Chapter 3 - The Cage

1565 Words
Matanya mengerenyit, mengusak pelan kedua kelopak matanya dengan kasar, kemudian memijit pelipisnya pelan. Kedua bola matanya berpendar, mencoba memperhatikan tiap sudut dari sebidang kecil ruangan yang saat ini ia tempati.              Riak atmosfer terasa tenang. Indra penciumannya tak sengaja membaui, namun tidak menemukan sejumlah fakta yang berarti. Ia memaksa tubuhnya untuk berdiri, sedikit terhuyung karena sakit yang masih merajai kepala, tapi tetap memaksakan seluruh indranya untuk mengenali tempat ini.              Sebuah ruangan dengan dinding yang catnya terkoyak, kasur berukuran hanya untuk satu orang yang dapat ia pastikan rasanya tak akan berbeda dengan tidur di lantai yang dingin. Sebuah kamar mandi kecil dengan hanya sebuah tirai tipis sebagai sekatnya. Hanya itu. Pria jangkung itu bahkan tak tahu dimana letaknya pintu yang menjadi sarana memasukkan kedalam ruangan ini.              Remang dari sebuah lampu kekuningan tidak membantunya untuk mengenali tempat ini. Tak ada sebercak cahaya apapun selain dari bohlam kecil diatas kepalanya itu, dan cahaya redup dari luar ruangannya ini.              Matanya melirik penasaran ke arah jeruji besi yang membatasi dunianya dengan dunia luar saat ini, terlihat seperti lempengan besi tebal biasa, namun ada bau khas yang sedari tadi masuk ke indra penciumannya. Tangannya terjulur pelan, kemudian terhempas kencang saat berhasil menyentuh besi yang ternyata dialiri listrik dengan kekuatan tinggi itu. Ia mengerang kesakitan. Mengibas ibaskan tangannya, dengan niat untuk meredakan nyeri yang menjalar hingga pundaknya.               Gema kekehan pelan masuk ke indra pendengarannya. Sebuah suara dengan nada berat yang menghasilkan tertawaan kecil, entah mengapa agak menyinggung dirinya saat ini.              “Kudengar kau ilmuan terkenal itu ya?” Lagi lagi suara itu terdengar. Evan kembali beranjak mendekati jeruji tadi, melongok sedikit berharap tahu apa yang ada diluar sel nya ini.  Hal yang ada di depan sel nya itu hanyalah sebuah tembok putih yang sangat polos, namun suara tadi berasal dari kanannya.              “Kukira ilmuan itu pintar, namun kau ternyata cukup bodoh untuk meletakkan tanganmu di jeruji listrik itu” nada menyebalkan itu kembali terdengar. “Jika kau ingin menghajarku, kau tak akan bisa tuan ilmuan” lanjutnya- “Karena jarak jeruji kita cukup jauh, dan posisi zig zag ini tak dapat membantumu untuk mengenali wajahku yang tampan ini” Baiklah. Cukup. Ia akan mengenali suara itu baik baik, dan apabila ia keluar dari sana suatu saat nanti, ingatkan dia untuk tak lupa menghajar orang sok tahu itu.              Evan kembali duduk di ranjangnya. Menghela nafas pelan kemudian berpikir baik baik tentang bagaimana ia masuk ke penjara sialan ini. Setelah penangkapannya saat itu, tanpa pengadilan, tanpa adanya banding, ia dengan mudahnya dimasukan ke dalam penjara. Membuatnya kini harus memutar otaknya baik baik bagaimana caranya agar ia bisa keluar dari sini.              Berbagai kilasan ia coba kembalikan pada otaknya, mencoba membuat beberapa dari banyaknya peluang dimana ia bisa mengeluarkan diri dari tempat asing ini. Isi kepalanya bekerja dengan keras, namun dirinya tak dapat menemukan satu informasi apapun yang bisa membantunya merealisasikan ide gila tentang kabur dari penjara. Dirinya menyesali kenapa dia tak sadarkan diri saat dibawa kesini- setidaknya dia bisa tahu dimana posisi penjara ini, juga bagaimana medan yang akan dilewatinya jika memang pikiran sintingnya itu butuh afeksi.              Namun pikiran itu tetaplah menjadi pikiran, hingga kini ia telah genap dua tahun melecehkan namanya sendiri dengan mendekam di penjara. Tanpa sinar matahari, tanpa jam, tanpa kalender. Ia bahkan tak bisa mendengar apapun dari luar. Ia tak bisa memastikan penjara mana yang memiliki peraturan se sinting ini.              Ia tak tahu kapan hari mulai menggelap atau kapan waktu makan yang sebenarnya. Goresan korek api di dindingnya hingga berjumlah dua tahun itu hasil dari menghitung berapa kali ia terbangun setiap harinya. Bisa saja ia belum dua tahun berada di sana, atau mungkin sudah lebih dari lima tahun tanpa disadarinya.              Entahlah. Yang pasti, sejauh ia berada disini, ia hanya mengetahui bahwa ia tak bisa keluar dari sel jerujinya. Sama sekali. Dikarenakan ada kamar mandi di dalam, ia melakukan semua kegiatannya seorang diri di dalam kamar. Berbeda jauh dari ekspetasinya tentang penjara yang pernah ia tonton sewaktu luang. Dimana kalian akan diberikan teman satu sel, tetap bisa membaca dan memiliki pakaian, keluar dari sel saat waktunya mandi bersama atau berolahraga bersama, dan hal hal lainnya.              Ia dipaksa telanjang sebelum sempat memasuki kamar mandinya, menyerahkan satu satunya pakaian yang ia punya, baru akan diberikan sepasang pakaian baru untuknya sehabis mandi. Setelah itu ia dititahkan untuk membalikan badan saat para sipir mematikan akses listrik di jeruji, memasukkan piring dan gelas plastik untuknya makan.              Sehabis makan, seluruh alat makannya akan di check, memastikan bahwa para tahanan tak menghilangkan atau mematahkan alat makan tersebut untuk dijadikan sesuatu yang takutnya menjadi senjata.              Ia cukup frustasi. Tak ada celah bagi dirinya sendiri untuk keluar dari sana, atau sekedar menikmati hidupnya dipenjara, atau mungkin mengakhiri hidupnya. Ia sudah mencoba menahan nafasnya sendiri dengan maksud agar ia mati kehabisan nafas, tapi gagal. Entah karena takut mati atau apalah itu, ia dengan refleks menarik nafas dalam dalam, bernafas dengan berisik hingga menimbulkan suara penuh nada tanya dari luar sel sana.              “Kau.. menahan nafasmu, tuan?” Suara nyaring khas anak kecil. Saat itu Evan sedikit terheran dan meragukan pendengarannya. Bagaimana bisa seorang bocah sudah masuk ke penjara seperti ini. Kejahatan macam apa yang ia buat hingga berakhir tumbuh di dalam penjara.              Apakah bocah itu mencuri sesuatu? Namun pria itu rasa, apabila kejahatan pencurian kecil, apalagi yang mencurinya adalah anak dibawah umur, dirasa tak akan mungkin apabila masuk ke dalam sistem penjara yang seketat ini. Bulir demi bulir pikiran bermain di otaknya, mencari berbagai kemungkinan yang possible terjadi mengenai alasan bocah bersuara nyaring itu bisa masuk ke dalam sini. Ataukah bocah itu tak sengaja membunuh seseorang?              Terkadang, selain pria bersuara berat dan anak kecil tadi, suara kencang namun terasa dari jauh terdengar. Umpatan milik seorang wanita sesekali masuk ke telinganya karena bocah kecil dan pria bersuara berat kedapatan berbincang.              Kalimat kalimat seperti menyuruh mereka berhenti bicara disertai umpatan itu nyatanya tak membuat kedua pria yang sudah pasti tak dapat melihat satu sama lain tetap berbicang layaknya teman lama. Seperti saat ini-              “Kau lapar lagi, bocah?” Gerutuan pelan milik bocah tadi sepertinya terdengar di telinga pria bersuara berat. Pria itu terdengar cekikikan tak jelas saat kembali mendapat balasan gerutuan dari bocah yang dimaksud. Sepertinya terlalu lama dipenjara membuatnya sudah menjadi gila. Evan saja yang merupakan penghuni baru disana rasanya ingin menghantamkan kepalanya ke tembok, apalagi orang orang yang lebih lama darinya.              Eh? Itu sebuah ide yang bagus.              “Berhentilah ikut campur saat aku sedang menggerutu, orang tua” Pekikan sebal khas bocah itu kembali terdengar. Yang malah disambut oleh tertawaan keras dari si pemilik sebutan.              “Bisakah kalian diam, orang orang bodoh” Lagi. Suara wanita itu terdengar lagi.              “Kau tidak usah ikut campur, sialan” Suara pria berat tadi kembali terdengar. “Hey, aku ingin bertanya padamu” disertai dengan nada mendecih dan sarat akan merendahkan. “Aku penasaran dengan para sipir yang selalu lama apabila sudah waktunya memberimu makan dan baju” Evan yang sedari tadi menjadi pendengar mereka sedikit mengerenyitkan dahi saat mendengar nada tak biasa dari pria bersuara berat itu. Biasanya nada suaranya tak sekasar hari ini. Mungkin inilah sifat yang selama ini tak ia tunjukan. Toh ia bisa masuk ke penjara dengan sistem sinting ini pasti karena hal hal yang gila seperti yang ia lakukan.              “Bukan urusanmu, b*****t” dan ah… pria jangkung itu juga baru sadar bahwa fakta yang didengarnya tadi memang benar. Entah kenapa para sipir selalu lama kembali saat menuju sel wanita tersebut. Ia sadar karena sepertinya sel miliknya tidak sedalam sel sel lainnya di ruangan itu. Setiap sipir yang lewat pasti akan melewati sel nya.              Para sipir yang mendengar keributan beranjak kearah mereka. Evan yang sedari tadi hanya menjadi saksi melihat tiga sipir dengan badan yang besar melewati selnya. Beberapa menit berlalu, nampaknya suara wanita tadi menghilang. Yang malah menimbulkan kekehan kencang dari pria yang tadi beradu mulut dengannya.              “Ah.. kau sedang menyogok para sipir tadi, jalang? Dengan apa? Dengan tubuhmu?”              Yang kemudian Evan dengan adalah suara khas dari jeruji yang ditutup, derap langkah pelan, lalu suara decitan khas besi kembali terdengar lagi. Ia rasa para sipir tadi masuk ke jeruji pria tadi. Karena suara pukulan dan rintihan beberapa kali masuk ke telinganya.              Evan beranjak untuk merebahan diri di kasurnya yang keras. Menutup matanya pelan mencoba beristirahat, namun suara suara hantaman tetap masuk dan mengganggunya. Suara teriakan keras lalu terdengar, milik pria bersuara berat itu tentu saja. Mendengar suara dan hantaman itu, ia rasa pria tadi tak sengaja atau disengaja oleh para sipir agar tersetrum listrik di jerujinya sendiri. Entahlah, ia tak berminat tahu namun ia tak bisa untuk terlelap apabila suasana sedang gaduh seperti ini.              Pintu sel tadi kembali ditutup. Derap langkah sipir sipir tadi menarik perhatian Evan. Apakah pria tadi sudah tak bernyawa makanya sipir tadi pergi? Ataukan pria itu masih hidup namun kehilangan kesadarannya?              Namun satu hal yang ia sadari dari memperhatikan sipir yang barusan lewat adalah, bagaimana ia sadar tentang fakta bahwa sipir sipir tadi berwajah sama. Bukan, maksudnya bukan kembar tiga, namun semuanya seakan akan memiliki topeng. Cetakan wajah dan rambut yang sama persis, ditambah bola mata yang berwarna hitam pekat. Tak ada sedikitpun bercak putih disana.              Sial. Bulu kuduknya berdiri seketika.              Apa apaan ini. Penjara dengan sistem gila, juga sipir yang sama sintingnya. Apakah mereka dipenjara oleh seorang psikopat?              Tiba tiba suara yang ia kira sudah tak sadarkan diri tadi kembali terdengar. Kembali terkekeh layaknya tak ada hal yan terjadi, namun suaranya menggelap.              “Michael. Ingat namaku baik baik. Michael Garvin”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD