PANGGILAN DARI MAMA

1057 Words
“Ada apa Kak?” Tanya Ina. Sudah jam sepuluh malam dan ibu mertua Ina menghubungi Dhaffa. Ibu mertuanya sosok yang tak mau berkirim pesan tertulis, entah tak bisa atau tak biasa. Kalau pun berkirim pesan akan menggunakan voice note atau pesan suara. Sejak menikah hampir tiga tahun lalu Ina hafal kebiasaan mertuanya ini. “Mama baru kasih tahu kalau Yanti baru saja diantar orang karena mau diperk0sa sepulang dari rumah temannya. Kakak diminta datang ke sana oleh mama, kamu tak perlu ikut ya, kamu sedang hamil ini sudah malam,” ucap Dhaffa pada Ina. Dhaffa juga tak tahu mengapa Yanti hampir diperk0sa dan dia harus datang. Apa yang harus dia tangani terkait dengan musibah adik iparnya itu. “Ya Kak tak apa, aku lagian besok banyak pesanan, jadi tak mau terlalu lelah, nanti tak bisa bangun pagi dengan fresh,” Ina menyadari kondisi tubuhnya yang sedang hamil tiga bulan. Ina tak ingin dia dan baby sakit. Dia ingin bisa melahirkan normal ketika saatnya tiba. “Besok bukan jadwal kontrol kan?” “Lusa Kak, jangan lupa Kakak izin ke kantor buat temani aku ya,” balas Ina. “Iya, sudah minta izin sejak minggu lalu,” balas Dhaffa sambil memakai jacketnya. “Kakak berangkat ya,” dia kecup kening istrinya lembut. “Hati-hati, salam buat mama dan papa,” balas Ina mengantar suaminya keluar kamar. Di rumah ini hanya ada 1 pembantu yang tinggal dalam rumah utama, dua pegawai catering Ina tinggal di ruang usaha di belakang dan yang satu tak tinggal bersama Ina. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ “Ada apa ya? Koq sampai saat ini Kak Dhaffa tak pulang. Apa dia tak berangkat kerja?” “Koq teleponku tak diangkat?” sehabis shalat subuh Ina menghubungi suaminya. Semalam suaminta tak pulang tanpa memberitahu alasannya, Dia yakin suaminya sudah pulang dari masjid, seperti kebiasaannya di rumah. ‘Kakak enggak kerja? Kenapa sejak tadi tak angkat teleponku?’ ‘Apa kondisi Yanti parah sehingga Kakak full tak bisa merespon ku?’ karena teleponnya tak diangkat, Ina mencoba mengirim pesan pada Dhaffa. ‘Maaf Kak Dhaffa masih lelap, dia memelukku sepanjang malam,’ pesan itu masuk dari ponsel Yanti bersama foto Dhaffa yang masih terlelap dan Yanti berbaring di tulang selangka kanan suaminya dan Yanti selfie menggunakan tangan kanannya. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ “Apa maksudnya Ma?” “Mengapa mereka Mama perkenankan Yanti dan kak Dhaffa tidur bersama? Mereka bukan muhrim. Apa wajar?” Ina langsung menghubungi Ibu mertuanya. Dia tak puas bebbals pesan, lebih baik langsung bicara, terlebih mama mertuanya juga tak suka berbalas pesan. “Tidak, Dhaffa tidak tidur bersama Yanti,” bantah sang ibu mertua gugup, sebab ada suaminya di sebelahnya. Walau tak dispeaker pasti akan terdengar pembicaraan mereka. “Yanti mengirim foto, Kakak tidur di kamar Yanti dan kata Yanti sepanjang malam Kakak memeluknya.” “Mama bersekongkol dengan Yanti?” “Mama membela Yanti dibanding aku istri sah Kak Dhaffa?” “Mama bisa seperti itu padahal kita sama-sama perempuan?” Tanpa memberi kesempatan, Ina menutup telepon. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ “Sayang, itu tak seperti yang Yanti katakan,” satu jam kemudian Dhaffa tiba di rumah, dan menjelaskan dia hanya menenangkan Yanti yang histeris. “Semalam Kakak dan mama menemani Yanti di kamarnya,” itu yang Dhaffa katakan pada Ina. Ina tak menjawab apa pun, dia sangat terluka suaminya sampai menginap demi adik iparnya. Dhaffa benar-benar kalang kabut menghadapi kemarahan Ina kali ini, sebab dia tak biasa bertengkar dengan Ina. Dan tadi di rumah mamanya, di meja makan, di depan papanya, Yanti bilang dia tak mengirim foto apa pun. “Yanti b4jingan kalau dia bilang dia tak mengirim foto apa pun dan kamu serta mamamu percaya pada perempuan si4lan itu,” teriak Ina. “Kamu jangan kasar Yank, dia tak bermaksud demikian.” Ina mengirim capture apa yang Yanti katakan padanya beserta foto Dhaffa memeluk Yanti juga satu foto pipi Yanti menempel pada bibir Dhaffa. “Mama membela menantu ini karena dia habis ditinggal suaminya?” Dwipangga Bhanu, papa Dhaffa dan Adhisti Kurniawan mama Dhaffa tak percaya melihat capture itu. Dhaffa sendiri terpekur sebab apa yang Yanti katakan di meja makan tadi tak sama dengan yang ada di ponsel Ina. “Sekarang Kakak berangkat kerja dulu, ini sudah sangat terlambat, tapi daripada tak berangkat nanti malah dapat teguran HRD,” jam 11 Dhaffa baru akan pamit. “Ini karena kamu tak bisa memilah mana yang lebih urgen, pekerjaanmu atau menemani adik ipar.” “Seharusnya kalau menenangkan ya jangan ipar lelaki, itu kalau Kakak punya otak waras,” balas Ina yang tak mau dikecup keningnya saat Dhaffa pamit. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ “Aku tak berpikir akan seperti ini, aku semalam hanya menenangkannya, tak menyangka malah sampai aku tertidur dan Yanti membuat laporan seperti itu karena ponselku bunyi terus.” “Tak salah Ina mencari, sebab aku tak pamit akan menginap di rumah mama.” “Dan apa urgensinya aku menginap di rumah mama sedang aku punya tanggung jawab sebagai suami Ina?” Dhaffa hampir menabrak gerobak seorang penjual bakso karena dia tak konsen. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ “Baik Ma, aku segera meluncur,” Dhaffa yang sedang bersiap akan menemani Ina kontrol kandungan, tanpa sadar berjanji meluncur ke rumah mamanya saat sang mama menghubungi dirinya Yanti histeris ketakutan terbayang akan diperkosa kemarin malam. Dhaffa berlari ke ruang usaha istrinya, Ina sudah siap berangkat kontrol kandungan, hanya sebelum berangkat ke rumah sakit Ina akan memberi perintah dulu pada karyawannya. “Sayank, Kakak ke rumah mama ya, Yanti pingsan sehabis histeris,” Dhaffa bukan minta izin, dia pamit. “Harusnya kan, Yanti dibawa ke rum …,” tak sampai selesai kalimat yang keluar dari mulut Ina, Dhaffa sudah berlalu. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ “Tumben siang begini ke sini,” Ainayya Palgunadi sang Ibu senang, Ina datang ke butik Chantieqa miliknya. “Iseng saja Bu, baru kontrol dari rumah sakit.” “Koq Dhaffa enggak nemani?” “Dia sibuk ada meeting di kantor,” balas Ina menutupi keributan dalam rumah tangganya. “Seharusnya kamu hubungi Ibu, Ibu pasti bisa nemani kamu.” “Takutnya Ibu punya banyak janji,” Ina menerima salad yang tadi dia serahkan pada pegawai butik ibunya untuk ditempati, sekalian dia minta lemon tea dingin tanpa es, hanya dingin air es saja. “Walau punya janji dengan siapa pun, kalau kamu minta temani, Ibu pasti akan lebih mengutamakan kamu,” balas sang Ibu lembut. “Tak apa lah, nanti lain kali aku akan minta Ibu. Tenang saja.” ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD