Chapter 29 - Manhattan 1,0

1121 Words
Suara gedebum pelan dari pintu mobil yang ditutup membangunkan Michael dari tidur pulasnya meskipun kurang dari satu jam. Siluet pertama yang dilihat olehnya adalah Ainsley dan Petter yang membawa kantung belanjaan dengan semangat, juga Hans yang menghela nafas dibalik topeng wajahnya sembari menatap dompetnya dengan sendu. Entah mengapa pria itu berlagak seperti suami yang jatuh miskin dalam sehari karena membelanjakan keinginan anak dan istrinya yang berlebihan. Huh- memangnya uang hasil mereka merampas saat itu sesedikit itu hingga pria yang paling tua mengerenyitkan dahinya terus terusan menatap harga makeup yang tertera di struk belanjaan. “Semua makeup itu mahal. Kau saja yang norak sehingga shock saat tahu. Kau pikir banyak wanita miskin itu karena apa? Karena ingin cantik lah” sungut Ainsley saat dirasanya pria yang menduduki kursi disamping kemudi tak juga kunjung melepaskan kerutannya meskipun mobil sudah kembali jalan meninggalkan supermarket. Petter yang ada disampingnya seakan tak mempedulikan perdebatan para orang dewasa, menyibukan diri dengan memilih beberapa jajanan untuk dimakan saat ini. Sisanya ia masukan kembali ke plastik, dan ditaruh dibelakang bersamaan dengan berbagai macam makanan kalengan, roti, minuman hingga baju baju untuk persiapan mereka beberapa hari ini. Michael menjulurkan lengannya, membuka telapak tangan untuk meminta potongan apple chips dari kemasan menggembung yang belum dibuka karena si pemilik sibuk mengunyah keripik kentang berbumbu bbq. “Michael” yang dipanggil namanya melongokkan kepala untuk melihat tubuh si pemanggil karena kesibukannya sedari tadi adalah berebut jajanan dengan anak enam belas tahun. “Apa?” “Aku minta maaf” Michael mengerutkan dahinya ketika mendengar Hans begitu menyesal hingga meminta maaf dengan nada dan raut wajah seperti anjing yang ditendang. Dirinya tak mengingat bahwa pria itu melakukan sesuatu yang mengharuskan dirinya meminta maaf. Selama ini, meskipun terkadang keras, dirinya memang bertindak atau mengutarakan hal yang memang sepatutnya dilakukan. “tak ada yang perlu dimaafkan atau memaafkan. Kau ini kenapa tiba tiba aneh. Perasaan tak enak khas orang akan mati ya?” celotehnya dengan cepat. Ugh, Michael memang tumbuh dan hidup menjadi anak baik baik selama ini. Namun bukan berarti dia akan biasa saja jika seseorang bertindak berlebihan padanya. Sikap tsundere karena menjadi yang paling tua di panti masih belum hilang rupanya. Hans yang merasa tak ada lagi masalah menganggukkan kepalanya canggung. Kini malah sibuk berbincang dengan Evan mengenai jalur yang akan mereka tempuh. “ sekitar berapa jam lagi kita akan tiba di Manhattan?” “Mungkin enam sampai tujuh jam jika lumayan cepat, namun bisa sampai delapan jam jika macet dan... kau tahu. Ada hal yang kemungkinan akan menganggu kita” Evan menjawab sembari mengecheck maps yang terpampang di gps mobil mereka. “jadi..” Michael membuka suara. “Apa yang akan atau harus kita lakukan jika sudah sampai ke Manhattan?” “Kita akan mengumpulkan semua data yang pastinya ada di lab tempat dimana dahulu Evan bekerja, tentu saja” Hans menjawab. “Karena pusat pengembangan genetik terjadi disana sebelum disalurkan ke berbagai titik di dunia. Sudah pasti semua informasi penting ada disana hingga siapa saja yang terlibat karena project tersebut memiliki akses khusus yang hanya orang berkepentingan yang bisa masuk” “Bagaimana cara kita bisa masuk?” “Petter tentu saja” Evan sesekali menjawab meskipun fokusnya terbelah karena masih harus menyetir dengan baik selama ber jam jam. “Petter, aku tak mengerti harus melakuka apa atau menggunakan metode apa, tapi kurasa kau tahu kan apa maksudku dalam membobol masuk?” yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya singkat dengan kedua pipi dipenuhi remah makanan ringan. “Sehabis mengumpulkan semua data yang berhasil ditemukan, mau tidak mau kita harus menyebarkannya agar masyarakat aware dengan tingkat kewaspadaannya yang tinggi ini. Kepada seluruh penjuru dunia” Hans kembali mengambil alih. “Masalahnya, aku tahu ada atau mungkin banyak negara negara yang beraliansi dengan project itu demi masa depan yang hanya dikuasai oleh mereka mereka saja. Aku tak tahu siapa negara yang bisa dipercaya sebagai media dalam menyebarkan berita penting ini” “Memangnya tidak bisa kita menyebarkannya sendiri?” “Memangnya ada yang akan percaya dengan ucapan lima buronan yang kabur dari penjara dan menewaskan banyak orang?” tanya balik Hans kepada Michael yang masih mengerutkan dahinya. “Jika kau mengantuk, tidur saja, Petter” ucap Michael yang masih dalam mode baru bangun tidurnya. Menguap hingga menular pada bocah yang memang membutuhkan tidur untuk menjernihkan pikirannya. Segala macam adegan yang dilaluinya semenjak pagi pagi buta memang cukup melelahkan pikiran maupun jasmaninya. Dibantu dengan elusan Ainsley yang ada disampingnya, Petter terlelap dengan berbantalkan bantal leher dengan corak winnie the pooh. Lucunya. Tak terasa perjalanan sudah ditempuh sampai akhir. Tanda sapaan Welcome to Manhattan yang terpampang jelas di papan berwarna kehijauan kontras dengan warna jingga keunguan yang bermain di seluk langit akibat lelahnya sang mentari dan berakhir tenggelam. Mereka semua sudah terjaga sejak tiga puluh menit yang lalu. Memakai topengnya masing masing dan menyempatkan berganti baju, saat ini tujuan mereka adalah motel terdekat yang bisa disogok cukup mahal meskipun ruangan yang tak memadai. Ketidakpunyaan mereka atas tanda pengenal yang proper demi menyamar yang baik belum dimiliki oleh Petter dalam bentuk fisik. Tak apa. Atleast hanya motel biasa dengan dinding yang norak, bukannya love motel yang berisikan ranjang dengan berbagai macam mainan. Membersihkan diri, mengemas kembali seluruh pakaian dan amunisi mereka kedalam tas masing masing, jaga jaga apabila mereka harus berlari dalam keadaan setengah tidur, setidaknya semua persiapan mereka ada di tempat yang bisa dibawa dengan mudah. Bergegas menidurkan otak mereka yang penat untuk apa yang mereka lakukan saat ini. Menyusup kedalam laboatorium terbesar di Amerika Serikat, Chaeron Laboratory Manhattan, New York. Ini pukul tiga dini hari. Angin musim panas yang berhembus dipagi pagi buta membawakan semilir yang menusuk relung tubuh. Mereka merapatkan jaket masing masing, tak lupa memakai face masknya dan berjalan mengendap endap di kegelapan sembari menghindari puluhan kamera pengawas yang menyebar di sekitar taman. Mudah, tentu saja. Berkat mantan fisikawan terkemuka yang kini wajahnya tersebar bukan sebagai ilmuan terhebat, melainkan buronan sinting yang menjadi target seluruh dunia. Sebuah character development yang drastis. Chaeron Lab merupakan lab terbesar di AS itu memang terletak ditengah tengah taman yang sangat luas. Entah sejak tahun berapa, kota terpadat di New York bahkan Amerika Serikat ini berubah menjadi kotanya para ‘pencipta’ meskipun dahulunya Manhattan lebih dikenal dengan pusat keuangan dan manufaktur, layaknya New York pada biasanya. Ah.. jika berbicara mengenai Chaeron lab dan mungkin ‘ciptaannya’ maka sejujurnya bisa saja disebut dengan kegiatan manufaktur. Manufaktur yang menciptakan monster sebagai senjata biologis. Evan mengendap endap didepan bersama dengan Hans yang menarik tangan Petter. Bocah itu entah bergidik karena kedinginan atau ketakutan. Yang pasti, mereka memang membutuhkan Petter didepan untuk akses masuk yang aman dan tenang. Tadinya. Sebelum kedua orang dibelakang mereka mendengar sapaan yang asing ditelinga Michael, namun amat sangat familiar indra pendengaran Ainsley. “Nona... Ainsley?”   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD