bab 5

1211 Words
Sudah seminggu lebih Yuna bekerja sebagai pramusaji disalah satu restauran masakan jepang yang ada di kota Jakarta. Yang bernama Ramen 38 Sanpachi. Restauran yang memiliki 24 jam, buka. Sama seperti ramen restauran lain. Dengan meja yang terbagi menjadi bilik-bilik dan memberikan vibe jepang yang sangat kental. Dan karyawan yang terbagi dua sif. Selama Yuna masuk kerja, sampai detik ini dia tidak mempunyai keluhan apapun. Dia bahkan datang selalu tepat waktu. Dia begitu sigap dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik. Tangannya sangat cekatan dalam memenuhi permintaan pengunjung. Senyum ramahnya menyapa baik. Hari ini Yuna telah selesai dengan pekerjannya. Langit sore telah tampak. sang surya tidak lagi berada pada peraduan. Telah bergeser untuk perlahan-lahan terbenam dari ufuk barat. Yuna mengganti kembali seragamnya dengan baju kaos lengan pendek berwarna putih polos dan celana jeans panjang. Sebab, rekan kerjanya yang sif malam mulai bergerak juga untuk mengerjakan pekerjaannya. Yang tidak lain adalah Fika. "Fika, aku pulang dulu ya," pamit Yuna. Menepuk pelan bahu sahabatnya itu. "Hmmmm ... kamu hati-hati ya!" timpal Fika. Mengudarakan tangannya ke Yuna. Saat gadis itu perlahan keluar dari restauran jepang tersebut. 'Aku senang, melihatmu ceria seperti ini lagi Yuna.' Batin Fika. Tersenyum manis dibibir merah jambu miliknya. Fika kembali menggerakkan tangannya melanjutkan pekerjaan. Yuna melangkah melenggangkan kedua kakinya menuju Halte. Lelah dalam bekerja itu sudah pasti. Tetapi bagi gadis itu, semua pekerjaan tidak terlalu dijadikan beban baginya. Setelah berada di Halte, Yuna menduduki kursi panjang disana. Bersama tiga orang yang menanti kedatang sebuah bus. Sambil menunggu, Yuna mengedarkan pandangannya keseluruh Halte tersebut. Melihat orang-orang lalu lalang dihadapannya. Kendaraan yang memacu kecepatan. Saling hendak mendahului. Lama duduk disana membuat gadis itu tidak betah. Beranjak dari kursi yang ia duduki. Yuna memilih berdiri dengan tangan yang ia lipatkan di atas perut rampingnya. Dengan pandangan yang masih mengamati. Saat ia menolehkan kepala sebelah kanannya, ia melihat seorang wanita paruh baya. Memegangi kepala dan tangannya berpegangan pada tiang Halte. Yuna yang melihat itu mengerutkan kedua alisnya. Wanita paruh baya itu seperti berusaha mengendalikan penglihatannya. Agar tetap melihat jelas dari apa yang ditangkap oleh bola matanya. Sekali-kali dia menggelangkan kepala. Namun, semakin ia berusaha untuk tetap pada kestabilan berdirinya, semakin ia terlihat sempoyongan. Seolah hendak ambruk jatuh ke bawah. Perlahan Yuna melepaskan tangan yang ia lipat sedari tadi. Seolah dia mempunyai filing jika wanita paruh baya itu tidak dalam keadaan baik-baik saja. Sepertinya tidak ada yang menemani wanita tersebut. Dia terlihat hanya seorang diri. Semakin dia tetap berdiri disana, semakin ia tidak bisa memandangi wanita paruh baya itu. Perlahan Yuna mengayunkan kaki untuk mendekatinya. Dan-- "Bruggg.." "Nyonya..." Yuna menekukkan lututnya untuk meraih kepala sang wanita paruh baya itu. Ia membawa kedalam dekapannya." Nyonya, bangunlah Nyonya," Yuna menepuk-nepuk pipinya perlahan. Berharap wanita paruh baya itu membuka kedua matanya. Namun wanita itu tak kunjung yang di harapkan Yuna. Yuna yang tidak bisa membiarkan itu terlalu lama, ia mengangkat kepalanya. Pandangannya bergerak sana kemari untuk berharap agar ada yang bisa membantunya. "Tolong! Tolong!!" Yuna berteriak." Tolong saya!" Lelaki yang berada di Halte tadi, seketika pergi begitu saja. Tak menghiraukan Yuna dan wanita itu. Orang-orang yang lalu lalang tidak menghiraukannya. Dan kendaraan yang berada dijalan sana. Satu pun tidak berhenti. Entahlah, bagaimana pikiran orang-orang itu yang melihat orang tergeletak lemas tidak ada rasa simpatinya. "Bagaimana aku membawa Nyonya ini?" gumam Yuna. Tangan Yuna mencoba memeriksa denyut nadi di bagian tangan wanita paruh baya itu. Berharap bahwa wanita tersebut jantungnya masih teralirkan darah 'Masih hidup. Bertahanlah Nyonya.' Batin Yuna. "Tolong!" Teriak terakhir Yuna berhasil menarik seorang lelaki paruh baya. Lelaki paruh baya itu melangkah mendekati Yuna. "Dia kenapa Nona?" mendongakkan kepalanya. Bola matanya menatap Yuna. Seolah ingin mendengarkan jawaban dari gadis itu. "Sa-saya tidak tau, Pak! Sepertinya dia dalam keadaan tidak baik-baik saja." sahut Yuna. "Pak, boleh tolong saya? Tolong carikan taksi!" tambahnya. "Hmmm..." Lelaki paruh baya itu mengangguk tegas. Menuruti permintaan Yuna. Ia berdiri dan beranjak dari sana. Mencari cepat sebuah taksi. Tidak menunggu lama, sebuah taksi melewati jalan itu. Manik mata lelaki itu menangkapnya cepat. Ia langsung membentangkan tangannya. Untuk memberhentikan laju mobil tersebut. Setelah berhenti ia bergegas kembali menghampiri Yuna." Nona mobilnya sudah datang. Mari, saya bantu?!" Mendengar ucapan lelaki paruh baya itu, tentunya Yuna sama sekali tidak menolak. Sebab, tidak mungkin baginya membopong wanita yang tengah pingsan tersebut. Mengingat badannya yang kurus dan tidak cukup kuat untuk membawanya. Ah....sudahlah. Entah kapan dia akan merasakan gemuk, berbadan. Walaupun sedikit saja. Yuna rasa belum pernah. Sampai detik ini masih mempunyai tubuh ramping. Yuna mengangguk cepat. Membiarkan lelaki paruh baya itu membawa wanita dalam keadaan pingsan kedalam mobil. Yuna masuk terlebih dulu ke dalam mobil. Agar dia bisa menyambutnya dari dalam. Setelah berada didalam, Yuna meletakan kepala wanita itu diatas kaki pahanya. "Terima kasih, Pak! telah menolong saya," ucap Yuna. "Sama-sama Nona." timpal lelaki itu. "Pak, tolong antarkan saya kerumah sakit terdekat." Kata Yuna kepada sang sopir. Pak sopir pun mengangguk. Mobil dilajukan kembali oleh sang supir taksi membelah jalanan. " Nyonya, bertahanlah. Saya akan membawa Nyonya kerumah sakit." Yuna mengusap pelan wajah yang sudah terlihat garis-garis halus di raut wajahnya. "Cepat sedikit, pak!" seru Yuna kepada sopir. Kepala Yuna terus memandangi kedepan. Melihat jalanan dari balik kaca mobil. Berharap agar tidak ada kemacetan di jalan. Dan sesuai harapan Yuna, mobil taksi yang ditumpangi Yuna, berjalan dengan baik sampai kerumah sakit. Yuna turun dari mobil, memanggil salah satu perawat membawakan ranjang rawat pasien. Salah seorang lelaki membopong tubuh wanita paruh baya itu dan menaruhnya diatas ranjang. Ia dibawa langsung keruangan UGD. Sambil menunggu Dokter selesai memperiksa, Yuna terlihat cemas di salah satu kursi diruang tunggu. Ia sangat berharap agar wanita paruh baya itu tidak kenapa-kenapa. "Bagaimana saya menghubungi keluarganya?" gumam Yuna. Saat ia hendak berdiri, ada sesuatu yang digenggamnya ditangan. Yuna baru saja mengumpat atas kebodohan yang dia lakukan. Sampai-sampai ia tidak sadar, jika tas wanita paruh baya itu ada ditangannya saat ini. Ada rasa cemas oleh Yuna. Saat ia hendak memperiksa tas tersebut. Ia hanya bermaksud untuk mencari ponsel milik wanita itu. "Tidak ada jalan lagi, selain--" tanpa ragu lagi, Yuna merogoh tas tersebut. Meraih ponsel di dalam sana. Beruntung wanita itu membawa benda pipih miliknya. Yuna mendapati apa yang dia cari. Dengan cepat tangan Yuna bergerak mencari nomor keluarga wanita paruh baya itu. Satu nama yang menarik perhatiannya. Sebab nama "Erik" sering terlihat di kontak panggilan. "Apa mungkin ini anaknya? Ah, sudahlah mungkin juga masih kerabatnya." Ucap Yuna pelan Yuna langsung menekan tombol hijau. Terdengar nada tersambung dari ponsel itu. "Ayolah, angkat." Tidak lama terdengar suara sahut dari balik ponsel. Tentunya penerima panggilan itu. "Iya, Hallo. Maaf Tuan, saya menemukan pemilik ponsel pingsan di halte. Dekat Restauran 38 Sanpachi." Diam satu detik. "Baik, Tuan. Saya akan mengirimkan alamat rumah sakitnya." sahut Yuna. Setelah sambungan panggilan dimatikan. Yuna mengirimkan alamat rumah sakit tempat ia membawa wanita paruh baya itu. Saat pesan Yuna terkirim. Dokter yang memeriksa Wanita paruh baya itu keluar dari ruangan. Yuna langsung mendekati Dokter. "Bagaimana Dokter keadaannya?" "Tidak ada yang dicemaskan dari pasien Nona. Hanya saja beliau kecapean, dan kurang cairan. Itu membuatnya kehilangan keseimbangan tubuhnya." Dokter Farhad berucap." Mungkin pasien akan kami pindahkan keruang rawat." Yuna menarik-membuang napasnya. Dengan bahu juga ikut melorot. Ia turut bersyukur atas apa yang diucapkan Dokter Farhad. "Mari Nona," Dokter Farhad pergi meninggalkan Yuna. Bersambung..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD