di ruang loker. Untung baginya karena bagi setiap karyawan, seragam akan diganti sebulan sekali dengan sistem laundry terbaik yang difasilitasi oleh manajemen, salah satu upaya agar pelanggan tetap merasa nyaman dengan pegawai pegawai mereka. Ia mengganti sepatu usangnya. Menaruh kaus kaki basahnya diatas loker, berharap saat ia pulang nanti itu akan kering, kemudian turut mengganti alas kakinya dengan sepatu standar yang juga difasilitasi oleh manajemen. Ia masuk ke area restourant. Diam disalah satu dinding menunggu seseorang di areanya mengangkat tangan untuk memanggilnya. Ia tahu dengan pasti bahwa manajernya melihatnya tak jauh dari sana, sembari melirik jam tangan mahalnya untuk memastikan berapa menit keterlambatan pria itu untuk bekerja. Sepertinya gajinya yang tak seberapa itu akan kembali dipotong bulan ini. Seorang pelanggan menjulurkan tangannya sebagai gesture untuk memanggilnya. Ia membawa sebuah buku menu dengan design yang sangat berkelas, menawarkan sejumlah wine mahal yang menjadi favorite orang orang disana. Memberikan laporannya pada kitchen lalu akan kembali lagi untuk mengambil makanan yang sudah dipesan. Setelah orang orang kaya kebanyakan uang tadi selesai dengan makanannya, ia akan kembali ke meja mereka untuk mengambil piring kotor. Tak jarang rekannya yang entah kenapa semuanya saling sirik beberapa kali menyenggol rekannya yang lain agar piring terjatuh, dipermalukan oleh tamu dan dipastikan akan dimaki maki oleh atasan mereka. Michael mencoba berelasi baik dengan rekan rekannya itu- walau enggan karena mereka sedikit b******n, namun tetap harus untuk menjaga ia tak akan menggantikan harga piring yang super fantastis itu. Terkadang ia pun berharap akan mendapat tip yang cukup besar dari tamu tamunya. Hari jumat hingga minggu merupakan hari yang paling sibuk bagi orang yang bekerja di restourant. Tak jarang tangannya terasa ngilu karena berkali kali harus mengangkat tiga sampai empat piring sekaligus, dengan bobot piring yang cukup berat. Ingin rasanya ia sedikit memijat pergelangan tangannya, namun mata awas milik manajernya terkadang membuatnya ciut. Ia sadar ia membutuhkan pekerjaan ini dan tak ingin bermacam macam dengan atasannya itu. Empat jam yang melelahkan selesai. Ia yang seharusnya sudah bisa beranjak keluar mau tak mau harus menahan dirinya untuk mendengarkan makian makian yang dikeluarkan atasannya. Sudah terlalu biasa. Cukup sakit hati, namun ia terbiasa. Lagi pula apa yang diharapkan pria dua puluh dua tahun dengan status hanya lulusan sekolah menengah atas dan memiliki sebuah kontrakan kecil kumuh yang tetap harus dibayar cukup mahal. Setidaknya itu mahal menurut kategori keuangannya. Ia keluar melalui pintu belakang restourant. Kembali menangisi dirinya sendiri karena ternyata hujan belum reda, atau kembali turun saat ia pulang. Ini sudah jam tujuh malam. Satu jam lagi ia ada jadwal menjaga minimarket di salah satu tempat yang cukup ramai hingga tengah malam. Lelah? Tentu saja. Ia manusia. Namun ia tetap perlu makan, ia tetap perlu membayar uang untuk tempat tinggalnya. Setidaknya itulah penyemangat penyemangatnya untuk terus hidup seperti ini. Sebelum bertukar shift dengan rekan kerjanya, ia harus masuk ke loker untuk mengambil rompi kerjanya. Masuk ke ruangan yang menyerupai kulkas raksasa untuk mengisi ulang minuman minuman juga ice cream yang akan dipajang. Tak lupa snack snack berukuran besar yang lebih cepat habisnya dibanding yang lain. Saat sudah ada di balik kasir, ia tetap harus fokus untuk jaga jaga agar tak ada orang yang mencuri barang disana. Tentu saja orang yang saat itu berjaga yang akan menggantikan uang dari barang yang sudah dicuri itu. Belum lagi saat sudah jam jam sepi pengunjung, ia harus membersihkan meja penuh bekas sampah makanan mini market yang tak dibuang oleh pelanggannya. Mengumpulkan sampah ke dalam satu karung besar, mengelap meja meja, dan kembali mendisplay barang barang yang sudah habis. Hingga jam kerjanya berakhir. Namun entah bagaimana kejadiannya, ia terbangun di sebuah ranjang yang menurutnya cukup empuk dan bersih- berbeda jauh dengan ranjang yang ada di kamarnya-, dilengkapi dengan infus yang ternyata menyambung dengan jarum yang menusuk punggung tangannya. Ini rumah sakit, dan ia tak sadar mengapa bisa berakhir ada disana. Bau khas obat obatan memenuhi indra penciumannya. Matanya bergerak tak nyaman saat mencoba beradaptasi dengan cahaya yang tiba tiba menyakiti retinanya saat ia membuka mata. Mencoba mendudukan dirinya namun rasa nyeri langsung menghampirinya. Ia terengah. Mensugesti dirinya akan baik baik saja dengan bernapas teratur. Sekali lagi mencoba mendudukan dirinya walau nyeri kembali menghantamnya hingga ke urat urat di punggung. Tangannya meraba pelan sumber sakitnya tadi. Perutnya dilapisi balutan, mengelilingi hingga punggung, berlapis lapis. Ia menyibak baju pasien yang dikenakannya kemudian melihat ada sejumlah rona merah yang menembus balutan lukanya. Apakah ia terluka saat perjalanan pulang? Ia pun tak sadar. Yang ia pusingkan saat ini adalah mengapa ia bisa berada disana, apa penyebab dirinya ada disana, dan bagaimana caranya ia membayar semua perawatan yang tentu saja bisa dipastikan sangat mahal ini. Kenapa orang orang tak membiarkannya mati begitu saja? Apakah tampilannya tak cukup miskin untuk membuktikan bahwa ia tak punya uang? Matanya melirik kearah sofa disamping ranjangnya kini. Baju bajunya ada disana. Lengkap dengan sebuah dompet usang yang hanya berisikan kartu pengenal dan uang receh beberapa lembar. Setidaknya cukup untuknya menaiki bus dan makan mie instan atau nasi yang dibuat encer hingga akhirnya ia mendapat gaji bulanannya kembali. Ia beranjak bangun, menyambar barang barangnya kemudian tertatih keluar dari area rumah sakit secara diam diam. Sepertinya beruntung baginya untuk mencuri pakaian rumah sakit. Setidaknya lebih tebal dari pakaian pakaiannya dan akan nyaman untuk dipakai tidur. Ia menaiki bus yang telah ditunggunya selama delapan menit, menyandarkan kepalanya ke kaca karena mengingat bahwa dari tempat pemberhentian busnya ini nanti, ia harus melewati ladang yang amat sangat luas milik salah satu orang kaya disana, dengan jalan setapak yang hanya dilengkapi dengan lampu jalan yang sudah redup. Tidak, Michael sama sekali tak takut hantu atau iblis atau setan atau apapun sebutan yang biasa disebutkan orang orang. Ia takut pada manusia. Entah kenapa sejak kecil, ia lebih ketakutan bertemu dengan manusia walaupun sifatnya bisa dibilang amat sangat friendly. Ia hanya membuat personanya mudah didekati agar ia pun mudah untuk meminta pertolongan orang lain disaat ia benar benar membutuhkannya. Lalu ketakutan ketakutannya itu terjadi hari ini. Tuhan, maafkan Michael apabila ia banyak melakukan dosa dan mengumpat belakangan ini, tapi ia lebih memilih mati kelaparan atau mati ditabrak bus daripada mati ditangan psikopat. Ia mengumpati dirinya sendiri kenapa kabur dari rumah sakit saat tengah malam seperti ini. Maafkan dirinya tapi ia pun mengumpati gadis yang mengapa pulang ke daerah sepi pada tengah malam seperti ini hingga berakhir ia harus menjadi korban dari psikopat sinting. Ini aneh. Ia biasanya memiliki kelebihan sikap patriotik di dalam dirinya, mungkin karena tumbuh dalam lingkungan damai panti, jadi ia tak tahan apabila melihat orang dilecehkan atau menjadi korban bully. Namun sepertinya ketakutannya mengalahkan sikap patriotiknya saat ini. Ia hanya berdiri dibalik pohon besar, karena takut ketahuan oleh psikopat gila itu. Ia dengan jelas bisa melihat bagaimana psikopat itu mengikat tangan korbannya keatas, menyumpal mulutnya dengan celana dalam milik gadis itu sendiri, membuka paksa baju bajunya, bukan untuk dilecehkan, namun untuk disayat pelan pelan, seakan menikmati bagaimana jeritan kecil tertahan gadis itu, menikmati bagaimana rasa takut disertai bulir air mata terpancar dari mata korbannya. Michael bisa melihat dengan jelas bahwa psikopat tadi berakhir mencekik korbannya itu hingga ia tergeletak lemas. Michael bisa dengan jelas mendeskripsikan saat psikopat itu sudah siap untuk memotong motong badan korbannya, si korban sadar kembali. Entah kekuatan dari mana, ia mendorong psikopat itu, lalu secara tak sengaja pisau milik si psikopat malah berbalik ke dirinya sendiri, menyakitinya. Tak terima dengan perlakuan korbannya, ia dengan membabi buta menyerang gadis malang itu. Menusukkan pisaunya berkali kali di berbagai tempat hingga korbannya itu benar benar menarik nafas terakhirnya di tangan manusia b******n itu. Michael tak sanggup lagi. Ia mengendap endap, sedikit berlari kembali ke daerah hunian kumuhnya yang tak jauh lagi dari sana. Ujung ladang sudah nampak, ia akan sampai di rumahnya yang walaupun kecil, namun ia rasa aman untuknya bersembunyi. Ia dengan cepat masuk ke rumahnya. Mendorong meja tua yang disediakan pemiliknya untuk mengahalau pintu. Ia benar benar ketakutan akan ketahuan oleh psikopat itu dan berakhir menjadi korban juga. Sudah bermenit menit berlalu. Dengusan napas kasarnya sudah kembali menghalus. Ia mengerang pelan memegangi perutnya yang ia rasa kembali sakit. Merebahkan dirinya di kasurnya, lalu masuk ke alam mimpi.     ------------     Jika kalian pikir karena ia ketakutan, ditambah perutnya sedang luka, ia bisa menyayangi dirinya sendiri dengan libur sementara dari tempat kerjanya. Toh ia bekerja dihitung per jam. Selama dua tahun terakhir ia tak pernah libur sekalipun diperbolehkan. Namun tidak. Ia tetap bekerja dengan keadaan luka yang sepertinya belum mengering. Menahan sakit sembari tetap memberikan senyum terbaiknya kepada pelanggan saat ia membawakan piring berisi makanan mahal yang dibuat oleh chef profesional. Ia dengan lincah memberikan buku menu dan rekomendasi makanan atau minuman mahal dengan rasa terbaik apabila diminta. Tersenyum sumringah karena hari ini beberapa pelanggan memberinya tip yang cukup besar. Berkah atas bekerja dikala sedang sengsara. Sepertinya tuhan tetap menyayanginya. Atau tidak. Karena ia yang baru saja kembali dari kamar mandi akibat rasa ingin buang air kecil yang tak bisa ditahan, dikagetkan dengan gerombolan polisi yang datang saat ia kembali ke area restourant. Menghiraukan raut wajah kaget atasan dan rekan rekannya, apalagi raut terkejut miliknya, para polisi itu dengan bergegas memborgol kedua tangannya. Mengucapkan sebuah kalimat yang membuatnya tercengang namun heran disaat yang bersamaan. “Michael Garvin, kau ditangkap atas pembunuhan berantai  lima korban selama dua tahun belakangan ini. Anda ditahan dengan tuntutan Kejahatan terhadap nyawa menurut pasal 338 undang undang hukum pidana. Anda berhak diam atau memanggil pengacara. Sekarang ikut kami ke kantor polisi”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD