Chapter 28 - Manhattan 0,5

1078 Words
Ini sudah tiga jam semenjak kepergian mereka setelah berita menyebar ke seluruh dunia. Sekian ratus kilometer sudah disambangi dari Ohio hingga kini mereka menapak disebuah jalan kecil dengan arsitektur campuran khas antara Amerika Serikat dengan Eropa. Jika kalian bertanya tanya perihal bagaimana bisa mereka pergi keberbagai negara tanpa dicegah pihak pihak di perbatasan, jawabannya adalah karena Petter bermain dengan alat pendeteksi identitas dihari hari sebelumnya. Kini, setelah tersebarnya wajah mereka dimana mana, yang bisa mereka lakukan adalah mencari jalanan yang tidak terdapat atau menghilang dari peta. Tentu saja sulit, selain memang tak banyak jalan yang ditemukan, jikapun ada, biasanya jalanan tersebut dihadang oleh beberapa preman yang menghuni daerah sana untuk dimintai uang tutup mulut. Kini mereka melangkahkan kakinya makin kedalam jalan kecil yang berakhir menjadi gang disebuah persimpangan menuju jalan buntu. Disana mereka menemukan sebuah pangkas rambut penuh dengan ornamen tanduk hewan hewan. Segalanya abu abu, mereka tak tahu dengan menemukan tempat ini, merupakan sebuah keberuntungan atau kesialan bagi mereka. “Welcome to Alice World, apa yang bisa kubantu untuk kalian?” Sapa seorang lelaki paruh baya dengan janggut cokelat keriting juga tatto di lengan atas kanannya. Menurut isi pikiran Petter, paman ini terlihat seperti paman paman jahat berbadan besar yang ada di film bajak laut. Namun jika menurut Michael, pria itu nampak seperti orang yang gerak geriknya tak seperti biasanya. Maksudnya, jika kita melakukan hal yang tak biasa kita lakukan, tentu saja akan awkward, bukan? Segala gerak tubuhnya terlihat canggung dimata Michael. “Topeng silicon wajah manusia” ucap Evan tenang namun mata yang menatap tajam. Yang ditatap seperti itu tergelak hingga beberapa kali memuncratkan air liurnya, membuat Ainsley mengerinyit tak suka dan mundur untuk membawa Petter kembali kedalam mobil. Pria tua tadi mengusap setitik air matanya yang keluar dari celah matanya, masih dengan kekehan yang belum berhenti, tangannya sibuk membuka salah satu laci untuk mengeluarkan lima topeng silicon yang dimaksud. “Ini akan cantik jika dipakai wanita tadi” cara biacaranya berayun ayun, seakan mengejek mereka yang membutuhkan perlengkapan darinya hanya untuk menyembunyikan diri. “Tenang saja.. aku sudah terbiasa melihat pelanggan dengan background sama seperti kalian. Santai saja” ucapnya menenangkan karena dirasanya tatapan Michael dan Evan masih juga menajam untuknya. “Terserah kalian ingin memakai yang mana-“ katanya sembari menyodorkan tiga silicon wajah lelaki dewasa lengkap dengan segala macam model rambut dan bentuk alis juga kumis tipis. Lalu menyodorkan dua buah wajah silicon dengan bentuk wajah anak laki laki dan seorang perempuan dengan model rambut layer panjang lurus sepunggung berwarna blonde. Sangat berbeda dengan surai asli Ainsley yang ikal sebahu berwarna hitam. Hm.. jika Evan pikir pikir lagi, wanita yang selama ini bersamanya memiliki nilai charmingnya sendiri yang melipat gandakan kecantikannya. Kemana saja ia baru sadar selama ini. “Berminat untuk membeli make up untuk silicon wajah wanita tadi?” tawarnya lagi yang hanya dibalas gelengan pelan oleh Hans. Rasanya, Ainsley yang sudah bertahun tahun didunia mafia dan terkurung di penjara tak akan mengetahui cara bersolek yang baik dan benar. Yang membuahkan tendangan di pinggangnya saat ketika lainnya sudah masuk lagi kedalam mobil. Karena, Ya tuhan!!! Ainsley meskipun tak terlalu pandai berdandan, dia merupakan orang yang memperhatikan penampilan. Dengan wajah yang merengut, dirinya mengumpat dan bertitah kepada Evan yang saat ini menyetir untuk melajukan mobil mereka. Belum sempat pria jangkung itu menginjakkan pedal gas, Michael dengan tergesa gesa keluar dari mobil dengan membawa senapan. Tak lama kemudian, sebuah tembakan terdengar dan dirinya masuk kedalam mobil dengan wajah yang terciprat darah. “...kau membunuhnya?” yang hanya dibalas anggukan dengan diam. “Aku tahu kegiatan kita tadi sangat riskan, tapi kita sudah memakai masker, setidaknya tertutupi. Dan lagi tak ada jalan lain agar kita bisa berkeliaran di Manhattan selain membeli silicon tadi” Hans mengerutkan dahinya bingung. “Kau ini bodoh atau apa?” setelah sekian lama, Michael akhirnya kembali membuka mulutnya meskipun kata pertama yang keluar adalah makian. “Kau pikir dia tak akan mengenali kita berlima hanya karena kita menggunakan masker? Wajah dan profil kita sudah tersebar. Tiga lelaki dewasa juga seorang bocah dan wanita merupakan pasangan yang pas dengan kita yang menggunakan masker hanya untuk membeli topeng” ketusnya. Evan yang mendengarkan percakapan tadi hanya bersiul canggung kemudian dengan cepat melajukan mobil untuk pergi dari sana sebelum ada yang mengetahui pemilik toko di sebuah gang buntu terpencil sudah tewas ditangan buronan dunia. Ugh. Dia tak ingin menambah masalah di hidupnya lagi. “Jika dia memang berminat melaporkan untuk mendapatkan uang, dia harus memiliki bukti. Aku tak melihat ada satupun kamera dan dia tak sedang memegang ponsel, Michael” nada suara Hans meninggi. “He was” Michael balik menatapnya tajam. “He was holding his phone, took a picture of us saat kita berbalik akan memasuki mobil. Aku melihat dari bayangan kaca mobil” geramnya. “Lagi pula kau ini buta atau apa, tak mungkin toko rawan kejahatan seperti itu tak memiliki kamera pengawas. Diletakan sebuah kamera kecil dibalik ornamen bunga palsu yang ada di desk” Michael memainkan dua buah benda yang tadi ia ambil –tidak menggunakan paksaan- dari mayat hasil karyanya. Ponsel dan kamera yang dimaksud. Melemparkan kedua barang itu pada Petter, Michael memilih memejamkan matanya dengan perasaan gusar dan masuk kealam mimpi setelah menitah bocah jenius disampingnya untuk menghancurkan data yang ada didalamnya. Petter periksa, tentu saja. Dan hantaman rasa bersalah muncul di relung hati Hans karena sudah menuduh Michael yang tidak tidak. Dirinya sadar dengan fakta bahwa jika ingin semua rencana yang mereka susun berhasil, mereka harus terus berhubungan baik dan bergantung satu sama lain karena potensi tiap individu yang berbeda beda. Ingin mengucapkan maaf, namun sepertinya Michael sudah benar benar masuk ke dunia fantasy nya karena dengkuran harus terdengar dari bibir tipisnya. “Kau nanti harus meminta maaf padanya, Hans” ucap Ainsley setelah beberapa keheningan masuk kedalam atmoser yang mereka buat. Yang menjadi lawan bicara hanya menggumam dan ikut menghempaskan kepalanya ke sandaran yang tak terlalu empuk itu. “aku tahu” balasnya pelan. Menghancurkan atmosfer tak mengenakkan, Evan yang sibuk memperhatikan jalan mengoceh begitu banyak yang kebanyakan ditanggapi secara antusias oleh Petter. Selain mengoceh tentang kehidupannya dahulu yang gila karena mencoba menyaingi tuhan dalam mencipta –bocah dibelakangnya memperhatikan dengan simak karena rasa keingin tahuannya yang tinggi- juga bicara mengenai hal yang membuat Petter memekik bagaikan lumba lumba. Apalagi jika bukan- “Jadi... kita akan membeli makanan apa saja saat mampir ke tempat pembelanjaan nanti?” Ah.. dan ingatkan Hans untuk membelikan Ainsley makeup sebelum wajahnya yang dihancurkan oleh mantan mafia cantik itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD