Upaya Pembunuhan

1001 Words
"Kalau nggak, kita kawin lari aja?" Rustam memberi ide. "Ha? Kamu udah gila apa? Kasian anakku, dong!" desis Viola sebal. "Daripada begini, bikin pusing. Manusia berhak mencari kebahagiaan masing-masing." Rustam mengenggam tangan Viola untuk meyakinkan. "Ya, tapi, kan…" "Ssttt… Rena kita bawa. Kita akan tinggal di Paris." Rustam meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Viola. Viola terdiam, ia tampak berpikir. Rustam menyesap kopi cappucinonya sembari menunggu Viola memberi jawaban. "Gimana?" "Orangtuaku?" Viola terlihat cemas. "Untuk apa mikirin mereka? Mereka juga tidak mikirin kenyamanan kamu. Hidupmu tergantung dengan pilihanmu, sayang." Rustam menekankan kata-katanya. "Kita akan buat dunia baru, yang lebih indah, yang lebih nyaman, tanpa ada Erwin dan kedua orangtua kamu di dalamnya." Viola terdiam. "Aku yakin, cepat atau lambat orangtua kamu bakalan setuju kalau kamu hidup bahagia sama aku." "Apalagi hartaku lebih besar daripada harta yang dimiliki keluargamu." "Tapi… apa nggak ada cara lain selain itu?" tanya Viola masih kurang mantap dengan ide Rustam. "Ada." Rustam menyeringai. "Bunuh Erwin." Viola mengernyit. "Terlalu kejam." "Lagipula Erwin yang mati. Bukan Rena anak kamu, juga bukan orangtua kamu. Hanya Erwin yang lenyap dari bumi ini. Bukankah itu yang kamu mau?" Rustam menaik turunkan alisnya. "Aku mending kabur ke Paris daripada ngebunuh Mas Erwin. Gila apa, itu kriminal." Viola mendesis. "Semua akan di setting dengan rapi. Tidak ada yang tau kalau kita yang merencanakan pembunuhan." "Nah, kalau itu aku setuju," jawab Viola ragu-ragu. Dalam hatinya ia merasa bersalah. Maafkan aku mas Erwin. "Aku akan telepon pesuruhku untuk membunuh Erwin." "Kalau kita gagal?" Rustam tersenyum. "Pergi ke Paris." "Oke, aku setuju." Rustam menelpon beberapa pesuruhnya untuk membunuh Erwin dengan cara yang klise. Seperti menabraknya ditengah jalan. Atau mendorongnya dari tangga, atau apapun, pokoknya supaya tidak terlihat kalau itu adalah pembunuhan yang di sengaja. *** "Pak Erwin, pilih Jokowi atau Prabowo?" tanya salah seorang karyawan yang sedari tadi sedang berdebat tentang calon presiden dengan karyawan yang lain. Erwin yang baru saja datang tersenyum. Sungguh, dia adalah atasan yang murah senyum. "Pilih yang mana aja boleh, asalkan jangan saling menghina." "Gimana, sih, Pak, kami itu nyuruh Bapak buat memilih, bukan menengahi," desis seorang karyawan. Erwin berhenti melangkah, kemudian menatap ke arah karyawan yang berbicara barusan. "Kamu pilih siapa?" "Pak Jokowi," jawab karyawan itu dengan lantang. "Kalau saya jawab Prabowo, pasti kamu marah. Kalau saya jawab Jokowi. Pasti kamu bakalan semangat mengolok-ngolok Prabowo. Memilih itu boleh, asalkan jangan menebarkan rasa benci. Ketika kamu membenci Pak Prabowo, sebaik apapun yang akan dilakukan Prabowo, tetep salah di mata kamu. Karena orang benci itu hanya bisa menilai dari segi yang jelek-jelek, tanpa memperdulikan segala jasa, prestasi, dan kebaikan yang telah diraih oleh orang yang kamu benci itu. Begitu pun sebaliknya." Erwin menyunggingkan seulas senyum. Benar-benar atasan yang bijaksana. "Untuk apa memilih kalau hanya untuk memancing perseteruan. Negeri ini hanya perlu pemimpin yang adil. Jangan kita menjual agama hanya untuk kepentingan politik." Karyawan perempuan berambut poni itu langsung kicep. Erwin kembali tersenyum kemudian berjalan menuju ke ruangannya. "Antarkan kopi s**u ke ruangan saya, ya," ucap Erwin kepada Refan, marketing manager sekaligus orang kepercayaannya, sebelum masuk ke ruang direktur. Dengan gesit Refan menelpon recepcionis. "Hallo, Cantik. Kopi s**u seperti biasa, ya, oke, thank you." Belum sampai 10 menit, office boy sudah datang membawakan secangkir kopi s**u untuk Erwin. Tanpa sepengetahuan sang office boy, kopi s**u itu sudah dicampuri racun oleh pesuruh Rustam yang menyelusup masuk ke dapur perusahaan. Mungkin Rustam juga sudah membayar pelayan dapur untuk tutup mulut. "Taruh situ, aja," ujar Erwin yang tampak sedang sibuk menandatangani beberapa berkas-berkas penting yang menumpuk di atas meja. Office boy itu mengangguk kemudian meletakkan secangkir kopi s**u tersebut di atas meja. Kemudian melesat pergi dari ruangan Erwin. Erwin menghela napas kemudian meraih secangkir kopi s**u yang diberikkan office boy tadi. Baru saja akan menyruputnya, ponsel Erwin bergetar. Erwin meletakkan kembali kopinya kemudian meraih ponsel genggamnya di atas meja. "Hallo?" "…" "Waalaikumsallam." "…" "Apa?" Erwin beranjak dari duduknya, dan tanpa sengaja lengannya menyenggol secangkir kopi s**u yang berisi racun di atas meja tadi. Priakk. "Iya, aku ke sana. Kamu tunggu sebentar, ya." Erwin melirik ke arah cangkir yang pecah tadi. Kemudian mendengus dan memasukan ponselnya ke dalam saku celana. Erwin keluar dari ruangannya, dan memanggil Refan yang sibuk dengan pekerjaannya. "Refan, bersihin kopi yang tumpah, ya, saya ada urusan mendadak." Ucap Erwin sebelum memasuki lift. Mungkin para pembaca akan bilang.  Syukurlah kopinya nggak jadi di minum. Apa kalian pikir itu sebuah kebetulan? Oh, bukan. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Tuhan pasti menyelamatkan hamba-hambanya dari bahaya dengan sangat rapi. *** Erwin mengemudikan mobilnya dengan khusyuk. Sampai-sampai tidak sadar kalau di depan ada seorang nenek tua yang sedang menyebrang. Erwin buru-buru menginjak pedal rem dengan cepat. Namun naas, remnya blong. Erwin membanting stir ke arah kiri dan… Braakkkk… Mobil yang dikendarai Erwin menabrak pohon besar di pinggir jalan hingga bamper depannya remuk dan berasap. Lelaki itu mengusap-usap wajahnya dengan napas terengah-engah. "Astagfirullah," ucapnya kemudian buru-buru keluar dari mobil. Semua orang yang melihat kejadian itu langsung berbondong-bondong menghampiri Erwin. "Anda tidak apa-apa, Pak?" tanya salah seorang warga sambil mengusap-usap punggung Erwin yang membungkuk dengan napas tersengal-sengal.  Erwin meggeleng, sambil memejamkan mata. Lelaki itu masih terlihat shock. "Mau diantar ke klinik, Pak?" tanya salah satu warga. "Oh, nggak usah, Pak," jawab Erwin mencoba menetralkan pernapasannya. Kemudian mengambil ponselnya di dalam saku celana. "Hallo, Refan, bisa ke sini sekarang. Di jalan Raden Intan, saya kecelakaan." "Kok, bisa nabrak pohon, Pak?" kepo salah satu warga yang menyayangkan mobil semewah itu rusak seperti barang bekas. "Kurang tau, Pak, remnya tiba-tiba blong." Erwin memijat pangkal hidungnya pening. "Wah, pasti ada yang punya niat jahat sama Bapak. Saya yakin pasti orang itu ingin membunuh Bapak." Erwin mengernyit. "Hmm, kayaknya saya nggak punya musuh, deh, Pak." Erwin tetap berhuznudzon. Sesaat kemudian Refan datang dengan mobilnya di seberang jalan. "Saya boleh minta tolong urusin mobil saya, Pak?" "Oh siap, Pak," angguk salah satu warga. Erwin kemudian menyebrangi jalan untuk menuju mobil Refan. Namun tiba-tiba ada mobil yang melaju kencang hendak menyambar Erwin. "Awas, Pak!!!" Bersambung…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD